Semarang (Antaranews Jateng) - Publik perlu mendukung Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Republik Indonesia yang melarang eks narapidana korupsi untuk menjadi calon anggota legislatif, kata Ketua Program Magister Ilmu Politik FISIP Universitas Diponegoro Semarang Dr. Drs. Teguh Yuwono, M.Pol.Admin.
Kepada Antara di Semarang, Minggu petang, alumnus Flinders University Australia itu berpendapat bahwa PKPU Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota adalah suatu kebijakan yang bagus supaya memiliki calon anggota badan legislatif yang kredibel, tidak terikat dan terbebani dengan persoalan-persoalan hukum.
Teguh Yuwono mengemukakan hal itu ketika merespons PKPU tertanggal 30 Juni 2018 yang memuat persyaratan bakal calon anggota badan legislatif, antara lain, bukan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, atau korupsi (Pasal 7 Ayat 1 Huruf h).
"Jadi, mantan koruptor maupun mantan penjahat kelas berat itu memang sebaiknya tidak diberi kesempatan terlalu luas memimpin negeri ini," kata Teguh.
Apalagi, katanya lagi, tokoh-tokoh yang bersih di Tanah Air lebih dari cukup untuk mencari bakal calon anggota DPR RI yang tidak sampai 1.000 orang itu.
Dalam Pasal 186 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, disebutkan bahwa jumlah kursi anggota DPR RI sebanyak 575 orang.
"Apakah PKPU itu tidak bertentangan dengan Pasal 240 Ayat (1) Huruf g UU Pemilu?" tanya Antara, kemudian Teguh menjawab,"Aturan hukum itu 'kan tidak hanya dilihat dari perspektif hukum positif."
Menurut dia, hal itu bisa dilihat dari prespektif lebih luas, yaitu hukum etika atau niat politik."Jadi, etika politik itu penting dijadikan dasar membuat atau menyusun regulasi. Jadi, tidak hanya menggunakan pendekatan-pendekatan hukum positif itu saja," ucapnya.
Sementara itu, syarat bakal calon anggota badan legislatif di dalam UU Pemilu, antara lain, tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.