Hendrar Prihadi (Hendi) yang berduet dengan Hevearita Gunaryanti Rahayu (Ita) keluar sebagai pemenang. Hendi yang dipercaya kembali rakyat Kota Semarang meneruskan tugasnya, bakal mendapat tantangan lebih besar.
Di bawah kepemimpinan Hendi, wajah Ibu Kota Jawa Tengah ini memang lebih tertata. Pembangunan fisik termasuk ruang-ruang publik baru bermunculan. Bekas SPBU di Jalan Pandaran pun juga disulap jadi taman kota. Bantaran-bantaran sungai besar tampak lebih asri.
Titik-titik strategis kota yang semula banyak disesaki pedagang kaki lima, seperti di Taman KB dan Simpang Lima, misalnya, juga dibenahi. Angkutan umum TransSemarang juga beroperasi lebih teratur dengan jumlah trayek yang diperluas.
Sukses melakukan penataan kota sehingga tampak lebih bersih itulah yang membuat Kota Lunpia ini diganjar Piala Adipura pada November 2015. Capaian pembangunan fisik memang lebih mudah dilihat dan dibandingkan. Pertumbuhan ekonomi di kota ini juga lumayan, masih kisaran 5 persen.
Akan tetapi, untuk menilai pembangunan agar mendekati 'seutuhnya', capaian lain harus diperhitungkan. Pendapatan per kapita warga Kota Semarang memang tergolong tinggi, mencapai Rp1.058.225/bulan. Kalah tipis dibandingkan Kota Salatiga yang berada di posisi teratas di Provinsi Jateng, dengan raihan Rp1.058.283 pada 2014.
Sayangnya, kenaikan pendapatan per kapita selama beberapa tahun terakhir ini juga dibarengi dengan kenaikan indeks ketimpangan. Indeks Gini yang menunjukkan ketimpangan, pada 2014 mencapai 0,3807, jauh lebih tinggi dibandingkan pada 2010 (0,3224).
Indeks Gini pada 2014 menunjukkan ketimpangan pendapatan warga Kota Semarang masuk kategori sedang (di atas 0,35), padahal 5 tahun silam masih berkategori rendah (di bawah 0,35). Bila tidak ada kebijakan yang bisa mengarahkan pada pemerataan pendapatan, ketimpangan tinggi (di atas 0,50) tinggal menunggu waktu saja.
Melihat tren ketimpangan selama lima tahun terakhir, itu menunjukkan kenaikan pendapatan per kapita selalu dibarengi dengan meningkatnya ketimpangan. Padahal "gap" ini memiliki potensi kerawanan sosial.
Oleh karena itu, menjadi kewajiban Hendi-Ita untuk membagi "kue" pembangunan yang terus membesar tersebut agar tidak hanya dinikmati sebagian penduduk Kota Semarang. Kue pembangunan harus bisa menetes relatif merata.
Membagi pendapatan bagi sekitar dua juta warga Kota Semarang jelas bukan pekerjaan mudah. Sentra-sentra industri, terutama skala menengah, kecil, dan mikro harus tumbuh agar bisa menjadi titik-titik pertumbuhan baru yang tetesannya bisa dirasakan banyak orang.
Dengan luas wilayah sekitar 373,67 kilometer persegi, ruang untuk tumbuhnya kawasan industri baru masih terbuka. Kota ini memang masih butuh banyak membuka lapangan kerja baru, sebab jumlah pengangguran terdidik masih cukup banyak. Pada 2014 saja tercatat 77.726 orang menganggur, sebagian lulusan perguruan tinggi.
Dengan modal pertumbuhan ekonomi rata-rata 5 persen, pantaslah kiranya pemimpin baru Kota Semarang lebih cakap membagi kue pembangunan agar lebih merata.
Betapa tidak elok ketika seserang hidup berkecukupan, sedangkan lainnya masih sulit memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari. ***