Salah satu kata, yakni "komunitas" yang terucap dengan biasa saja oleh seorang pegiat komunitas seniman petani kawasan Gunung Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh, Pangadi, saat menjadi pembicara pada pertemuan di Studio Mendut, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, itu rupanya tersangkut di benak penulis dan budayawan tersebut.
"Selama ini saya mencari jawab, sebenarnya apa yang terjadi dengan Lima Gunung ini, kok begitu kuat dikenal luas sampai luar. Selama ini lebih banyak disebut-sebut 'Lima Gunung, Lima Gunung'," kata Bre.
Petang itu, rupanya Bre yang Ketua Pengurus Dewan Pelatih Persatuan Gerak Badan Bangau Putih berpusat di Bogor tersebut menemukan jawaban atas pertanyaan yang menggantung di kepalanya selama ini.
Kata "komunitas" yang menempel dalam kelompok itu, katanya, rupanya menjadi pikiran, tubuh, dan spirit para pegiat Lima Gunung.
"Bayangkan kalau hanya Pak Ipang (panggilan akrab Pangadi, red.) dengan 'Madyapitutur' (satu ragam musik islami, red.) yang dipimpinnya, atau kelompok Jatilan atau Soreng, maka hanya akan hadir saat pentas, menunggu 'tanggapan'. Waktu yang lain selain pentas, lalu melakukan apa?" katanya.
Dengan label kuat komunitas, para pegiat Komunitas Lima Gunung bisa hadir di berbagai peristiwa yang tak sekadar soal pentas kesenian. Orang yang bertemu dengan mereka akan mengulukkan sebutan bahwa mereka bagian lekat dari komunitas itu, bukan sekadar pelaku atas kesenian tradisional.
Pengalaman empiris atas keterlibatan mereka selama ini dalam berbagai peristiwa yang tak sekadar pentas, memang dilakukan oleh pegiat komunitas itu.
Mereka, antara lain hadir dan terlibat dalam penanganan bencana letusan Gunung Merapi disusul banjir lahar beberapa tahun lalu, menggarap lokakarya untuk para mahasiswa Institut Kesenian Jakarta dan pemimpin berbagai sanggar kesenian dari Jakarta, peringatan 150 Tahun Van Lith, Seabad Seminari Mertoyudan, menerima kunjungan kuliah mahasiswa pascasarjana Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, menggarap pesta pernikahan secara kontemporer sebagai "peristiwa budaya" dengan menghadirkan para tokoh dan budayawan.
Selain itu, mereka juga menulis buku berjudul "Sendang Sungsang" tentang pengalaman mereka masing-masing selama ini dalam berkomunitas. Buku tersebut diluncurkan pada peristiwa tahunan komunitas itu, yakni Festival Lima Gunung XII, pertengahan 2013 di kawasan Gunung Andong.
Di kawasan tempat tinggal mereka di desa-desa dan gunung masing-masing, secara personal, mereka juga terlibat dalam berbagai hajatan hidup bersama, seperti Pangadi yang juga Kepala Dusun Wonolelo, Desa Bandongan dan saat ini anggota Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan Bandongan, Sujono yang pemimpin Sanggar Saujana Keron, juga Ketua Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) Pemilihan Bupati Magelang beberapa waktu lalu di dusunnya, Keron, Desa Krogowanan, Kecamatan Sawangan.
Selain itu, Sarwo Edi yang salah satu petinggi Sanggar Cahyo Budoyo Sumbing itu, sehari-hari menjabat sebagai salah satu perangkat desa setempat, di Sukomakmur, Kecamatan Kajoran, Supadi Haryanto yang Ketua Komunitas Lima Gunung saat ini, tetapi juga juragan sayuran di dusunnya, Mantran Wetan, Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak, Sitras Anjilin yang pemimpin Padepokan Tjipto Boedojo Dusun Tutup Ngisor, Desa Sumber, Kecamatan Dukun itu, juga petani di kawasan Gunung Merapi, mengajar tari untuk para siswa di satu sekolah setempat, dan mengelola program "live in" di padepokan setempat.
Ada juga nama Sutris yang penari Soreng dari Padepokan Wargo Budoyo Gejayan. Namun, sehari-hari juragan bambu dengan omzet setiap hari rata-rata tiga juta rupiah, Noviana Ayom Sari, penari lulusan ISI Surakarta yang saat ini tinggal di Dusun Gejayan Desa Banyusidi, Kecamatan Pakis sekaligus pengajar tari di sejumlah sekolah, baik di Kota maupun Kabupaten Magelang, Sih Agung Prasetyo yang guru sekolah swasta di Kota Magelang dan aktivis gereja yang notabene dalang wayang kulit.
Para anggota Komunitas Lima Gunung berasal dari berbagai grup kesenian tradisional di desa-desa di Kabupaten Magelang itu memang umumnya bergelut dengan kehidupan sehari-hari sebagai petani sayuran yang menjadi kekuatan alam kawasan setempat. Berkesenian rakyat yang juga kekuatan penghidup tradisi desa-desa di Lima Gunung, lekat dalam kehidupan mereka.
Terutama untuk para petinggi komunitas, ihwal bertemu bersama telah menjadi kebutuhan mereka. Kalimat seloroh "ngelangut" (rindu, red.) di kalangan mereka menjadi pendorong untuk intensif bertemu dan membicarakan berbagai hal secara informal.
Pusat pertemuan mereka, di Studio Mendut, sekitar 200 meter timur Candi Mendut. Mereka bertemu bukan sekadar membicarakan agenda pementasan, melainkan juga membahas isu-isu aktual, baik lokal, regional, maupun nasional, dalam berbagai aspek, termasuk juga membicarakan persoalan komunitasnya.
Pengamat seni dari Institut Kesenian Jakarta Maria Dharmaningsih mengemukakan bahwa kekuatan jagat pertanian yang merengkuh para seniman komunitas itu membuat pementasan kesenian mereka menjadi berkarakter.
"Lihat saja, misalnya kaki-kaki mereka saat menari Soreng dan Kuda Lumping. Saat kaki menyentuh tanah, gerakan tangan, dan raut wajah mereka. Itu karakter alamiah karena mereka petani gunung," katanya.
Kalau mereka menari, kata Maria yang juga Wakil Dekan Fakultas Seni Pertunjukan IKJ itu saat mendampingi rombongan dari Jakarta untuk lokakarya pertunjukan dengan pengampu para petinggi Komunitas Lima Gunung pada awal Desember 2013 itu, bukan soal teknik menari yang penting, melainkan karakter yang muncul karena mereka dibangun oleh alam gunung.
"Itulah yang membuat penonton tidak lagi melihat mereka menari, tetapi melihat tarian itu sendiri saat mereka menari," katanya.
Bahkan, saat lokakarya itu, Sitras Anjilin menyebut risi dengan kata "melestarikan" yang menempel pada kata "seni dan tradisi", yang sering kali terdengar dari ucapan banyak orang, terutama kalangan pejabat.
Padepokan berbasis kesenian wayang orang itu didirikan oleh orang tuanya, Romo Yoso Soedarmo, pada tahun 1937. Hingga saat ini, keluarga padepokan menjalani empat tradisi wajib pementasan, yakni bertepatan dengan perayaan tahun baru dalam kalender Jawa, Sura, Maulud Nabi Muhammad SAW, Idulfitri, dan HUT RI. Belum lagi, pada hari-hari tertentu, mereka menabuh gamelan di pendopo padepokan setempat.
"Tidak pernah orang tua saya memerintahkan anak-anak dan keturunannya untuk meneruskan kesenian kami, tetapi memang sejak kecil kami melakukan kesenian. Kesenian bagi kami bukan untuk mencari penghidupan, kalau mencari penghasilan dari luar kesenian," katanya.
Ia menyebutkan bahwa berkesenian sebagai jalan alamiah anggota keluarga padepokan, sebagai mengisi jiwa.
"Seperti halnya orang lapar karena belum makan, kami menari dan menabuh gamelan. Akan tetapi, apabila tradisi itu tidak dijalani, juga tidak apa-apa. Hanya saja, hidup terasa lapar," kata Sitras yang di internal Komunitas Lima Gunung menjadi sosok kekuatan spiritual, mewarisi kekuatan ayahnya itu.
Pemimpin tertinggi Komunitas Lima Gunung Sutanto Mendut dalam berbagai kesempatan pertemuan menyebut kesenian komunitas itu bukan lagi soal baik atau buruk, bermutu atau tidak bermutu, melainkan kesenian untuk membahagiakan hati mereka sendiri.
Mereka memang berangkat dari jalan berkesenian tradisional dari desa-desa masing-masing, setidaknya pada 12 tahun lalu.
Namun, saat ini mereka makin masuk kesadaran bahwa hidup bukan saja bertani dan berkesenian, melainkan bertemu dengan keragaman aspek dan campur aduk perspektif. Sejumlah muda mudi, pegiat komunitas itu, bahkan juga ada yang saling mengikatkan asmaranya hingga sepakat membangun hidup perkawinan.
Sutanto yang juga pengajar program pascasarjana ISI Yogyakarta itu menyebut Komunitas Lima Gunung saat ini bukan lagi sekadar kumpulan petani yang berkesenian dan menjalani tradisi desa mereka.
Akan tetapi, Lima Gunung telah mengolah diri menjadi komunitas "sanak kadang" (sanak saudara, red.) yang menjalani setiap jengkal kehidupan untuk menemukan hikmah.
"Komunitas Lima Gunung ini pepak," katanya.