Asumsi
kasar tentang korelasi pertumbuhan ekonomi dengan serapan tenaga kerja
saat ini tidak lagi berujung pada setiap persen pertumbunan ekonomi
mampu menyerap sekitar 400.000 tenaga kerja. Perubahan model
perekonomian yang lebih padat modal dan teknologi diduga menjadi
penyebab berubahnya rasio tersebut.
Saat
ini, rasio tersebut berubah menjadi lebih ramping. Setiap satu persen
pertumbuhan ekonomi sebuah negara hanya mampu menyerap 200.000-250.000
tenaga kerja atau penyusutannya mencapai 50 persen.
Pada
2017, pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi moderat dengan
pertimbangan ekonomi global belum sepenuhnya pulih. Dengan mematok
target pertumbuhan 5,2 persen pada 2017, berdasarkan asumsi baru,
pertumbuhan 5 persen tersebut berarti hanya menyerap sekitar 1 juta
hingga 1.250.000 tenaga kerja.
Jumlah
tersebut kelewat kecil dibandingkan dengan pertambahan jumlah angkatan
kerja baru pada 2017. Data Badan Pusat Statistik menyebutkan penduduk
pekerja di Indonesia pada Februari 2017 sebanyak 131,55 juta orang, naik
6,13 juta orang dibanding pada semester lalu, dan bertambah 3,89 juta
orang dibanding Februari 2017.
Masih
menurut BPS, pada 2017 terjadi kenaikan jumlah pengangguran di
Indonesia sebesar 10.000 orang menjadi 7,04 juta orang pada Agustus 2017
dari Agustus 2016 sebesar 7,03 juta orang.
Bagi
negara yang sedang tumbuh dan giat membangun, jumlah pengangguran lebih
dari tujuh juta jiwa itu terlalu banyak dan sangat membenani. Apalagi
bila sebagian dari mereka adalah angkatan kerja terdidik dan terlatih,
namun tidak bisa terserap akibat tidak jumbuhnya latar belakang
pendidikan dengan kebutuhan tenaga kerja.
Sebelumnya
juga dilaporkan bahwa banyak program studi vokasi di sekolah menengah
kejuruan tidak "match" dengan pasar kerja sehingga keterampilan mereka
tidak disalurkan pada bidang pekerjaan yang tepat. Fenomena ini tentu
mencerminkan inefisiensi pendidikan dari hulu hingga hilirnya.
Dunia
industri, jasa, dan perdagangan yang kian disesaki teknologi saat ini
dan mendatang memang menjadi ancaman serius bagi angkatan kerja. Sudah
jamak bahwa industri otomotif saat ini banyak memanfaatkan robot untuk
menopang produktivitasnya. Pekerjaan robotik dinilai lebih presisi dan
tentu saja tidak banyak tuntutan seperti halnya tenaga manusia.
Penggunaan
robot dan sentuhan teknologi informasi jelas lebih mampu memangkas
biaya produksi dan distribusi. Ini merupakan keniscayaan model bisnis
pada hari ini dan di masa mendatang. Oleh karena itu, dunia industri,
termasuk perbankan, tidak lagi bisa hanya mengandalkan tenaga manusia.
Mesin menjadi variabel sangat penting guna meningkatkan produktivitas.
Menjadi
kewajiban bagi negara, apalagi negara berpenduduk 280 juta jiwa seperti
Indonesia, untuk menyiapkan tenaga kerja yang terdidik dan terlatih
yang sesuai dengan kebutuhan pasar untuk mengisi pos-pos yang mampu
memberi nilai tambah yang tidak bisa dilakukan oleh mesin. Kreativitas
individu menjadi keharusan bila mereka masih ingin bersaing dalam dunia
kerja.
Sektor
lain yang selama ini mampu menyerap jutaan tenaga kerja, seperti
pertanian dalam arti luas, harus tetap menjadi fokus pengambil
kebijakan. Betapa pun, penduduk sebanyak 280 juta jiwa tetap membutuhkan
pangan dalam jumlah besar. Pasar ekspor produk pertanian juga terbuka
lebar sepanjang mutu produk pertanian memenuhi syarat ketat kesehatan
dan gizi.
Pemerintah
kiranya perlu memberi insentif memadai terhadap industri manufaktur
pangan yang selama ini mampu menyerap banyak tenaga kerja. Misalnya,
membebaskan bea masuk bahan penolong yang saat ini belum mampu
diproduksi di dalam negeri.
Dengan
jumlah penduduk 280 juta jiwa dan ditopang sumber daya alam yang
mengagumkan, seharusnya Indonesia mampu menggerakkan perekonomian lebih
tinggi dari apa yang dicapai saat ini.
Sektor
pariwisata yang terus menggeliat, misalnya, harus diberi ruang lebih
lebar agar bisa terus berkembang dan menggerakkan perekonomian. Bidang
industri kreatif lain yang mencuat dari berbagai pelosok, juga harus
difasilitasi karena saat ini titik-titik pertumbuhan tidak lagi
terkonsentrasi di pusat dan pinggiran kota besar.
Menggerakkan
perekonomian dari kawasan pinggiran diyakini bakal memberi sumbangan
pertumbuhan yang lebih tinggi sekaligus merata.
Sekadar
mengingatkan, di zaman Orde Baru (1989-1994) Indonesia pernah mengalami
pertumbuhan ekonomi mendekati tujuh persen/tahun meski masih menyisakan
masalah pada aspek pemeratannya.
Kita melihat bahwa aspek pemerataan pembangunan menjadi perhatian serius Presiden Joko Widido.
Jadi,
pekerjaan rumah pemerintahan sekarang adalah bagaimana mendongkrak
pertumbuhan lebih tinggi lagi, kemudian membagi "kue" tersebut secara
merata.***