Semarang (ANTARA) -
Hasil riset tipologi dan kasus pencucian uang di dunia menunjukkan profesi tertentu termasuk notaris dapat dimanfaatkan sebagai gatekeeper oleh pelaku pencucian uang untuk mengaburkan asal-usul dana yang sejatinya berasal dari tindak pidana.
Hal itu disampaikan perwakilan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sebagai narasumber dalam kegiatan Rapat Koordinasi Pelaksanaan dan Evaluasi Target Kinerja Tahun 2023 hari ketiga, yang berlangsung The Sakala Resort Bali, Kamis (16/03).
Profesi notaris rentan dimanfaatkan untuk pencucian uang, karena adanya ketentuan kerahasiaan yang diberikan berdasarkan undang-undang, seperti kerahasiaan hubungan antara notaris dengan klien sebagai alat dalam skema pencucian uang.
Kementerian Hukum dan HAM secara mandiri dan melalui Majelis Pengawas Notaris memiliki peran penting untuk mencegah pemanfaatan dan penyalahgunaan profesi notaris untuk ikut andil secara langsung atau tidak dalam Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Dalam rangka mendukung upaya pencegahan dan pemberantasan TPPU, Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Jawa Tengah telah dan akan melakukan berbagai langkah penguatan peran notaris sebagai pihak pelapor dalam pencegahan dan pemberantasan kejahatan luar biasa tersebut.
"Kami memberikan bimbingan teknis kepada para notaris mengenai penerapan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa (PMPJ) dan pelaporan transaksi keuangan pengguna jasa yang memenuhi kriteria mencurigakan kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) melalui aplikasi Go-AML," kata Kepala Divisi Pelayanan Hukum dan HAM Nur Ichwan, memberikan keterangan di sela-sela kegiatan.
Kemudian, lanjutnya, melakukan survei atas pengimplementasian PMPJ dengan membagikan kuesioner yang akan diisi oleh para notaris.
"Kami juga akan melakukan analisa terhadap hasil pengisian kuesioner untuk memperoleh data notaris yang tergolong berisiko rendah, sedang, dan tinggi dimanfaatkan oleh pelaku kejahatan pencucian uang," katanya.
Kepala Sub Bidang Pelayanan AHU Widya Pratiwi Asmara yang juga mengikuti kegiatan, menambahkan Kanwil Kemenkumham Jateng akan melakukan pengawasan secara langsung (on-site) terhadap notaris yang tergolong berisiko tinggi dimanfaatkan oleh pelaku tindak pidana yang menyamarkan harta kekayaan yang bersumber hasil kejahatan.
"Pengawasan sangat penting untuk dilakukan, demi memastikan seluruh notaris mematuhi kewajibannya menerapkan PMPJ dan melaporkan transaksi keuangan mencurigakan demi memitigasi risiko," kata Tiwi biasa dia disapa.
Menurut Tiwi optimalisasi peran notaris sebagai pihak pelapor memberikan sumbangsih besar bagi terwujudnya stabilitas dan integritas sistem keuangan dan sistem perekonomian.
"Indonesia akan lebih dipercaya sebagai negara yang aman dan bebas dari pencucian uang. Pada akhirnya, penanaman modal akan terus tumbuh demi pembangunan dan perluasan lapangan kerja," katanya.
Narasumber dalam kegiatan itu juga mengungkapkan, berdasarkan temuan Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM) yang disampaikan oleh PJK yang melaporkan notaris mayoritas dengan modus, notaris menerima penempatan dana dari pihak terkait kasus atau pihak yang transaksinya mencurigakan, notaris sebagai nominee dan notaris memfasilitasi jual beli tanah.
Selain itu Financial Action Task Forces (FATF) meminta setiap negara mengambil tindakan serta memutuskan otoritas yang akan mengkoordinasikan kegiatan penilaian risiko dan pendayagunaan sumber daya yang bertujuan untuk memastikan bahwa risiko yang ada telah dimitigasi dengan efektif.
Pada tahun 2021, Indonesia telah menyusun Dokumen Penilaian Risiko Nasional/NRA. Berdasarkan hasil NRA terhadap TPPU di Indonesia tahun 2021 kategori jenis tindak pidana asal yang memiliki risiko tinggi adalah tindak pidana korupsi dan narkotika.
Lebih lanjut, Kementerian Hukum dan HAM sebagai LembagaPengawas dan Pengatur (LPP) bagi Notaris juga telah menyusun Penilaian Risiko Sektoral (SRA) Notaris Tahun 2022.
National Risk Assessment (NRA) merupakan penilaian risiko TPPU dan TPPT secara nasional yang disusun oleh Kementerian/Lembaga terkait yang dikoordinir oleh PPATK. Dan Sectoral Risk Assessment (SRA) merupakan penilaian risiko TPPU dan TPPT secara sektoral yang disusun oleh Kementerian/Lembaga terkait terhadap industri di bawah kewenangannya.