Korban minuman keras oplosan terus berjatuhan. Kali ini, tiga orang muda warga
Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, menjadi korban setelah menenggak tuak.
Dibandingkan dengan jumlah korban oplosan di Jawa Barat dan DKI Jakarta, jumlah korban tewas di Temanggung memang "sedikit".
Namun, berapa pun jumlahnya, setiap nyawa yang melayang adalah tragedi bagi keluarga, bahkan juga bagi sebuah bangsa. Apalagi mereka rata-rata berusia produktif.
Kapolres Temanggung AKBP Wiyono Eko Prasetyo menyebutkan tiga korban tewas
yakni AB (27 tahun), BS (28), dan AM (39), megembuskan napas terakhirnya pada 6
dan 7 Juni 2018 setelah malam sebelumnya minum cairan berbahaya itu.
Sebelumnya, di Jawa Barat, oplosan mengantarkan 58 penenggaknya ke
peristirahatan terakhir, sedangkan di DKI Jakarta sebanyak 31 penenggak oplosan
harus mengakhiri hidupnya dengan sia-sia.
Tren menenggak miras oplosan dalam beberapa tahun terakhir ini memang ada
kecenderungan menguat, yang ditunjukkan dengan banyaknya korban di berbagai
daerah. Penyebabnya kompleks. Tekanan hidup yang kian berat, bisa menjadi dalih mereka untuk menenggak miras (oplosan) untuk sekadar lari dari persoalan hidup.
Atau, bisa jadi pula sekadar gaya hidup karena lingkungan menganggap menenggak miras sesuatu yang kekinian. Ketika minum miras tidak lagi memberi pengalaman
"melayang" yang baru, mengoplos dengan material lain malah menjadi pilihan yang
spekulatif sekaligus berisiko.
Dalam beberapa kasus, korban menenggak miras dicampur dengan bahan kimia obat. Bahkan ada yang mencampur dengan obat nyamuk oles.
Kita prihatin dengan jatuhnya banyak korban akibat menenggak miras oplosan. Namun, kematian demi kematian yang dipicu oleh oplosan tidak akan terhenti tanpa
upaya serius untuk menanganinya mulai dari bagian hulu hingga hilir.
Kebijakan ini tidak boleh hanya menyasar pada tindakan kuratif berupa pemidanaan
pedagang karena selama ini terbukti tidak efektif. Hukuman pidana bagi pedagang
dan produsen miras (oplosan/ilegal) selama ini terlalu ringan sehingga tidak
membawa efek jera.
Bagi pedagang dan produsen, iming-iming keuntungan yang bakal diperoleh dari
bisnis ilegal miras oplosan tersebut jauh lebih besar. Oleh karena itu, pelaku
usaha ilegal seperti ini tidak pernah kehabisan pemain baru.
Percuma saja produksinya ditutup di satu titik, namun tumbuh titik-titik baru.
Begitu pula ketika warung penjual miras ilegal disegel, selang beberapa hari
muncul di lokasi lain.
Pengalaman selama ini menunjukkan munculnya produsen dan pedagang baru tersebut tidak segera diatasi padahal apa yang mereka lakukan tersebut ilegal.
Ada kesan pembiaran hingga pada momentum-momentum tertentu dirazia untuk kepentingan pengelolaan isu hingga pencitraan institusi tertentu.
Kita mengingatkan pentingnya negara untuk hadir dan menomorsatukan keselamatan warga negaranya. Caranya, jangan pernah beri ruang bagi munculnya produk dan
perdagangan miras ilegal.
Sudah terlalu banyak korban berjatuhan akibatmenenggak miras oplosan.
Ketiadaan kontrol negara atas produksi miras ilegal tersebut menyebabkan sulit
mengukur seberapa bahaya kandungan dalam miras. Efek berbahaya biasanya baru
diketahui setelah dilakukan visum terhadap korban.
Negara dengan penetrasi aparat, alat, dan kekuasaannya tentu bisa menghentikan
produksi dan pemasaran miras ilegal. Banbinsa (Bintara Pembina Desa) bisa menjadi radar efektif untuk meredam peredaran miras ilegal beserta oplosannya.
Korban berjatuhan sudah terlalu banyak akibat oplosan. "Cukup adalah cukup." ***