Semarang (ANTARA) - Dikenal sejak ratusan tahun lalu sebagai persembahan kepada raja-raja di Kerajaan Karangasem, garam amed diakui sebagai garam berkualitas tinggi sekaligus produk indikasi geografis di Pulau Dewata Bali.
Proses pembuatan yang menarik serta menggunakan sumber daya alam lokal, garam amed menghasilkan cita rasa yang unik dan dihargai sebagai mahakarya khas Bali.
Setelah tercatat pada 2015 sebagai produk indikasi geografis, garam amed dari Karangasem Bali, terus didatangi oleh berbagai pihak.
Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Jawa Tengah salah satu yang mendapatkan kesempatan melihat lebih dekat untuk studi tiru di tempat produksi garam amed tersebut, Rabu (6/3).
Kehadiran rombongan yang dipimpin langsung oleh Kepala Kantor Wilayah Tejo Harwanto itu sekaligus untuk meningkatkan 2 (dua) Indikasi Geografis garam khas Jawa Tengah yakni garam Gunung Grobogan dan garam Jetis Purworejo.
"Kami ke sini untuk melihat garam amed ini, sekaligus untuk memperbanyak ilmu agar Indikasi Geografis garam di Jateng bisa semakin meningkat," urai Tejo.
"Indikasi geografis ini tidak lain untuk meningkatkan perekonomian daerah dan menunjang kestabilan nasional," tambahnya.
Garam amed sendiri dikenal sebagai garam yang sangat khas, warnanya putih dengan kristal garam berukuran kecil, mudah hancur di mulut dan memberikan rasa asin yang mudah hilang tanpa rasa pahit.
Selain tercatat sebagai Indikasi Geografis, garam amed juga mendapatkan sertifikasi dari Uni Eropa CSQA pada 2022 lalu. Hal ini membuat nilai jual garam amed semakin tinggi.
"Kami juga menjual berbagai bentuk dan kemasan disini pak," ujar Nyoman Kara, salah satu pegawai disana, kepada Kakanwil.
Menurut cerita Nyoman, pengetahuan soal Indikasi Geografis ini didapatkan ketika 2011 ada orang Prancis dan mahasiswa Indonesia yang datang untuk berdiskusi soal garam.
Sampai akhirnya warga yang terdiri dari kepala desa, petani, dan kelompok garam diundang ke Prancis untuk studi banding dan melihat produksi garam rakyat di sana.
"Di Nantes Prancis, kami belajar mengenai garam, Pak. Alhasil kami bisa sampai di titik ini," kisah Nyoman.
"Nama Amed sendiri diambil dari lokasi tempat diproduksinya garam ini, Pesisir Amed," sambungnya menerangkan.
Sementara itu, Kepala Divisi Pelayanan Hukum dan HAM Anggiat Ferdinan berharap melalui kegiatan studi tiru kali ini dapat membawa manfaat dan meningkatkan ilmu tentang Indikasi Geografis.
"Semoga ini membuka kesempatan dan wawasan kita untuk belajar lebih jauh lagi terkait indikasi geografis," ungkap Anggiat.
Turut bergabung dalam kesempatan itu, Kepala Bagian Pelayanan Hukum Agustinus Yosi, Kepala Sub Bagian Kekayaan Intelektual Tri Junianto, dan Pelaksana pada Sub Bidang KI Kantor Wilayah Jawa Tengah dan Bali. ***
Proses pembuatan yang menarik serta menggunakan sumber daya alam lokal, garam amed menghasilkan cita rasa yang unik dan dihargai sebagai mahakarya khas Bali.
Setelah tercatat pada 2015 sebagai produk indikasi geografis, garam amed dari Karangasem Bali, terus didatangi oleh berbagai pihak.
Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Jawa Tengah salah satu yang mendapatkan kesempatan melihat lebih dekat untuk studi tiru di tempat produksi garam amed tersebut, Rabu (6/3).
Kehadiran rombongan yang dipimpin langsung oleh Kepala Kantor Wilayah Tejo Harwanto itu sekaligus untuk meningkatkan 2 (dua) Indikasi Geografis garam khas Jawa Tengah yakni garam Gunung Grobogan dan garam Jetis Purworejo.
"Kami ke sini untuk melihat garam amed ini, sekaligus untuk memperbanyak ilmu agar Indikasi Geografis garam di Jateng bisa semakin meningkat," urai Tejo.
"Indikasi geografis ini tidak lain untuk meningkatkan perekonomian daerah dan menunjang kestabilan nasional," tambahnya.
Garam amed sendiri dikenal sebagai garam yang sangat khas, warnanya putih dengan kristal garam berukuran kecil, mudah hancur di mulut dan memberikan rasa asin yang mudah hilang tanpa rasa pahit.
Selain tercatat sebagai Indikasi Geografis, garam amed juga mendapatkan sertifikasi dari Uni Eropa CSQA pada 2022 lalu. Hal ini membuat nilai jual garam amed semakin tinggi.
"Kami juga menjual berbagai bentuk dan kemasan disini pak," ujar Nyoman Kara, salah satu pegawai disana, kepada Kakanwil.
Menurut cerita Nyoman, pengetahuan soal Indikasi Geografis ini didapatkan ketika 2011 ada orang Prancis dan mahasiswa Indonesia yang datang untuk berdiskusi soal garam.
Sampai akhirnya warga yang terdiri dari kepala desa, petani, dan kelompok garam diundang ke Prancis untuk studi banding dan melihat produksi garam rakyat di sana.
"Di Nantes Prancis, kami belajar mengenai garam, Pak. Alhasil kami bisa sampai di titik ini," kisah Nyoman.
"Nama Amed sendiri diambil dari lokasi tempat diproduksinya garam ini, Pesisir Amed," sambungnya menerangkan.
Sementara itu, Kepala Divisi Pelayanan Hukum dan HAM Anggiat Ferdinan berharap melalui kegiatan studi tiru kali ini dapat membawa manfaat dan meningkatkan ilmu tentang Indikasi Geografis.
"Semoga ini membuka kesempatan dan wawasan kita untuk belajar lebih jauh lagi terkait indikasi geografis," ungkap Anggiat.
Turut bergabung dalam kesempatan itu, Kepala Bagian Pelayanan Hukum Agustinus Yosi, Kepala Sub Bagian Kekayaan Intelektual Tri Junianto, dan Pelaksana pada Sub Bidang KI Kantor Wilayah Jawa Tengah dan Bali. ***