Purwokerto (ANTARA) - Sosiolog Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Tri Wuryaningsih mengatakan bahwa isu kekerasan terhadap perempuan dan anak hingga saat ini masih menjadi persoalan yang serius karena jumlah kasusnya dari waktu ke waktu cenderung meningkat.

"Peningkatan itu seiring dengan keberanian masyarakat melaporkannya secara langsung kepada penegak hukum, unit pelaksana teknis dinas terkait, ataupun lembaga-lembaga lainnya. Hampir semuanya mengalami tren kenaikan," kata Dr. Tri Wuryaningsih di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Senin.

Jika berbicara persoalan kekerasan terhadap perempuan dan anak itu, menurut dia, merupakan sebuah fenomena "gunung es".  Artinya, apa yang dilihat dalam laporan itu sesungguhnya jauh lebih sedikit dengan apa yang sebenarnya terjadi di tengah masyarakat.

Oleh karena itu, lanjut dia, melalui momentum Hari Anti-Kekerasan terhadap Perempuan yang diperingati selama 16 hari sejak 25 November hingga 10 Desember menjadi refleksi semua pihak, bukan hanya perempuan, melainkan seluruh lapisan masyarakat untuk memiliki komitmen terhadap isu tersebut.

"Dengan refleksi ini, kemudian kita bagaimana untuk terus berkomitmen sesuai dengan peran kita masing-masing untuk terus mengampanyekan antikekerasan terhadap perempuan dan anak," kata dia yang juga Ketua Forum Komunikasi Keadilan dan Kesetaraan Gender Kabupaten Banyumas.

Terkait dengan penanganan kekerasan terhadap perempuan di Indonesia, dia mengatakan bahwa saat ini sudah ada lembaga yang menangani permasalahan tersebut.

Bahkan, kata dia, komitmen pemerintah terhadap persoalan tersebut sudah diwujudkan dengan berbagai peraturan perundang-undangan maupun kebijakan seperti Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW), Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

"Cuma sayangnya yang berkaitan dengan isu perempuan dan anak itu sering kali tidak paralel dengan keseriusan, alokasi anggaran, dan tidak diikuti dengan jumlah SDM (sumber daya manusia), baik secara kuantitas maupun kualitas," katanya.

Dalam hal ini, dia mencontohkan unit pelaksana teknis dinas yang menangani persoalan kekerasan terhadap perempuan di Banyumas secara anggaran mendapatkan dukungan dari APBD maupun APBN.

Akan tetapi, dari sisi SDM, menurut dia, masih belum memenuhi kebutuhan, di antaranya tidak adanya psikolog karena masih menggandeng psikolog dari luar lembaga tersebut dengan berbagai macam kesibukannya dan jumlahnya hanya satu orang.

"Itu membuat penanganan tidak optimal karena harus menjangkau seluruh wilayah Banyumas, semua laporan harus ditindaklanjuti," katanya.

Selain itu, kata dia, jumlah sumber daya manusia untuk pendampingan juga masih kurang sehingga hal tersebut menjadi tantangan bagi pemerintah untuk mendukung pemenuhan SDM, alokasi anggaran, serta sarana  dan prasarana.

Jika kemudian penanganan menjadi tidak optimal, lanjut dia, masyarakat akan menilai lembaga tersebut tidak serius dalam menangani persoalan.

"Jadi, ini terus menjadi refleksi kita bersama sekaligus kita terus mengampanyekan supaya masyarakat itu berani untuk bersuara, berani untuk speak up, apalagi yang menjadi korban," kata Tri Wuryaningsih.

Baca juga: BPBD kerahkan tim tangani tanah longsor di sejumlah wilayah Banyumas

Pewarta : Sumarwoto
Editor : Edhy Susilo
Copyright © ANTARA 2024