Kampanye Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2014 masih menyisakan luka bagi pendukung Joko Widodo dan Prabowo Subianto hingga hari ini.
Perang kata-kata, julukan bernada peyoratif, dan meme mengejek, hingga hari ini masih terus diproduksi oleh kedua kubu, terutama melalui media sosial yang sejak 5 tahun lalu mengambil peran siginifikan dalam membentuk opini khalayak.
Media cetak, televisi, dan radio memang masih eksis. Namun, pertarungan opini paling bebas melalui media sosial, seperti Twitter, Facebook, Instagram, Youtube, dan WA, yang kesemuanya bisa dengan mudah menduplikasi tautan (link) atau konten.
Bagi kubu Capres-Cawapres Prabowo-Sandiaga Uno, perang opini melalui media konvensional tidak asyik lagi karena sejumlah pemilik media merangkap menjadi ketua partai sekaligus menjadi bagian dari tim kampanye Capres-Cawapres Joko Widodo-Ma'ruf Amin.
Oleh karena itu, seperti halnya dengan masa kampanye Pemilu Presiden 2014, perang opini melalui media sosial diperkirakan kembali memanas pada Pemilihan Presiden 2019. Bahkan, bakal lebih ramai dibandingkan dengam Pilpres 2014 karena pemilu mendatang bakal digelar serentak pada 17 April 2019. Kedua kubu sudah menyiapkan pasukan dunia maya (cyber army) untuk menyerang atau bertahan dari serangan opini.
Pemilu 2019 memang lebih kompleks karena ada lima pemilihan, yakni pemilihan anggota DPRD kabupaten/kota, provinsi, DPR RI, anggota Dewan Perwakilan Daerah, dan Pemilihan Presiden-Wakil Presiden. Dari sisi teknis saja, Pemilu 2019 menuntut persiapan jauh lebih matang dan detil karena sebelumnya pilpres digelar tersendiri.
Langkah awal Komisi Pemilihan Umum memprakarsai Deklarasi Kampanye Damai yang dihadari langsung para kontestan termasuk Joko Widodo dan Prabowo, patut diapresiasi. Setidaknya, langkah ini sebagai upaya membentuk komitmen dan kesadaran bersama bagi segenap peserta Pemilu 2019 untuk menomorsatukan keutuhan bangsa.
Perbedaan kepentingan, bahkan konflik, selama masa kampanye tampaknya tidak bisa dihindarkan karena kontestasi politik memang selalu diwarnai rivalitas perebutan kekuasaan. Oleh karena itu, instrumen aturan main menjadi keniscayaan. Ini penting agar semua peserta pemilu tetap bertarung dalam rule of the game yang disepakati bersama.
Keberadaan media daring (online) dan media sosial sebagai sumber informasi dan pembentukan opini memang makin dominan. Media daring, dalam menjalankan tugas, tunduk pada Kode Etik Jurnalistik dan Pedoman Media Siber.
Dewan Pers menyebutkan bahwa jumlah media online sekitar 43.000 pada 2019. Sungguh jumlah yang terlalu banyak dibandingkan dengan ketersediaan sumber daya manusia yang kompeten di bidang media. Ada kekhawatiran rendahnya kompetensi tersebut menyebabkan rendahnya mutu produk jurnalisme.
Persoalan lainnya adalah masih rendahnya pemahaman khalayak tentang Undang-Undang Nomor 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang mengatur tentang informasi serta transaksi elektronik atau teknologi informasi secara umum.
Sudah banyak warganet, entah karena ketidaktahuan atau fanatisme buta, yang akhirnya memaksa mereka meringkuk di balik jeruji setelah diputuskan bersalah oleh pengadilan karena mereka terbukti melakukan fitnah atau menyebar ujaran kebencian.
Kita berharap keseriusan penegak hukum menjerat pelaku fitnah, penyebar hoaks, dan ujaran kebencian menjadi pelajaran bagi warganet, agar netizen lebih bijak ketika mengunggah opini, meme, atau video, apalagi bila konten tersebut sudah diedit untuk memfitnah pihak lain yang berbeda pilihan politik.
Kritik di negara demokrasi tetap mendapat tempat terhormat, namun menyebar kabar bohong dan melakukan pemelintiran informasi bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi.
Oleh karena itu, jargon lawas berperilaku di jagat maya masih tetap relevan hingga hari ini. Think before (re) posting.
Kita berharap Pemilu 2019 tidak meninggalkan jejak-jejak kelam digital. Karena, jejak digital memang kejam. ***