Ikatan kebangsaan kita kembali diuji. Pembakaran bendera berlafaz tauhid (ada yang menyebut panji Hizbut Tahrir) di Garut pada 22 Oktober 2018 memicu aksi massa di sejumlah daerah.
Aksi massa yang disulut oleh isu sensitif seperti itu bukan yang pertama, bahkan dalam gelombang lebih besar, pernah terjadi ketika Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama kala itu dianggap merendahkan Surat Al Maidah ayat 51.
Bangsa ini seharusnya bisa belajar dari berbagai kasus yang disulut oleh isu-isu sensitif terutama yang bermuatan SARA. Sejarah memberi pengalaman sekaligus pelajaran bagi bangsa ini bahwa isu yang bersentuhan dengan SARA amat mudah meletup sekaligus gampang dimanipulasi.
Bila aparat hukum, ormas keagamaan, dan tokoh bangsa terlambat, apalagi gagal, meredam isu sensitif tersebut, bisa menjadi bola api SARA yang bakal melalap emosi anak-anak bangsa ini. Dampak minimalnya, fragmentasi kebangsaan berdasarkan identitas keagamaan, suku, golongan, kian mengeras.
Bila situasi tersebut dibiarkan, bangsa ini tinggal menunggu pemantik lebih besar untuk memorakporandakan tatatan kebangsaan.
Patut diapresiasi sikap menahan diri dari ormas-ormas Islam. Respons bijaksana ormas-ormas tersebut memberi andil dalam meredakan suasana sehingga tidak menimbulkan gelombang aksi massa yang berlarut.
Meski demikian, insiden tersebut tetap menyisakan luka bagi yang merasa tidak bisa menerima atas pembakaran bendera berlafaz tauhid tersebut.
Oleh karena itu, sebagai bangsa besar yang sedang berproses menjadi bangsa yang demokratis, sudah selayaknya menjadikan insiden pembakaran bendera di Garut sebagai "kekonyolan" terakhir.
Demokrasi memang memberi ruang lebar berkumpulnya massa untuk menguatkan tekanan kepada pihak yang dianggap tidak adil dalam menjalankan prinsip-prinsip demokrasi.
Namun, menghabiskan energi yang begitu besar untuk melakukan tekanan seperti itu menyiratkan tidak berfungsinya pilar-pilar demokrasi; eksekutif, yudikatif, dan legislatif.
Alih-alih menyerahkan perkara kepada salah satu dari tiga pilar tersebut. Yang terjadi malah banyak anggota legislatif -- baik propemerintah maupun oposisi -- yang ikut menabuh genderang dalam konflik horisontal tersebut. Tujuannya tentu untuk mendongkrak dukungan suara pada Pemilu 2019.
Dalam politik elektoral, dukungan suara menjadi satu-satunya jalan bagi setiap politikus untuk mewujudkan ambisinya meraih dukungan riil; suara rakyat. Modal inilah yang bakal digunakan untuk mendapatkan legitimasi dalam karir politiknya.
Namun pertanyannya, etiskah kedua pihak memobilisasi massa dengan cara memanipulasi isu-isu sensitif demi meraup ambisi politik pribadi?
Sebagai bangsa yang sejak awal abad 20 memiliki komitmen persatuan dalam keberagaman, sudah selayaknya para politikus menjadi oasis bagi rakyat yang setiap hari masih bergelut demi sesuap nasi. ***