Gundah rasanya menyaksikan polemik serta perdebatan tidak berujung antarelite yang terjadi saat ini. Berbagai polemik seolah tidak pernah berhenti menghiasi berbagai media, baik media "mainstream" maupun media sosial yang makin liar dan sulit dikontrol.
Yang cukup hangat saat ini, antara lain, polemik soal reklamasi Teluk Jakarta, penutupan Alexis, pembangunan infrastruktur pada era pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla yang oleh sebagian kalangan dianggap abai terhadap aspek lainnya, wacana pembentukan Densus Tipikor oleh Polri, soal upah minimum provinsi (UMP), utamanya di DKI, serta berbagai masalah lainnya.
Bila kita cermati, berbagai polemik yang mencuat sekaligus membingungkan rakyat tersebut bersumber dari adu kuat, saling ngotot, saling cari benarnya sendiri (justifikasi), serta mengedepankan ego dan kepentingannya masing-masing. Kita sering terheran-heran, misalnya tatkala Wapres Jusuf Kalla yang konon merupakan pendukung terpilihnya Anis dan Sandi mengatakan bahwa pasangan ini sudah tidak masalah dengan Pulau B dan C yang sudah jadi dan dimanfaatkan. Namun, di lain kesempatan bertemu media, Anis tetap berpedoman pada draf janji kampanye yang tertulis, misalnya.
Demikian pula, dengan pernyataan mantan Menteri ESDM Sudirman Said yang juga tim sinkronisasi Anis dan Sandi terkait dengan penerbitan Pergub Reklamasi yang berulang kali dibantah kalangan Istana dengan mengemukakan berbagai data pendukung.
Berlarutnya persoalan yang tampaknya lebih pada nuansa politis menjelang pemilihan kepala daerah serentak pada tahun 2018 serta Pemilu 2019 tersebut oleh sebagian kalangan dianggap kontraproduktif serta menghabiskan energi semata. Rasa saling curiga, rasa ingin dianggap benar, dan keluar sebagai pemenang tampaknya menutup urgensi jabatan yang mereka emban, yaitu menyejahterakan rakyat.
Terkait dengan pembentukan Densus Tipikor yang masih merupakan wacana serta usulan, pemecahannya lebih mudah, seperti yang dilakukan sekarang dengan cara menundanya. Namun, terkait dengan reklamasi yang konon terjadi sejak era-era sebelumnya, bahkan telanjur terjadi, solusinya tentu tidak cukup dengan setuju atau tidak setuju, atau penghentian seperti janji politis saat kampanye. Namun, perlu dicarikan solusi yang sebaik-baiknya dan merupakan "win-win solution".
Demikian pula, misalnya dengan upah buruh, pembelian helikopter, dan alutista lainnya, serta hal lain yang sudah merupakan ketelanjuran. Ibarat nasi sudah menjadi bubur, tentu tidak mungkin dikembalikan menjadi nasi kembali.
Pertanyaannya, maukah para elite tersebut melakukan dialog guna mencari jalan ke luar yang terbaik dengan tujuan menyejahterakan rakyat? Apa yang harus mereka saling sadari bila memang jalan dialog tersebut yang akan mereka tempuh?
Saling Mengalah
Euforia kebebasan serta demokrasi yang terjadi sejak era Reformasi, tampaknya hingga saat ini masih banyak disalahmaknai. Bila kita cermati sikap dan perilaku para elite melalui berbagai media, tampaknya yang mereka maksud demokrasi itu adalah kebebasan menyampaikan pendapat dan pandangan, bahkan melakukan kritik tanpa batas.
Padahal, bila kita lihat demokrasi, khususnya dari pendekatan Ilmu Komunikasi, demokrasi itu pada hakikatnya adalah dialog. Adapun inti dari dialog itu bila kita camkan adalah saling mengalah karena tujuannya adalah menjadi titik temu serta saling pengertian (mutual understanding).
Oleh karena itu, bila memang jalan dialog yang dipilih dalam memecahkan masalah, antarelite haruslah siap saling mengalah. Bila kita cermati secara lebih dalam, sebenarnya demokrasi Pancasila yang mengutamakan musyawarah mufakat, hanya mungkin terjadi bila para pesertanya mau saling mengalah demi kepentingan yang lebih besar, yaitu kepentingan bangsa dan negara.
Namun, sayangnya saat ini demokrasi kita sudah lebih cenderung sebagai demokrasi liberal yang mengutamakan pengambilan keputusan melalui voting yang cenderung terkesan saling adu kuat. Dalam hal ini, kebenaran secara kuantitatif diambil berdasarkan suara terbanyak. Di balik itu, indikasi seringnya terjadi "walk out" di antara para pengambil putusan menunjukkan ketidakmauan mereka saling mengalah demi kepentingan rakyat.
Kebiasaan melakukan voting dalam pengambilan keputusan itulah yang tampaknya terbawa oleh para elite lainnya dalam mempertahankan pendapat dan argumennya. Mungkin berdasarkan data yang ada argumen dari elite tertentu benar, misalnya, tidak bisakah argumen tersebut agak dikendurkan? Apalagi, kalau ada kepentingan lain yang lebih besar, terlebih bila yang diperdebatkan tersebut telah telanjur dilakukan.
Perdebatan dengan saling melakukan pembenaran (justification) sebenarnya saat ini sudah tidak terlalu efektif pengaruhnya. Rakyat yang makin dicerdaskan, terutama oleh berbagai media, dan makin meningkatnya tingkat pendidikan mereka, dibingungkan oleh perdebatan tidak berujung yang akhirnya akan melakukan penilaian hingga mengambil keputusan berdasarkan apa yang mereka rasakan serta alami.
Oleh karena itu, tidaklah mengherankan bila hasil survei oleh berbagai lembaga menunjukkan kepuasan rakyat terhadap kinerja pemerintahan Jokowi dan JK yang terus meningkat meski kebijakan pengutamaan pembangunan infrastruktur ada yang menganggapnya salah kaprah.
Mungkin untuk wilayah Jawa, khususnya kota-kota besar, pembangunan infrastruktur dampaknya belum begitu tersasa. Selain kritik terjadinya kemacetan yang parah dan pengabaian amdal lalu lintas seperti yang disampaikan Gubernur DKI Jakarta. Namun, berdasarkan informasi dari berbagai kerabat serta kolega yang hidup serta berkarya di luar Pulau Jawa, pembangunan infrastruktur, utamanya infrastruktur jalan, sangatlah dirasakan manfaatnya bagi rakyat.
Kemacetan sebagai dampak pembangunan infrastruktur jalan, jembatan, jalan layang, "underpass", dan sejenisnya tentu menimbulkan ketidaknyamanan sementara. Namun, bila kelak telah selesai pembangunannya, dampak positifnya tentu akan dirasakan, termasuk pada pembangunan infrastrktur lainnya.
Oleh sebab itu, alangkah indahnya bila para elite mulai saat ini mengurangi saling adu argumen mencari benarnya sendiri demi kepentingan politik jangka pendek. Menggunakan model "deception communication" (komunikasi pengelabuan) memang tidak selamanya jelek dan negatif, tetapi bisa juga positif bila tujuannya adalah kesejahteraan rakyat.
Sebaliknya, bila komunikasi pengelabuan tersebut hanya untuk mengambil hati dan diabaikan setelah terpilih, dampaknya rakyat tidak akan memercayai dan memilihnya kelak. Rakyat akan menganggap mereka ingkar janji. Menurut seorang pakar Yale, karakternya dianggap jelek dan akan menurunkan kredibilitasnya.
Jalan keluar untuk mengatasi semua itu, utamanya pada kasus ketelanjuran, adalah melakukan dialog dengan prinsip saling mengalah. Hal inilah jawabannya.
*) Penulis adalah dosen dan Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIKOM) Semarang.