Mereka yang sepakat membentuk APHR itu, antara lain, Senator Walden Bello (Philipina), Charles Chong (Deputy Speaker Parlemen Singapore), Charles Santiago (Malaysia), Dr. Zaw Myint Maung (Myanmar) Eva K. Sundari (Indonesia), serta Son Chlay (Kamboja) .
Eva yang juga Wakil Ketua Fraksi PDI Perjuangan kepada Antara Jateng, Sabtu, menjelaskan bahwa keputusan di Bangkok pada hari Jumat (7/6) petang, tersebut merupakan tindak lanjut pertemuan SC Kaukus Myanmar (AIPMC) pada bulan Juli 2012 di Naypitaw, Myanmar, untuk mentransformasi AIPMC menjadi Kaukus ASEAN untuk HAM.
Pertemuan di Bangkok dimulai pada hari Kamis (6/6) dalam bentuk diskusi para ahli tentang ASEAN, HAM, dan mekanismenya. Adapun narasumbernya, antara lain, Dr. Hasan Wirayuda dan Marzuki Darusman (Indonesia); Prof. Sriprapha Petchamesree (eks perwakilan Thailand di Komisi HAM ASEAN); Michael Vatikiotis (Direktur Asia Center for Humanitarian Dialogue); Dr. David Padila (eks anggota Komisi HAM Amerika Serikat); Matilda Bogner (perwakilan PBB untuk Asia Tenggara).
Selain itu, hadir pula bekas senator, yakni Hon Thomas Andrews (Amerika Serikat) dan Hon Kraisak Choonhavan (Thailand) dan beberapa perwakilan kedubes Eropa di Bangkok.
Eva selaku Ketua APHR menjelaskan bahwa visi kaukus yang dipimpinnya itu adalah memastikan bahwa ASEAN menjadi wilayah yang masyarakatnya bermartabat dan hidup bebas dari praktik diskriminasi dan kekerasan, baik yang berbasis gender maupun intoleransi.
Oleh karena itu, lanjut dia, HAM-nya harus diarusutamakan ke dalam ke pembangunan perekonomian ASEAN (right based development) , baik oleh lembaga-lembaga nasional dan regional secara transparan dan akuntabel bagi rakyat ASEAN.
Berdasar hal di atas, misi APHR adalah merupakan kelompok MPs yang pro-HAM yang mampu melakukan intervensi-ntervensi inovatif untuk memberikan solusi-solusi alternatif dan berkelanjutan dari permasalahan-permasalaha HAM sekaligus mampu menciptakan tekanan kreatif tehadap lembaga-lembaga internasional, regional dan multilateral, ASEAN, dan pemerintahan-pemerintahan nasional agar akuntabel tehadap rakyat.
Selain melakukan promosi HAM, terutama memberikan masukan perbaikan materi ASEAN Charter yang kualitasnya di bawah standar internasional maupun nasional Indonesia, APHR juga memprihatinkan mandat Komisi Nasional HAM yang lemah karena tidak diperkenankan melakukan advokasi-advokasi atau investigasi kasus-kasus. Sebaliknya, dalam Charter APHR secara eksplisit mencantumkan strategi proteksi selain promosi HAM beberapa advokasi kasus-kasus HAM di ASEAN.
Dalam perlindungan HAM, kata Eva, APHR menyesalkan masih gelapnya nasib aktivis lingkungan/tani Sombath Somphone dari Laos yang dilaporkan hilang setahun lalu. APHR menuntut ASEAN dan pemerintah Laos untuk melakukan investigasi yang serius dan memadai atas hilangnya aktivis tersebut.