Penghentian latihan secara tiba-tiba terjadi beberapa kali hingga menjelang tengah malam pada hari pertama Agustus 2015.
Gamelan pun berhenti ditabuh oleh para niyaga, disusul sekitar 150 penari kuda lumping bergerak mundur ke tepi jalan aspal dusun, sedangkan warga setempat yang menonton dengan suka ria juga tak terlihat gusar. Mereka sepertinya maklum.
"'Sik... sik... sik...! iklane arep liwat.' (Berhenti sebentar! Iklan akan lewat, red.)," seru Sudi Asmoro, seorang petinggi kelompok seniman petani Sanggar Andong Jinawi Dusun Mantran Wetan, Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang di kawasan Gunung Andong yang menjadi salah satu instruktur geladi bersih pementasan kuda lumping massal untuk Festival Lima Gunung XIV pada 2015.
Festival yang diselenggarakan setiap tahun secara mandiri, tanpa sponsor, oleh seniman petani Komunitas Lima Gunung Kabupaten Magelang (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh) itu, akan berlangsung pada 14-17 Agustus 2015 di dua lokasi, yakni Gunung Andong (Mantran Wetan) dan Gunung Merapi (Dusun Tutup Ngisor, Desa Sumber, Kecamatan Dukun).
Agenda festival yang cukup padat di dua lokasi itu, antara lain pementasan kesenian tradisional, kontemporer, dan kolaborasi, pentas musik oleh pemusik jaz dari Amerika Serikat Richard Bennet dan Laula Jeanenin, serta kwartet jaz Nanok Tirto.
Selain itu, pameran seni rupa berbagai komunitas, kirab budaya, sarasehan budaya dengan pembicara para tokoh, pidato kebudayaan, peluncuran buku, tirakatan malam menjelang peringatan proklamasi kemerdekaan RI, dan upacara HUT Ke-70 RI yang digarap secara khas oleh para seniman kawasan Gunung Merapi.
Warga Mantran Wetan akan ziarah ke puncak Gunung Andong sebagai pra-acara Festival Lima Gunung 2015, juga akan meresmikan selesainya rehab Masjid Al Mubaraq melalui pengajian akbar dengan menghadirkan sekitar 10 kiai, dalam rangkaian festival tersebut.
Berbagai pergelaran, selain dilakukan seniman Komunitas Lima Gunung, juga berbagai grup kesenian rakyat dari desa-desa sekitar lokasi festival, jejaring komunitas di berbagai kota, seperti Solo, Yogyakarta, Malang, Jawa Barat, dan luar negeri.
Panitia festival di bawah koordinator lapangan Riyadi, memperkirakan 800-1.000 orang melalui kelompok masing-masing, baik dusun, desa, maupun grup dari sejumlah kota yang berjejaring dengan Komunitas Lima Gunung, bakal tampil dalam seluruh rangkaian festival berkekuatan spirit "tanpa berembuk duwit" itu. Festival Lima Gunung 2015 mengusung tema "Mantra Gunung".
Seruan "iklan akan lewat" oleh instruktur geladi kuda lumping massal sebagai perintah latihan mereka berhenti sejenak malam itu, mengadopsi pola tayangan iklan di televisi yang menjadi kekuatan pengelola industri siaran televisi dalam menyuguhkan program acaranya.
Namun, bagi ratusan penari kuda lumping dan warga setempat yang memanfaatkan keramaian geladi mereka sebagai hiburan malam, menjadi tanda penghormatan kepada kepentingan publik yang hendak melewati jalan beraspal membelah dusun setempat di kawasan Gunung Andong itu.
Ketika seruan itu berkumandang melalui kerasnya pelantang, semua sudah tahu bahwa segera melintas mobil bak terbuka yang antara lain mengangkut aneka sayuran dan ternak sapi. Berkali-kali kendaraan semacam itu, melewati jalan dusun tersebut untuk menuju pasar tradisonal di kawasan setempat.
Oleh karena malam minggu, jalan dusun setempat juga cukup ramai dilewati pengendara sepeda motor yang pemboncengnya membawa ransel. Mereka hendak mendaki Gunung Andong untuk menikmati keindahan alam kawasan setempat yang berudara dingin itu. Sorotan lampu-lampu senter mereka yang sudah melakuan pendakian ke puncak gunung tersebut, terlihat dari Dusun Mantran Wetan.
Saat melintas satu "iklan", warga dan para penari kuda lumping massal dibuat bersorak dan tertawa. Ketika satu mobil melewati tengah massa, terdengar suara lenguhan seekor sapi yang diangkut dari bak terbuka kendaraan itu. Lenguhan sapi itu, seakan-akan menyapa dengan hormat para warga setempat.
Sang sopir mobil bak terbuka itu pun dengan suara sopan mengulukkan salam sambil mengendarai armadanya, "Nderek langkung! (Permisi, numpang lewat, red.). Ia seakan menerjemahkan arti lenguhan sapi yang diangkutnya. Secara spontan dan kompak, warga dari tepi jalan menyambut dengan ramah, "Monggo! (Silakan, red.)".
Namun, Ketua Panitia Lokal Mantran Wetan Festival Lima Gunung 2015 Sutopo yang juga fasih bermain ketoprak itu, membuat lelucon dengan jitu ketika mobil bak terbuka pengangkut sapi sudah agak jauh melewati kerumunan massa.
"Pinarak Lik, sak sapine sisan! (Mampir Om, sekalian dengan sapinya, red)," teriaknya yang disambut tertawa warga setempat seolah menyibak hawa dingin Gunung Andong malam itu yang mencapai 21 derajat Celsius. Mungkin, sang sopir mobil pengangkut sapi ikut tertawa mendengar sapaan ramah dan bernada canda itu.
Pementasan kuda lumping massal dalam Festival Lima Gunung 2015 diagendakan pada Minggu (16/8) sore selama 30 menit atau hingga menjelang saat maghrib.
Pimpinan Sanggar Andong Jinawi Dusun Mantran Wetan yang juga Ketua Komunitas Lima Gunung Supadi Haryanto mengakui banyak varian sebutan untuk tarian tradisional kuda lumping yang hingga saat ini masih populer di berbagai tempat, terutama di Jawa, antara lain jaran kepang dan jatilan.
Masyarakat setempat pun hingga saat ini masih memiliki tradisi pementasan kuda lumping yang disebut "jaran kepang papat". Tarian itu hanya dimainkan pada waktu-waktu tertentu sesuai kalender desa, oleh empat (papat) penari yang masih satu keturunan darah.
Cerita yang membalut tarian kuda lumping yang dimengerti oleh warga setempat, katanya, tentang kisah Prabu Sewandono (Klana Sewandono) dari Kerajaan Bantarangin (Ponorogo) melamar Dewi Songgolangit dari Kerajaan Kediri (Bali).
Panitia lokal Festival Lima Gunung 2015 telah mendata sekitar 150 penampil tarian tradisional kuda lumping dari enam grup dari beberapa dusun di tiga kabupaten (Magelang, Semarang, dan Temanggung) akan menari di sepanjang setengah kilometer jalan aspal, mulai dekat masjid besar Al Mubaraq hingga salah satu mushalla di Dusun Mantran Wetan.
Mereka berasal dari Desa Poloboga, Tanon, Padan, masing-masing Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang, Dusun Soromayan, Desa Madyogondo dan Dusun Mantran Wetan, Desa Girirejo, masing-masing Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang, serta Desa Ngaditirto, Kecamatan Selopampang, Kabupaten Temanggung.
"Selama ini, kelompok-kelompok itu menjadi murid di Mantran ini, belajar bersama di sini mengembangkan kuda lumping. Latihannya pada malam-malam tertentu. Makanya mereka senang ketika kami akan menggelar kuda lumping massal dalam festival nanti," ucapnya.
Saat "brefing" sebelum geladi malam itu, di hadapan ratusan penari, Supadi dengan bahasa jawa kromo inggil menekankan pentingnya mereka menari dengan mendasarkan kepada kekuatan hati masing-masing.
"'Ingkang baku, penggalihipun remen, klintu mboten nopo-nopo. Menawi njogetipun medal saking ati, samangke sumrambah dhateng wujudipun. Inggih punika sesarengan anggen kita sami sesrawungan pasedherekan'. (Yang penting hati bergembira, salah tidak apa-apa. Kalau menari dari lubuk hati akan terwujud kebersamaan dan persaudaraan kita, red.)," tuturnya.
Pada kesempatan itu, ia memperkenalkan seorang pengurus Dewan Kesenian Kota Magelang, Wiedyas Cahyono yang berkeinginan untuk bergabung, ikut dalam pementasan kuda lumping massal, meskipun lelaki yang juga wartawan salah satu media cetak itu, sama sekali bukan penari.
"'Angsal nggih!' (Boleh ya!, red.)," kata Supadi yang dijawab dengan seruan kompak ratusan penari, "Angsal!".