Semarang (ANTARA) - Pengadilan Tipikor Semarang menjatuhkan hukuman empat tahun penjara terhadap mantan Lurah Sawah Besar Jaka Suryanta atas pungutan liar (pungli) untuk membantu pengurusan biaya pengalihan hak atas tanah yang disebut biaya pologoro sebesar Rp160 juta di Kota Semarang, Jawa Tengah, pada tahun 2021.
Putusan yang dibacakan Hakim Ketua Judi Prasetya dalam sidang di Pengadilan Tipikor Semarang, Rabu, lebih rendah dibanding tuntutan jaksa selama 4 tahun 3 bulan penjara.
Selain hukuman badan, terdakwa juga dijatuhi hukuman denda sebesar Rp200 juta yang jika tidak dibayarkan akan diganti dengan 2 bulan kurungan.
Terdakwa terbukti melanggar Pasal 12 huruf e Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Terdakwa menerima sejumlah uang yang diduga berkaitan dengan pengurusan hak peralihan tanah secara bertahap.
Menurut hakim, terdakwa selaku penyelenggara negara tidak semestinya menerima gratifikasi.
"Perbuatan terdakwa bertentangan dengan komitmen pemerintah dalam upaya pemberantasan korupsi. Perbuatan terdakwa meresahkan masyarakat," katanya.
Dalam perkara tersebut, terdakwa sendiri telah mengembalikan uang Rp160 juta yang diterima.
Hakim menilai pengembalian uang yang diterima oleh terdakwa tidak menghapuskan pidana yang dilakukan terdakwa.
Atas putusan tersebut, baik jaksa maupun terdakwa menyatakan pikir-pikir.
Putusan yang dibacakan Hakim Ketua Judi Prasetya dalam sidang di Pengadilan Tipikor Semarang, Rabu, lebih rendah dibanding tuntutan jaksa selama 4 tahun 3 bulan penjara.
Selain hukuman badan, terdakwa juga dijatuhi hukuman denda sebesar Rp200 juta yang jika tidak dibayarkan akan diganti dengan 2 bulan kurungan.
Terdakwa terbukti melanggar Pasal 12 huruf e Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Terdakwa menerima sejumlah uang yang diduga berkaitan dengan pengurusan hak peralihan tanah secara bertahap.
Menurut hakim, terdakwa selaku penyelenggara negara tidak semestinya menerima gratifikasi.
"Perbuatan terdakwa bertentangan dengan komitmen pemerintah dalam upaya pemberantasan korupsi. Perbuatan terdakwa meresahkan masyarakat," katanya.
Dalam perkara tersebut, terdakwa sendiri telah mengembalikan uang Rp160 juta yang diterima.
Hakim menilai pengembalian uang yang diterima oleh terdakwa tidak menghapuskan pidana yang dilakukan terdakwa.
Atas putusan tersebut, baik jaksa maupun terdakwa menyatakan pikir-pikir.