Bertandang ke Candi Borobudur di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, bukan sekadar berwisata dengan menaiki tangga demi tangga dari tataran bawah hingga puncaknya di stupa induk.
Candi yang dibangun sekitar abad kedelapan Masehi pada masa pemerintahan Dinasti Syailendra itu memang megah, elok, dan menakjubkan. Borobudur dibangun dari tatanan sekitar dua juta batuan andesit oleh nenek moyang Bangsa Indonesia. Bangunannya berdiri di kawasan pertemuan antara Kali Elo dan Progo.
Dari puncak Borobudur di sekitar stupa induk, wisatawan mendapatkan kelegaan karena bisa memandang hamparan kawasannya yang luas. Terlebih saat menjelang pagi, pengunjung bisa menikmati pemandangan elok, yakni matahari terbit, yang hanya tampak selama beberapa menit. Saat itulah, momentum menakjubkan direguk.
Bisa dimengerti kalau setiap pengunjung akan kelelahan ketika menapaki tangga-tangga candi hingga bagian puncak. Belum lagi kalau wisatawan memenuhi keingintahuan lorong-lorongnya dengan relief-relief menarik tentang perjalanan Sang Buddha Gautama, termasuk kisah-kisah menyangkut ajaran kemanusiaan yang universal. Mereka akan dibuat takjub pula olehnya, meski harus mengumpulkan lelah yang lebih banyak. Para pemandu wisata akan "membacakan" dengan menarik narasi dinding-dinding candi itu.
Oleh karena lelah dan mungkin kepanasan ketika telah tiba di puncak stupa Borobudur, umumnya wisatawan kemudian istirahat dengan duduk-duduk di atas batuan dan membuka bekal minuman. Termasuk berswafoto, menjadi kebiasaan wisatawan ketika berada di stupa induk.
Pengelola Borobudur, baik pihak Taman Wisata Candi Borobudur maupun Balai Konservasi Borobudur, telah mengantisipasi dengan baik atas kebiasaan perilaku wisatawan, khususnya ketika telah berada di bagian stupa.
Tidak setiap tempat boleh menjadi ajang mereka duduk. Bahkan, untuk kepentingan konservasi, tidak disediakan bangku atau kursi di candi itu. Berbagai papan larangan dalam bahasa Indonesia dan Inggris dipasang. Di berbagai tempat disiapkan wadah sampah dengan jumlah memadai.
Melalui pelantang, petugas berulang kali mengingatkan wisatawan agar tidak duduk di tempat terlarang. Sejumlah petugas lapangan juga disiagakan di bagian puncak stupa itu untuk mengingatkan tentang berbagai larangan tersebut.
Pengelola Borobudur juga setiap hari menerjunkan petugas untuk mengurus sampah di candi itu. Setiap sehari, para petugas beberapa kali berkeliling untuk membersihkan candi dari sampah.
Larangan juga telah dikeluarkan untuk kebiasaan merogoh untuk memegang bagian tangan dari patung Sang Buddha di dalam salah satu stupa yang dikenal dengan sebutan "Kunto Bimo".
Wisatawan Candi Borobudur memang diharuskan memperhatikan kebersihan, dilarang corat-coret, merokok, memindahkan batuan, memanjat, membawa makanan, serta duduk di stupa dan pagar langkan.
Terlebih sewaktu ada rombongan umat Buddha atau para biksu melaksanakan prosesi ritual dalam waktu-waktu tertentu, seperti saat Waisak. Wisatawan harus lebih mengedepankan sikap yang lebih baik agar mereka bisa menjalani kegiatan rohaninya dengan tetap khusyuk. Prosesi mereka mewarnai secara kental aktivitas di Candi Borobudur.
Oleh karena Candi Borobudur bukan semata-mata dikelola sebagai tempat wisata, akan tetapi juga terkandung kepentingan luhur berupa pelestarian atas warisan budaya dunia itu, maka tanggung jawab konservasi bukan hanya di pundak pengelolanya, namun juga semua yang berkepentingan atas Borobudur, termasuk pengunjung.
Terkabar, termasuk melalui media sosial, bahwa saat musim liburan panjang belum lama ini, sejumlah pengunjung Borobudur duduk-duduk di batuan bagian stupa induk dan beberapa sampah bertebaran di lantai candi. Reaksi yang bermunculan menyiratkan nada prihatin, baik oleh warganet maupun pihak pengelola Candi Borobudur.
Perkara itu, memang keprihatinan bersama dan tentu menjadi catatan penting pihak pengelola Borobudur untuk memastikan berbagai larangan, ditaati wisatawan ketika bertandang ke candi tersebut.
Tatkala ke Candi Borobudur, ingatlah bahwa anda berwisata seraya memanggul tanggung jawab konservasi atasnya!