Menuntut keberanian keluar dari zona nyaman
Semarang (ANTARA) - Penerimaan peserta didik baru 2019 diwarnai kontroversi. Ada yang pro, ada pula yang kontra dengan argumen yang bisa dipahami.
Namun, sejauh yang mengemuka di media arus utama dan media sosial, suara kalangan penentang sistem zonasi -- sebagaimana diatur dalam Permendikbud Nomor 51 Tahun 2018 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) -- lebih vokal dibanding yang pro.
Bagi kalangan yang menentang, sistem zonasi dalam PPDB telah merenggut hak anak-anak pintar dan berprestasi untuk diterima di sekolah favorit. Apalagi, alokasinya hanya 5 persen untuk yang di luar zona, sebelum akhirnya direvisi menjadi 5 hingga 15 persen.
Alasannya, jarak tidak bisa menghalangi siswa pintar untuk diterima di sekolah favorit.
Bagi guru-guru di sekolah favorit, kenyamanan mereka memang bakal terusik. Betapa pun mengajar anak-anak pintar jauh lebih mudah.
Apalagi sebagian besar dari mereka juga didukung oleh orang tua yang sadar akan pentingnya mutu pendidikan. Oleh karena itu, orang tua akan memberi dukungan optimal bagi anak-anaknya.
Orang tua akan membiayai pembelian buku penunjang pelajaran, langganan aplikasi online berbayar, bahkan menyertakan anaknya mengikuti bimbingan belajar bertarif mahal.
Sekolah-sekolah favorit selama ini memang selalu mendapat input atau peserta didik baru di atas rata-rata karena penerimaannya berdasarkan pemeringkatan nilai calon siswa.
Dengan sistem tersebut, SMAN-SMAN favorit, yang biasanya berada di tengah kota, selalu menjadi incaran lulusan SMP dengan nilai ujian nasional tinggi. Apalagi sumber daya manusia dan fasilitas penunjang juga jauh lebih bagus dibanding sekolah lainnya.
Jadi, SMAN favorit tersebut hanya diisi anak-anak berprestasi dan menyisakan sedikit bangku untuk siswa dari keluarga tidak mampu.
Dengan input siswa berkualitas tersebut, tidak terlalu sulit bagi guru dan sekolah memoles mereka untuk bisa diterima di program-program studi favorit di PTN-PTN terkemuka setelah mereka lulus SMA.
Namun, sistem zonasi bakal mengharuskan sekolah favorit menerima siswa dengan beragam kepintaran karena tempat tinggal siswa menjadi poin terpenting dalam PPDB.
Konsekuensinya, guru-guru yang sebelumnya melayani siswa-siswa pintar diharuskan bekerja lebih keras, kreatif, dan lebih sabar menyampaikan materi ajar agar sebanyak mungkin siswa memahaminya.
Selain itu, sekolah yang biasanya menikmati pujian dengan beragam prestasi siswa, juga dipaksa menggerakkan segala sumber daya untuk mempertahankan kualitas lulusannya. Kegagalan mempertahankan mutu lulusan akan meredupkan pujian sebagai sekolah unggulan/favorit.
Dulu, ada sekolah favorit yang memindahkan siswanya ke sekolah negeri lain dengan alasan siswa tersebut tidak mampu mengikuti pelajaran secepat teman-temannya.
Jalan pintas dengan dalih seperti itu dalam sistem zonasi tidak bisa ditoleransi karena menjadi kewajiban sekolah untuk memintarkan peserta didiknya.
Sekolah dan para guru di sekolah-sekolah favorit yang sekian lama berada di zona nyaman, dalam sistem zonasi dituntut lebih kreatif, juga sabar, dalam menghadapi siswa dengan kemampuan yang beragam.
Diperlukan keberanian untuk keluar dari zona nyaman demi memberi kesempatan lebih luas bagi anak-anak "biasa" agar mereka mendapatkan layanan pendidikan di sekolah berlabel favorit.
Apa pun, sistem zonasi sebagaimana dituangkan dalam Permendikbud Nomor 51 Tahun 2018 memiliki semangat memberi kesempatan semua anak untuk mendapatkan pendidikan berkualitas.
Sistem zonasi memang menjanjikan keadilan bagi setiap warga untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu.
Mendapatkan pendidikan bermutu bukan hanya hak anak-anak pintar. Siswa dengan prestasi "biasa" juga berhak diasuh dan diasah untuk menjadi anak dengan prestasi luar biasa.
Bagi guru atau sekolah, mencetak siswa "biasa" menjadi lulusan berprestasi luar biasa tentu jauh lebih membanggakan. Itu menunjukkan bahwa guru-guru dan sekolah favorit tersebut memiliki manajemen yang teruji untuk menghasilkan lulusan hebat.
Kalau pun sistem zonasi akan disempurnakan, Permendikbud tersebut perlu segera diilengkapi dengan petunjuk pelaksanaan teknis agar tidak lagi memicu kegaduhan.
Namun, sejauh yang mengemuka di media arus utama dan media sosial, suara kalangan penentang sistem zonasi -- sebagaimana diatur dalam Permendikbud Nomor 51 Tahun 2018 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) -- lebih vokal dibanding yang pro.
Bagi kalangan yang menentang, sistem zonasi dalam PPDB telah merenggut hak anak-anak pintar dan berprestasi untuk diterima di sekolah favorit. Apalagi, alokasinya hanya 5 persen untuk yang di luar zona, sebelum akhirnya direvisi menjadi 5 hingga 15 persen.
Alasannya, jarak tidak bisa menghalangi siswa pintar untuk diterima di sekolah favorit.
Bagi guru-guru di sekolah favorit, kenyamanan mereka memang bakal terusik. Betapa pun mengajar anak-anak pintar jauh lebih mudah.
Apalagi sebagian besar dari mereka juga didukung oleh orang tua yang sadar akan pentingnya mutu pendidikan. Oleh karena itu, orang tua akan memberi dukungan optimal bagi anak-anaknya.
Orang tua akan membiayai pembelian buku penunjang pelajaran, langganan aplikasi online berbayar, bahkan menyertakan anaknya mengikuti bimbingan belajar bertarif mahal.
Sekolah-sekolah favorit selama ini memang selalu mendapat input atau peserta didik baru di atas rata-rata karena penerimaannya berdasarkan pemeringkatan nilai calon siswa.
Dengan sistem tersebut, SMAN-SMAN favorit, yang biasanya berada di tengah kota, selalu menjadi incaran lulusan SMP dengan nilai ujian nasional tinggi. Apalagi sumber daya manusia dan fasilitas penunjang juga jauh lebih bagus dibanding sekolah lainnya.
Jadi, SMAN favorit tersebut hanya diisi anak-anak berprestasi dan menyisakan sedikit bangku untuk siswa dari keluarga tidak mampu.
Dengan input siswa berkualitas tersebut, tidak terlalu sulit bagi guru dan sekolah memoles mereka untuk bisa diterima di program-program studi favorit di PTN-PTN terkemuka setelah mereka lulus SMA.
Namun, sistem zonasi bakal mengharuskan sekolah favorit menerima siswa dengan beragam kepintaran karena tempat tinggal siswa menjadi poin terpenting dalam PPDB.
Konsekuensinya, guru-guru yang sebelumnya melayani siswa-siswa pintar diharuskan bekerja lebih keras, kreatif, dan lebih sabar menyampaikan materi ajar agar sebanyak mungkin siswa memahaminya.
Selain itu, sekolah yang biasanya menikmati pujian dengan beragam prestasi siswa, juga dipaksa menggerakkan segala sumber daya untuk mempertahankan kualitas lulusannya. Kegagalan mempertahankan mutu lulusan akan meredupkan pujian sebagai sekolah unggulan/favorit.
Dulu, ada sekolah favorit yang memindahkan siswanya ke sekolah negeri lain dengan alasan siswa tersebut tidak mampu mengikuti pelajaran secepat teman-temannya.
Jalan pintas dengan dalih seperti itu dalam sistem zonasi tidak bisa ditoleransi karena menjadi kewajiban sekolah untuk memintarkan peserta didiknya.
Sekolah dan para guru di sekolah-sekolah favorit yang sekian lama berada di zona nyaman, dalam sistem zonasi dituntut lebih kreatif, juga sabar, dalam menghadapi siswa dengan kemampuan yang beragam.
Diperlukan keberanian untuk keluar dari zona nyaman demi memberi kesempatan lebih luas bagi anak-anak "biasa" agar mereka mendapatkan layanan pendidikan di sekolah berlabel favorit.
Apa pun, sistem zonasi sebagaimana dituangkan dalam Permendikbud Nomor 51 Tahun 2018 memiliki semangat memberi kesempatan semua anak untuk mendapatkan pendidikan berkualitas.
Sistem zonasi memang menjanjikan keadilan bagi setiap warga untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu.
Mendapatkan pendidikan bermutu bukan hanya hak anak-anak pintar. Siswa dengan prestasi "biasa" juga berhak diasuh dan diasah untuk menjadi anak dengan prestasi luar biasa.
Bagi guru atau sekolah, mencetak siswa "biasa" menjadi lulusan berprestasi luar biasa tentu jauh lebih membanggakan. Itu menunjukkan bahwa guru-guru dan sekolah favorit tersebut memiliki manajemen yang teruji untuk menghasilkan lulusan hebat.
Kalau pun sistem zonasi akan disempurnakan, Permendikbud tersebut perlu segera diilengkapi dengan petunjuk pelaksanaan teknis agar tidak lagi memicu kegaduhan.