Bencana kekeringan yang datang secara perlahan-lahan serta bisa berlangsung lama sering kali luput dari perhatian kita semua. Berbeda dengan bencana alam yang bersifat tiba-tiba, seperti banjir bandang, tanah longsor, dan gempa bumi.
Bencana kekeringan baru disadari ketika kekurangan air bersih sudah dirasakan mencekik leher. Bahkan, di perdesaan, rebutan air sering kali berujung konflik dan kekacauan sosial. Sementara itu, di daerah perkotaan relatif masih dapat tercukupi kebutuhan air bersih melalui Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM).
Di Jawa Tengah, misalnya, beberapa wilayah kini sudah merasakan dampak kekeringan. Sebut saja di Kabupaten Temanggung, warga setempat sudah kesulitan air bersih, petani cabai terpaksa juga harus menyewa pompa air untuk menyedot air dari selokan guna menyirami tanaman cabainya agar tetap bisa panen pada musim kemarau ini.
Tidak tanggung-tanggung, petani cabai harus merogoh kocek lebih dalam karena selain untuk biaya menyedot air dan membeli bahan bakar, mereka juga menghadapi masalah lain yang muncul, yakni serangan penyakit patek sehingga harus mereka basmi dengan pestisida agar serangan penyakit tersebut tidak makin meluas.
Nasib serupa juga dialami warga Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, mulai kesulitan mendapatkan air bersih menyusul sumur mereka mulai mengering pada musim kemarau seperti sekarang.
Begitu pula, di Kabupaten Banyumas, bencana kekeringan dilaporkan telah meluas dan melanda delapan desa, yakni Keniten, Panusupan, Kalitapen, Karangtalun Kidul, Tamansari, Pasir Kidul, Sawangan, dan Suro.
Selama ini, seperti biasa pemerintah mengatasi persoalan kelangkaan air di daerah dengan cara parsial. Untuk konsumsi langsung, biasanya ada pengedropan dan pembagian air bersih secara berkala.
Untuk produksi di sawah, tidak jarang para petani membiarkan tanaman padi yang kehabisan air menjadi kering dan akhirnya tanaman itu dibabat untuk dijadikan pakan ternak.