Terobosan Komisi Pemilihan Umum dengan mengeluarkan Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018 menimbulkan berbagai kontroversi di masyarakat. Peraturan yang salah satu isinya tidak memberikan ruang bagi bekas narapidana narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan korupsi sebagai calon legislator dinilai melanggar UU dan putusan Mahkamah Konstitusi.
Dalam Pasal 7 ayat 1 butir g dan h disebutkan bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota adalah warga negara Indonesia dan harus memenuhi persyaratan tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap; bukan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, atau korupsi.
Namun, larangan tersebut sepertinya tidak mutlak, karena KPU masih membolehkan para mantan napi itu mencalonkan diri dengan syarat mengumumkan status pemidanaan mereka terhadap publik, sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 7 ayat 4 yang berbunyi: Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g, dikecualikan bagi: a. mantan terpidana yang telah selesai menjalani masa pemidanaannya, dan secara kumulatif bersedia secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik, bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang, serta mencantumkan dalam daftar riwayat hidup; dan b. terpidana karena kealpaan ringan ( culpa levis ) atau terpidana karena alasan politik yang tidak menjalani pidana dalam penjara, dan secara terbuka dan jujur mengumumkan kepada publik.
Meski ada celah bagi bekas napi yang disebutkan di atas untuk mencalonkan diri sebagai anggota legislatif, tetap saja menimbulkan reaksi. Sebut saja politikus Partai Golkar Iqbal Wibisono yang menyatakan PKPU tersebut merupakan aturan yang mencabut hak politik warga negara Indonesia seumur hidup.
Iqbal mengatakan bahwa semestinya membuat peraturan tidak bertentangan dengan hukum positif, apalagi sampai menghilangkan hak asasi. PKPU itu dinilai justru mengedepankan "pencitraan" yang tidak disadari berakibat menghilangkan dan membunuh hak asasi warga negara atau kehilangan haknya seumur hidup. Padahal, majelis hakim tidak mencabut hak politik sebagian besar di antara bekas koruptor.
Begitu juga Kementerian Hukum dan HAM hingga kini belum menandatangani Peraturan KPU mengenai larangan bekas narapidana korupsi menjadi caleg, karena dianggap bertentangan dengan beberapa peraturan.
Larangan bekas napi korupsi menjadi caleg, menurut Kepala Biro Humas, Hukum dan Kerjasama Kemenkumham Ajub Suratman, tidak diperintahkan berdasarkan UU Pemilu dan tidak diatur dalam PKPU karena bukan kewenangan KPU.
Sementara itu, Ketua KPU Arief Budiman mengatakan PKPU yang sudah diteken sudah sah menjadi aturan tanpa tanda tangan dari Menteri Hukum dan HAM. Dia mengklaim ketentuan PKPU yang berisi larangan bagi bekas narapidana korupsi menjadi calon anggota legislatif tidak bertentangan dengan UU Pemilu.
Begitu juga Presiden Joko Widodo yang menyatakan menghormati KPU atas peraturannya yang melarang bekas narapidana kasus korupsi untuk mengikuti pemilihan anggota legislatif 2019. Menurut dia, undang-undang memberikan kewenangan kepada KPU untuk membuat peraturan tersebut.
Jokowi mempersilakan kepada pihak-pihak yang keberatan dengan aturan tersebut untuk menggunakan mekanisme yang ada dengan mengajukan uji materi ke Mahkamah Agung.
Padahal semua partai politik menyatakan sepakat bahwa bakal calon anggota legislatif tidak boleh orang bermasalah. Lantas apakah orang jelas pernah terbukti melakukan korupsi bukan orang bermasalah?
Kita berharap apa yang dilakukan KPU merupakan sebuah solusi yang terbaik agar nantinya orang-orang yang duduk di dewan perwakilan rakyat yang terhormat itu adalah orang-orang yang bersih.
Jika persoalannya pada PKPU yang menabrak undang-undang, masukkan substansi PKPU itu ke undang-undang. Legislatif mesti sigap mengakomodasi upaya mencegah dan membasmi korupsi hingga akarnya.