Oleh karena itu, transaksi jual beli gelar, termasuk untuk jenjang pascasarjana, terus berlangsung. Penyelenggara program magister (S-2) dan doktor (S-3) kini memang bukan monopoli perguruan tinggi negeri. Banyak perguruan tinggi swasta membuka program S-2 dan S-3 karena peminatnya memang banyak.
Animo tinggi itulah yang memicu sebagian orang mencari jalan pintas untuk mengeruk uang dalam waktu singkat. Keinginan ini jumbuh dengan nafsu sebagian orang yang ingin mentereng dengan titel S-2 bahkan S-3, namun malas mengikuti kuliah. Apalagi melakukan riset yang memang menjadi tugas pokok mahasiswa di jenjang pascasarjana.
Itu belum termasuk dengan biaya yang tidak sedikit pula bila kuliah pasacasarjana di perguruan tinggi yang memang menekankan mutu akademik. Biaya riset dan buku lumayan menguras duit mahasiswa.
Oleh karena itu, ketika ada tawaran memperoleh gelar magister dan doktor dalam waktu cepat dan biaya murah, banyak orang tertarik. Apalagi kalau lembaga yang menawarkan itu "berbau"perguruan tinggi hebat di luar negeri.
Kasus terakhir adalah University of Berkley di Indonesia yang bisa mengganjar gelar master dan doktor dengan biaya murah untuk ukuran studi yang sebenarnya. Nama University of Berkley mengingatkan pada perguruan tinggi terkenal di Amerika Serikat, Berkeley University of California.
Nama kampus ini pernah sangat populer di Indonesia hingga dekade 1990-an karena banyak arsitek pembangunan ekonomi di negeri ini merupakan lulusan Berkeley. Saking dominannya mereka, sampai menimbulkan julukan Mafia Berkeley.
Untuk bisa menembus perguruan favorit di AS tersebut pasti dibutuhkan dolar yang bila dikurskan bisa mencapai ratusan juta rupiah di luar syarat kemampuan akademik tinggi. Namun, University of Berkley (tanpa e setelah huruf k), hanya butuh setor uang Rp35 juta untuk master dan Rp57 juta untuk jenjang doktor!
Direktur Pembelajaran dan Kemahasiswaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi pada Kementerian Riset Teknologi dan Perguruan Tinggi, Illah Sailah, menegaskan University of Berkley tidak tercantum dalam daftar Lembaga Manajemen Internasional Indonesia.
Jual beli gelar akademik abal-abal sejak dulu selalu ada. Begitu ditutup, beberapa saat kemudian mereda, kemudian mencuat kembali dengan modus yang tidak jauh beda. Fenomena ini identik dengan barang bajakan alias KW. Sepanjang masih ada pembeli barang KW, produsen merangkap pembajak terus berjaya.
Yang menjadi pertanyaan, mengapa banyak orang rela mengeluarkan duit hingga puluhan juta rupiah untuk mendapatkan gelar akademik yang abal-abal? Kalau mau jujur, tidak sedikit lembaga pendidikan tinggi resmi yang juga "menjual" gelar akademik kepada mahasiswanya.
Caranya, memberi toleransi superlonggar kepada mahasiswanya untuk lulus sekaligus meraih gelar. Syaratnya, mereka lancar jaya membayar uang kuliah. Intinya, mereka memperlakukan mahasiswa pemburu gelar sebagai pasar, bukan sebagai (calon) intelektual dan periset dengan menerapkan standar akademik ketat. Pagar penjaga mutu berupa akreditasi harus terus ditinggikan, agar kualitas lulusannya semakin tinggi.
Feodalisme memang belum sepenuhnya lenyap dalam kehidupan masyarakat. Lihat saja, banyak orang terdidik yang gelar akademiknya berderet, juga masih mau mendapatkan gelar dari keraton yang tidak gratis. Gelar dari keraton kini memang tidak lagi membanggakan, apalagi bila meraihnya dengan cara membeli.
Akan tetapi, di masa pendidikan formal kian didewa-dewakan, gelar akademik boleh jadi bisa memberi rasa percaya diri pemakainya. Namun, tidak bagi orang yang lebih menghargai isi. ***