"Apabila HZO melibatkan kornea (infeksi kornea/keratitis) dapat menimbulkan gejala sisa berupa parut yang berwarna putih, sehingga pasien akan mengeluh silau atau gangguan penglihatan," kata Lukman saat seminar bertajuk "Waspadai Bahaya Herpes Zoster pada Mata" di Jakarta, Rabu.
Lukman menyebutkan sebanyak 50-72 persen pasien di Amerika Serikat mengalami gangguan mata berkelanjutan, bahkan sampai hilangnya penglihatan.
Dia menjelaskan HZO adalah reaktivasi dari virus HZ yang melibatkan cabang oftalmika dari saraf kranial V )N V.1).
Dia menuturkan gejala HZO biasanya diawali dengan timbul benjolan-benjolan kecil yang berisi cairan (vesikel) di sekitar mata satu sisi dan terkadang disertai demam, sakit kepala dan nyeri pada sisi yang terlibat.
"Benjolan kecil tersebut dapat membesar dan berubah menjadi keropeng (kusta) dan akan hilang sendiri dalam waktu dua sampai enam minggu," katanya.
Dia menjelaskan terdapat fase pra-erupsi dan pasca-erupsi. Pra-erupsi yakni kondisi di mana kulit merasa kebas di satu sisi dan tidak nyaman, kemudian pasca-erupsi adalah ketika timbul benjolan dan pecah, sehingga cairan di dalamnya (vesikel) mulai keluar dan mengering.
Selain itu, dia mengatakan gambaran klinis yang dapat terjadi pada mata adalah bengkaknya kelopak mata karena peradangan (blefaritis), mata bisa terlihat merah dan berair bila melibatkan konjungtiva, pasien akan merasakan rasa silau serta akan terjadi gangguan penglihatan, jika selaput bening mata (kornea) juga terlihat.
"Sangat jarang terjadi HZO mengenai jaringan di dalam mata, namun apabila terjadi harus segera mendapatkan pertolongan dokter mata," katanya.
Dalam keadaan ringan, lanjut dia, gejala sisa dari keterlibatan kelopak dan konjungtiva adalah rasa tidak nyaman di mata, berair, mengganjal atau berpasir.
Dia mengatakan virus HZ menyerang sistem saraf sensoris, artinya saraf-saraf yang menyampaikan stimulus dari dan ke sistem indera, terutama indera perasa, yakni kulit.
Lukman mengatakan usia lanjut lebih berisiko terkena HZO karena sistem imun yang semakin menurun (immunosenescence), selain itu turunnya kekebalan tubuh akibat penyakit kronis (imunokompromis) serta sangat berisiko pada penderita HIV.
"Kebanyakan HZO dapat sembuh dan tidak meninggalkan gejala sisa bila diberikan terapi antivirus yang adekuat dan tepat waktu, namun lebih sering terjadi pada orang tua di mana proses pemulihan sudah menurun," katanya.
Namun, dia tidak menganjurkan untuk pemberian berupa tetes atau salep mata karena sangat tergantung dengan kondisi klinis yang melibatkan mata.
Dalam kesempatan yang sama pakar Gerontologi Prof Dr dr Siti Setiati, KGer FINASM mengatakan belum ada penelitian untuk mengetahui daerah sasaran virus HZ menyerang karena berdasakan kasus yang ditemukan, HZ bisa menyerang punggung dan daerah lainnya.
"Belum ada penelitian kemana si virus itu akan menyerang, mungkin di daerah-daerah tersebut (mata dan punggung) mengalami kerentanan," katanya.
Namun, Siti menekankan viruz HZ hanya menyerang di satu sisi tubuh, kecuali bagi seseorang yang imunitasnya buruk.
"Seperti tuberculosis, normalnya terjadi pada bagian tertentu saja, bagian atas misalnya namun bagi mereka yang imunitasnya buruk, bisa menyerang bagian paru-paru yang lain," katanya.
Ketua Perhimpunan Gerontologi Medik Indonesia (Pergemi) itu menambahkan salah satu upaya pencegahan, yakni vaksinasi yang bernama zostavax.
"Sayang sekali, hanya sebagian kecil dari populasi lansia yang sudah melakukan vaksinasi. Hal ini disebabkan adanya hambatan yang terdiri atas faktor medis dan non-medis," katanya.
Faktor tersebut, di antaranya sikap dan kepercayaan, persepsi, karakteristik vaksin, saran dan edukasi tenaga media, perilaku kesehatan individu, akses dan ketersediaan vaksin.
Selain itu, Medical Affairs Director MSD Indonesia dr. Suria Nataatmadja menambahkan gangguan mata akibat HZO bisa menurunkan kualitas hidup penderita.
"Sosialisasi tentang pencegahan HZ akan tetap kami lakukan secara berkelanjutan, sehingga makin banyak orang yang mengetahui pentingnya mencegah HZ," katanya.