Pada arus mudik dan balik Lebaran (hingga 1 Agustus 2014), jumlah korban tewas di jalan raya berdasarkan laporan Polri tercatat 515 jiwa. Sungguh jumlah yang sangat banyak untuk ukuran nyawa manusia. Memang ada sedikit penurunan dibandingkan dengan periode sama pada Lebaran 2013 yang mencapai 575 korban tewas.
Namun, sekali lagi, nyawa tetaplah nyawa yang tak bisa digantikan dengan apa pun. Nyawa, soal sedikit banyaknya, juga tidak bisa direduksi maknanya dengan deretan angka.
Berdasarkan data sebelumnya, sebagian besar korban di jalan raya, termasuk selama arus mudik dan balik Lebaran, merupakan kelompok usia produktif. Bisa dibayangkan betapa pilunya ketika anak, istri, suami, atau saudaranya tiba-tiba kehilangan orang yang selama ini menjadi penopang ekonomi keluarga.
Tradisi mudik pada pada masa libur Lebaran memang tidak mungkin dihilangkan. Apalagi tradisi ini selain memperkuat ikatan keluarga -- pada fase tertentu juga memperkuat ikatan kebangsaan --, dari sisi ekonomi juga memberi tetesan ke bawah (trickle down effects). Harus diakui hingga saat ini pembangunan masih berpusat di kota-kota besar dengan Jakarta dan Bogor, Tangerang, Bekasi, dan sekitarnya sebagai akumulator terkuat penyedot uang di negeri ini.
Ketika ke kampung halaman, pemudik yang pada tahun 2014 diperkirakan mencapai 30 juta manusia itu diperkirakan membawa pulang ratusan triliun rupiah ke daerah-daerah. Jadi, kehadiran sanak saudara di perantauan yang pulang kampung memiliki kontribusi cukup besar dalam memutar perekonomian daerah.
Di luar sisi positif di bidang sosial dan ekonomi, ratusan jiwa yang melayang untuk setiap arus mudik dan balik Lebaran tetap mengusik sisi kemanusiaan. Sangat tidak pantas ratusan nyawa melayang sebagai "tumbal" dalam perjalanan sosial budaya bernama mudik.
Pemerintah tidak boleh membiarkan korban jiwa dan luka terus berjatuhan saat warganya berjuang menuju kampung halaman dan kembali ke tempat kerja. Cukup banyak kecelakaan tersebut disebabkan ulah pengendara. Mengebut, main serobot, melangar peraturan lalu lintas, hingga kendaraan tidak laik jalan menjadi penyebab utama kecelakaan.
Hampir semua kecelakaan di jalan raya didahului dengan pelanggaran aturan lalu lintas. Mungkin sudah ada peningkatan kesadaran tertib berlalu lintas yang dicerminkan dari menurunnya angka kecelakaan selama arus mudik dan balik Lebaran 2014. Namun, jumlah ratusan korban tewas sia-sia di jalan raya dalam rentang waktu sependek itu agaknya sulit ditoleransi.
Meminjam konsep Joko Widodo, capres pemenang Pemilu Presiden 2014, perlu revolusi mental di kalangan pengguna jalan, aparat, serta institusi sebagai pencipta sistem. Kita tidak ingin terus membiarkan jalan raya menjadi "ladang pembantaian" (killing fields).
Kita patut mengapresiasi kesungguhan aparat Kementerian Perhubungan, Polri, TNI, dan instasi terkait lain selama arus mudik dan balik telah bekerja keras untuk membantu kelancaranpen dan keamanan pemudik.
Namun, kerja besar yang bersifat temporer, seperti pada arus mudik dan balik tentu tidak selalu menjawab persoalan mendasar. Apalagi mobilitas penduduk Indonesia semakin tinggi bersamaan dengan membaiknya kesejahteraan warga negara. Tentu dibutuhkan dukungan infrastruktur perhubungan darat, laut, dan udara yang lebih memadai.
Betapa kurang eloknya bila pemerintah tak bisa mengantisipasi datangnya kemakmuran setelah kebijakan ekonominya meningkatan pendapatan rakyatnya sendiri. Sebagai gambaran, hampir semua bandara di kota-kota besar sudah kewalahan melayani penumpang yang kian membeludak.
Panjang dan lebar jalan juga kian kesulitan menampung mobil dan kendaraan bermotor yang terus bertambah banyak. Ruang terbuka di kota-kota yang bebas diakses oleh warga semakin sedikit, namun akses ke lokasi wisata berbayar juga tidak selalu mudah karena sering tersendat kemacetan.
Sistem demokrasi akhirnya memang mampu melahirkan pemimpin nasional dan kepala daerah yang kreatif dan fokus pada pelayanan publik. Tanpa mengurangi apresiasi pada kepala daerah-kepala daerah kreatif lainnya, Wali Kota Surabaya Rismaharani, Wali Kota Bandung Ridwan Kamil, Gubernur (nonaktif) DKI Jakarta Joko Widodo, merupakan sedikit contoh pemimpin berjenis pemecah masalah (problem solver).
Kehadirannya menebarkan optimisme akan membaiknya kehidupan bangsa ini di masa mendatang. Kehadiran pemimpin seperti ini juga membangkitkan inisiatif-inisiatif baru di tingkat warga, yang mulai mengikis pengalaman dan citra lama bahwa rakyat hanya sebagai penonton dan objek kebijakan.
Dari pemimpin kreatif itu pula kita berharap lahir gagasan baru perbaikan komprehensif penyelenggaraan transportasi publik yang manusiawi, aman, dan cepat. Satu atau dua nyawa hilang sia-sia di jalan tetap sebagai tragedi, setidaknya bagi orang-orang terdekatnya.
Bangsa ini harus senantiasa memperbarui fitrahnya sebagai manusia, makhluk yang selalu berikhtiar dan menghargai setiap kehidupan yang diciptakan Allah.
Taqobballahu mina wa minkum. Maaf lahir batin.