"Saat saya kecil, masih terkenang dengan sumber air di sungai persis di sebelah makam Kiai Dudo yang merupakan cikal bakal munculnya tradisi bulusan kondisi airnya masih cukup jernih," ujarnya saat memberikan sambutan pada acara kirab tradisi bulusan di Dusun Sumber, Desa Hadipolo, Kecamatan Jekulo, Kudus, Jumat (24/7).
Bahkan, lanjut dia, hewan bulus (penyu air tawar) juga sesekali muncul di aliran sungai setempat.
Sementara kondisi aliran sungai setempat saat ini, lanjut dia, sangat kotor.
Ia berharap, adanya tradisi bulusan yang menjadi agenda tahunan akan memotivasi warga agar menjaga kebersihan sungai setempat.
Apalagi, lokasi setempat setiap tahunnya menjadi daya tarik wisatawan lokal dari berbagai daerah yang ingin menyaksikan tradisi bulusan.
Kepala Desa Hadipolo Wawan Setiawan mengatakan, tradisi bulusan tahun ini dikemas berbeda untuk menarik lebih banyak pengunjung.
Tradisi tahunan tersebut, kata dia, juga dimanfaatkan untuk mengenalkan potensi dari 12 desa yang ada di Kecamatan Jekulo.
Selain itu, lanjut dia, tradisi bulusan yang digelar juga lebih meriah mengingat banyak pertunjukan sehingga mengundang minat pengunjung.
Di antaranya, pertunjukan barongsai, kolaborasi musik dan tari saman dari Aceh, kemudian dilanjutkan dengan pertunjukan wayang kulit dengan menampilkan dalang cilik, serta pertunjukan bola api dan mandi api.
Puncak acara tradisi bulusan, yakni karnaval dan pertunjukan seni dari masing-masing sekolah di Kecamatan Jekulo pada Jumat (24/7).
Perayaan Bulusan, bagi warga sekitar dianggap sebagai kegiatan peringatan hari lahirnya (khaul) bulus, yang menurut cerita bulus tersebut merupakan jelmaan dua orang manusia yang bernama Kumoro dan Komari murid Kiai Dudo.
Perayaan tradisi Bulusan berlangsung sejak lama, yakni sejak puluhan tahun ketika Sunan Muria masih melakukan syiar agama Islam.
Tradisi Bulusan berawal pada malam 17 Ramadan ketika digelar peringatan Nujulul Quran di Desa Hadipolo yang dilaksanakan selesai salat tarawih.
Pada kesempatan tersebut, hadir Sunan Muria, namun saat acara berlangsung dua orang murid Kiai Dudo, yakni Kumoro dan Komari mengeluarkan suara gaduh karena sedang mengambil benih padi.
Selanjutnya, kedua orang tersebut dianggap bulus dan ketika dilihat keduanya tiba-tiba menjadi bulus.
Meskipun telah berubah menjadi bulus, nantinya setiap 8 Syawal akan diperingati oleh anak cucunya tanpa harus diundang.