Kegiatan turing pakai moge atau jip jenis hardtop memang sempat mewabah di kalangan petinggi lingkungan Pemprov Jateng. Untuk mengikuti gaya hidup patronnya, sejumlah kepala dinas rela menebus motor gede berharga ratusan juta rupiah. Modifikasi mobil lawas nan boros BBM dan menelan biaya puluhan juta rupiah, juga mereka lakoni.
Bagi Gubernur terpilih Jawa Tengah Ganjar Pranowo, hobi berkelana pakai motor gede atau mobil modifikasi berbiaya mahal, tidak mencerminkan kecilnya gaji para petinggi itu. Kata Ganjar, rata-rata gaji kepala dinas di lingkungan Pemprov Jateng antaraRp6 juta-Rp7 Juta.
Dengan gaji "hanya" Rp7 juta, Ganjar dalam diskusi "Beranikah Jawa Tengah Mboten Korupsi" di kantor KP2KKN Jawa Tengah, Semarang (21/7), menduga-duga bahwa para kepala dinas berpotensi melakukan tindak pidana korupsi.
Dari ucapannya, Ganjar yang akan dilantik menjadi Gubernur Jateng pada 23 Agustus 2013 telah memberi pesan sangat jelas kepada calon anak buahnya di lingkungan Pemprov Jateng. "Jangan korupsi, apalagi untuk memenuhi gaya hidup mewah."
Duet Ganjar Pranowo-Heru Sudjatmoko dalam kampanye Pemilihan Gubernur Jawa Tengah 2013 memang mengusung jargon "Mboten Korupsi, Mbote Ngapusi" (Tidak Korupsi, Tidak Membohongi). Tentu janji ini bakal ditagih oleh rakyat Jateng. Namun, sebelum Ganjar menduduki kursi orang nomor satu di provinsi berpenduduk sekitar 33 juta, dalam beragam kesempatan Ganjar sudah menyisipkan pesan-pesannya.
Misalnya, ia mengingatkan tugas pokok pegawai negeri sipil adalah melayani masyarakat sehingga segala sumberdaya, termasuk alokasi APBD, harus sebesar-sebesarnya digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Janji mereformasi birokrasi yang acap diucapkan Ganjar tentu ditunggu. Ini sungguh pekerjaan yang sulit dilakukan. Namun menjadi keharusan Ganjar bila menginginkan perbaikan dalam pelayanan publik.
Oleh karena itu, ide bakal melakukan lelang jabatan tertentu pantas diapresiasi. Sudah menjadi rahasia umum bahwa sejumlah posisi penting di lingkungan Pemprov Jateng diduduki oleh orang-orang tertentu karena kedekatannya dengan Sang Patron. Bukan berdasarkan kompetensi dan jejak rekam kinerja.
Ini pula yang pernah dikeluhkan seorang kepala dinas yang masih relatif muda, intelek, serta memiliki kinerja menawan, namun distaf-ahlikan gara-gara Sang Patron tidak cocok dengannya. Diakui atau tidak, birokrasi feodalistik seperti itu masih terasa meskipun jargon birokrat pelayan publik dan profesional setiap saat juga terdengar.
Ganjar sudah mencium gelat tidak sehat tersebut. Birokrasi berpola relasi patron-klien sudah saatnya ditinggalkan karena hanya mewariskan kepatuhan buta bawahan kepada atasan. Bawahan lebih sibuk melayani dan menyenangkan atasan.
Saatnya mengandangkan moge. Sangatlah tidak sopan pejabatn publik mengendarai moge di tengah jutaan warga masih antre jatah raskin.
Fokus memberi layanan terbaik kepada publik, itulah tugas birokrasi. ***