Mahasiswa Australia-Komunitas Lima Gunung Menari Soreng
Instingnya terbentuk untuk menari, mengikuti irama tabuhan, menjadi penabuh dan penari karena kebiasaan masyarakat di desa masing-masing
Magelang, ANTARA JATENG - Para mahasiswa Universitas Melbourne, Australia, mencoba menari soreng bersama para seniman putri Komunitas Lima Gunung dari kelompok Sanggar "Goh Muko" Bandongan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Sabtu.
"Mereka berjumlah sekitar 15 mahasiswa datang ke Komunitas Lima Gunung dalam rangka penelitian, terutama tentang pengelolaan komunitas," kata seorang pemimpin Komunitas Lima Gunung Kabupaten Magelang Riyadi di sela kegiatan tersebut di Studio Mendut di Magelang, Sabtu.
Bersama sepuluh penari soreng putri dari kelompok Sanggar "Goh Muko" Bandongan, mereka mencoba ikut menarikan tarian tradisional tersebut selama beberapa saat.
Tarian soreng populer di kalangan masyarakat petani gunung-gunung di daerah itu, dengan tabuhan sejumlah alat musik gamelan yang berirama dinamis.
Tarian itu tidak lepas dari legenda tentang latihan keprajuritan di bawah kepemimpinan Arya Penangsang dari Jipang guna menghadapi peperangan melawan pasukan Sultan Hadiwijaya dari Pajang.
Para mahasiswa itu berasal dari Fakultas Victoria College of Arts dan Melbourne Conservatorium of Music Universitas Melbourne, di Victoria, Australia.
Mereka juga menyaksikan penampilan tarian geculan bocah dan gupala gunung yang dimainkan anak-anak dari Padepokan Warga Budaya Gejayan, Desa Banyusidi, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang di kawasan Gunung Merbabu.
Dalang Komunitas Lima Gunung Sih Agung Prasetyo, pada kesempatan itu menjelaskan karya kreatif komunitas tersebut sejak beberapa tahun terakhir, berupa wayang serangga. Wayang kontemporer berupa tokoh-tokoh serangga tersebut sering dipentaskan dalam berbagai kesempatan untuk mengampanyekan cinta dan pelestarian lingkungan alam pertanian.
Budayawan Komunitas Lima Gunung Sutanto Mendut menjelaskan para umumnya para seniman petani komunitas yang dirintisnya sejak lebih dari 16 tahun lalu itu, bisa menari karena mengikuti kebiasaan masyarakat desa-desa sekitarnya di kawasan gunung mereka yang melestarikan tradisi seni dan budaya.
"Instingnya terbentuk untuk menari, mengikuti irama tabuhan, menjadi penabuh dan penari karena kebiasaan masyarakat di desa masing-masing," ujarnya.
Tradisi seni dan budaya, ujarnya, sebagai bagian dari ritual kehidupan setiap hari.
Pimpinan rombongan mahasiswa itu, Danny Butt, menyebut kehadiran di tempat tersebut mendapat sambutan yang ramah dari Komunitas Lima Gunung sehingga menjadi pengalaman penting dan menarik.
"Ini pengalaman luar biasa, selain mendapat pengetahuan dari Pak Tanto, kami juga mendapat kesempatan mencicipi kekayaan budaya di sini. Pak Tanto membuat ruang seni yang tanpa pemimpin," katanya.
Selama menjalani kegiatan bersama Komunitas Lima Gunung di panggung terbuka di Studio Mendut itu, mereka juga mendapat suguhan makanan tradisional, seperti kacang dan ubi rebus, serta makan siang dengan menu sop senerek.
"Mereka berjumlah sekitar 15 mahasiswa datang ke Komunitas Lima Gunung dalam rangka penelitian, terutama tentang pengelolaan komunitas," kata seorang pemimpin Komunitas Lima Gunung Kabupaten Magelang Riyadi di sela kegiatan tersebut di Studio Mendut di Magelang, Sabtu.
Bersama sepuluh penari soreng putri dari kelompok Sanggar "Goh Muko" Bandongan, mereka mencoba ikut menarikan tarian tradisional tersebut selama beberapa saat.
Tarian soreng populer di kalangan masyarakat petani gunung-gunung di daerah itu, dengan tabuhan sejumlah alat musik gamelan yang berirama dinamis.
Tarian itu tidak lepas dari legenda tentang latihan keprajuritan di bawah kepemimpinan Arya Penangsang dari Jipang guna menghadapi peperangan melawan pasukan Sultan Hadiwijaya dari Pajang.
Para mahasiswa itu berasal dari Fakultas Victoria College of Arts dan Melbourne Conservatorium of Music Universitas Melbourne, di Victoria, Australia.
Mereka juga menyaksikan penampilan tarian geculan bocah dan gupala gunung yang dimainkan anak-anak dari Padepokan Warga Budaya Gejayan, Desa Banyusidi, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang di kawasan Gunung Merbabu.
Dalang Komunitas Lima Gunung Sih Agung Prasetyo, pada kesempatan itu menjelaskan karya kreatif komunitas tersebut sejak beberapa tahun terakhir, berupa wayang serangga. Wayang kontemporer berupa tokoh-tokoh serangga tersebut sering dipentaskan dalam berbagai kesempatan untuk mengampanyekan cinta dan pelestarian lingkungan alam pertanian.
Budayawan Komunitas Lima Gunung Sutanto Mendut menjelaskan para umumnya para seniman petani komunitas yang dirintisnya sejak lebih dari 16 tahun lalu itu, bisa menari karena mengikuti kebiasaan masyarakat desa-desa sekitarnya di kawasan gunung mereka yang melestarikan tradisi seni dan budaya.
"Instingnya terbentuk untuk menari, mengikuti irama tabuhan, menjadi penabuh dan penari karena kebiasaan masyarakat di desa masing-masing," ujarnya.
Tradisi seni dan budaya, ujarnya, sebagai bagian dari ritual kehidupan setiap hari.
Pimpinan rombongan mahasiswa itu, Danny Butt, menyebut kehadiran di tempat tersebut mendapat sambutan yang ramah dari Komunitas Lima Gunung sehingga menjadi pengalaman penting dan menarik.
"Ini pengalaman luar biasa, selain mendapat pengetahuan dari Pak Tanto, kami juga mendapat kesempatan mencicipi kekayaan budaya di sini. Pak Tanto membuat ruang seni yang tanpa pemimpin," katanya.
Selama menjalani kegiatan bersama Komunitas Lima Gunung di panggung terbuka di Studio Mendut itu, mereka juga mendapat suguhan makanan tradisional, seperti kacang dan ubi rebus, serta makan siang dengan menu sop senerek.