Semarang (ANTARA) - Begitu majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (2/3), mengetukkan palu sebagai tanda putusan gugatan perdata Nomor 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst, sejumlah pakar hukum, akademikus, politikus, dan pegiat pemilu pun angkat bicara.
Dalam perkara ini, Ketua Umum DPP Partai Rakyat Adil Makmur (Prima) Agus Priyono dan Sekretaris Jenderal Dewan DPP Prima Dominggus Oktavianus Tobu Kiik selaku pihak penggugat. Sementara itu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang diwakili oleh Ketua KPU RI Hasyim Asyari sebagai tergugat.
Majelis hakim yang dipimpin T. Oyong, dengan hakim anggota Bakri dan Dominggus Silaban, menolak eksepsi tergugat tentang gugatan penggugat kabur/tidak jelas (obscuur libel).
Dalam perkara perdata ini, majelis hakim menerima gugatan penggugat untuk seluruhnya, menyatakan penggugat adalah partai politik yang dirugikan dalam verifikasi administrasi oleh tergugat, dan menyatakan tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum.
Selanjutnya, majelis hakim menghukum tergugat membayar ganti rugi materiel sebesar Rp500 juta kepada penggugat, dan menetapkan biaya perkara dibebankan kepada tergugat sebesar Rp410 ribu, kemudian menyatakan putusan perkara ini dapat dijalankan terlebih dahulu secara serta-merta (uitvoerbaar bij voorraad).
Andai saja putusan hakim dalam perkara perdata ini sebatas di atas, kemungkinan tidak menuai reaksi "penolakan" dari sejumlah kalangan. Namun, ketika menyentuh tahapan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 yang saat ini masih berlangsung, sontak mengundang respons terhadap vonis majelis hakim itu.
Putusan yang kontroversi berbunyi: "Menghukum tergugat untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024 sejak putusan ini diucapkan dan melaksanakan tahapan pemilu dari awal selama lebih kurang 2 tahun 4 bulan 7 hari."
Merujuk pada vonis majelis hakim itu, KPU baru melaksanakan tahapan mulai 9 Juli 2025. Putusan ini berimplikasi pada Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 3 Tahun 2022 tentang Tahapan, Jadwal, dan Program Pemilu 2024. Seperti diketahui bahwa tahapan Pemilu 2024 dimulai pada tanggal 14 Juni 2022.
Sebelumnya, KPU telah menetapkan 18 partai politik peserta Pemilu Anggota DPR, DPRD, dan enam partai lokal Aceh peserta Pemilu Anggota DPR Aceh dan kabupaten/kota. Putusan ini pun ditafsirkan penundaan Pemilu 2024 yang dijadwalkan hari-H pencoblosan, Rabu, 14 Februari 2024.
Sejumlah kalangan pun beranggapan putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat itu dapat diartikan sebagai penundaan Pemilu 2024. Bahkan, pengajar pemilu pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia Titi Anggraini menilai vonis majelis hakim tersebut merupakan pelanggaran terbuka terhadap amanat konstitusi.
Putusan majelis hakim yang memerintahkan KPU tidak melaksanakan sisa tahapan pemilu, menurut pegiat pemilu ini, bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 karena perintah konstitusi pemilu setiap 5 tahun sekali.
Dalam Pasal 22E ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 telah mengatur bahwa pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil, dan setiap 5 tahun sekali.
Selain itu, dalam sistem penegakan hukum pemilu, tidak dikenal mekanisme perdata melalui pengadilan negeri untuk menyelesaikan keberatan dalam pendaftaran dan verifikasi partai politik peserta pemilu.
Saluran yang bisa tempuh partai politik hanyalah melalui sengketa di Bawaslu. Selanjutnya upaya hukum untuk pertama dan terakhir kali di pengadilan tata usaha negara (PTUN). Hal itu diatur dalam Pasal 470 dan 471 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu).
Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia pun angkat bicara. Dia menilai putusan PN Jakarta Pusat (Jakpus) yang memerintahkan KPU RI menunda pelaksanaan Pemilu 2024 dengan memenangkan gugatan perdata Partai Rakyat Adil Makmur (Prima) melampaui kewenangannya. Hal tersebut karena persoalan terkait dengan pelaksanaan ataupun penundaan pemilu merupakan ranah kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK).
Putusan penundaan Pemilu 2024 dinilai oleh pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra merupakan putusan yang keliru. Hal ini karena gugatan yang dilayangkan Prima adalah gugatan perdata.
Gugatan ini terkait dengan perbuatan melawan hukum biasa, bukan gugatan perbuatan melawan hukum oleh penguasa. Bukan pula gugatan yang berkaitan dengan hukum publik di bidang ketatanegaraan atau administrasi negara.
Dalam gugatan perdata itu, kata Yusril, yang bersengketa adalah penggugat (Prima) dengan tergugat (KPU) dan tidak menyangkut pihak lain. Putusan dalam sengketa perdata hanya mengikat penggugat dan tergugat saja. Tidak dapat mengikat pihak lain atau putusannya tidak berlaku umum dan mengikat siapa saja (erga omnes).
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD juga ikut mengomentari putusan PN Jakpus. Mahfud dalam unggahan di Instagram pribadinya, @mohmahfudmd, Kamis (2/3), menegaskan berdasarkan logika sederhana vonis kalah bagi KPU atas gugatan sebuah partai sebagai sesuatu yang salah. Hal ini berpotensi memancing kontroversi dan dapat mengganggu konsentrasi, sehingga bisa dipolitisasi seakan-akan putusan yang benar.
Mahfud dalam takarir unggahannya menulis: "Saya mengajak KPU naik banding dan melawan habis-habisan secara hukum. Kalau secara logika hukum pastilah KPU menang."
Ketua Mahkamah Konstitusi periode 2008—2013 ini menyatakan bahwa pengadilan negeri tidak punya wewenang untuk membuat vonis tersebut. Ada sejumlah alasan berdasarkan hukum, antara lain, sengketa terkait dengan proses, administrasi, dan hasil pemilu sudah diatur tersendiri dalam hukum, dan kompetensinya tidak berada di pengadilan negeri.
Sengketa sebelum pencoblosan, misalnya, jika terkait dengan proses administrasi yang memutus adalah Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), sedangkan soal keputusan kepesertaan paling jauh hanya bisa digugat ke pengadilan tata usaha negara (PTUN).
Dalam hal ini, kata Mahfud, Partai Prima sudah kalah sengketa di Bawaslu dan kalah pula di PTUN. Itulah penyelesaian sengketa administrasi jika terjadi sebelum pemungutan suara.
Untuk sengketa selepas pemungutan suara maupun hasil pemilu, kompetensi berada di Mahkamah Konstitusi (MK). Itu pakemnya begitu. Lagi pula tidak ada kompetensinya pengadilan umum. Perbuatan melawan hukum secara perdata, ditegaskannya tak bisa dijadikan objek terhadap KPU dalam pelaksanaan pemilu.
Pernyataan Ketua KPU RI Hasyim Asy'ari yang tetap menjalankan tahapan penyelenggaraan Pemilu 2024 perlu mendapat dukungan semua pihak, terutama pemangku kepentingan pemilu.
KPU menyatakan tetap menjalankan penyelenggaraan tahapan Pemilu 2024 karena putusan PN Jakpus terkait dengan gugatan Partai Prima itu tidak menyasar pada produk hukum KPU, berupa PKPU Nomor 3 Tahun 2022 tentang Tahapan dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilu Tahun 2024.
Baca juga: Analis: Putusan penundaan Pemilu 2024 lebihi kewenangan PN
Dalam perkara ini, Ketua Umum DPP Partai Rakyat Adil Makmur (Prima) Agus Priyono dan Sekretaris Jenderal Dewan DPP Prima Dominggus Oktavianus Tobu Kiik selaku pihak penggugat. Sementara itu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang diwakili oleh Ketua KPU RI Hasyim Asyari sebagai tergugat.
Majelis hakim yang dipimpin T. Oyong, dengan hakim anggota Bakri dan Dominggus Silaban, menolak eksepsi tergugat tentang gugatan penggugat kabur/tidak jelas (obscuur libel).
Dalam perkara perdata ini, majelis hakim menerima gugatan penggugat untuk seluruhnya, menyatakan penggugat adalah partai politik yang dirugikan dalam verifikasi administrasi oleh tergugat, dan menyatakan tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum.
Selanjutnya, majelis hakim menghukum tergugat membayar ganti rugi materiel sebesar Rp500 juta kepada penggugat, dan menetapkan biaya perkara dibebankan kepada tergugat sebesar Rp410 ribu, kemudian menyatakan putusan perkara ini dapat dijalankan terlebih dahulu secara serta-merta (uitvoerbaar bij voorraad).
Andai saja putusan hakim dalam perkara perdata ini sebatas di atas, kemungkinan tidak menuai reaksi "penolakan" dari sejumlah kalangan. Namun, ketika menyentuh tahapan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 yang saat ini masih berlangsung, sontak mengundang respons terhadap vonis majelis hakim itu.
Putusan yang kontroversi berbunyi: "Menghukum tergugat untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024 sejak putusan ini diucapkan dan melaksanakan tahapan pemilu dari awal selama lebih kurang 2 tahun 4 bulan 7 hari."
Merujuk pada vonis majelis hakim itu, KPU baru melaksanakan tahapan mulai 9 Juli 2025. Putusan ini berimplikasi pada Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 3 Tahun 2022 tentang Tahapan, Jadwal, dan Program Pemilu 2024. Seperti diketahui bahwa tahapan Pemilu 2024 dimulai pada tanggal 14 Juni 2022.
Sebelumnya, KPU telah menetapkan 18 partai politik peserta Pemilu Anggota DPR, DPRD, dan enam partai lokal Aceh peserta Pemilu Anggota DPR Aceh dan kabupaten/kota. Putusan ini pun ditafsirkan penundaan Pemilu 2024 yang dijadwalkan hari-H pencoblosan, Rabu, 14 Februari 2024.
Sejumlah kalangan pun beranggapan putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat itu dapat diartikan sebagai penundaan Pemilu 2024. Bahkan, pengajar pemilu pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia Titi Anggraini menilai vonis majelis hakim tersebut merupakan pelanggaran terbuka terhadap amanat konstitusi.
Putusan majelis hakim yang memerintahkan KPU tidak melaksanakan sisa tahapan pemilu, menurut pegiat pemilu ini, bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 karena perintah konstitusi pemilu setiap 5 tahun sekali.
Dalam Pasal 22E ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 telah mengatur bahwa pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil, dan setiap 5 tahun sekali.
Selain itu, dalam sistem penegakan hukum pemilu, tidak dikenal mekanisme perdata melalui pengadilan negeri untuk menyelesaikan keberatan dalam pendaftaran dan verifikasi partai politik peserta pemilu.
Saluran yang bisa tempuh partai politik hanyalah melalui sengketa di Bawaslu. Selanjutnya upaya hukum untuk pertama dan terakhir kali di pengadilan tata usaha negara (PTUN). Hal itu diatur dalam Pasal 470 dan 471 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu).
Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia pun angkat bicara. Dia menilai putusan PN Jakarta Pusat (Jakpus) yang memerintahkan KPU RI menunda pelaksanaan Pemilu 2024 dengan memenangkan gugatan perdata Partai Rakyat Adil Makmur (Prima) melampaui kewenangannya. Hal tersebut karena persoalan terkait dengan pelaksanaan ataupun penundaan pemilu merupakan ranah kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK).
Putusan penundaan Pemilu 2024 dinilai oleh pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra merupakan putusan yang keliru. Hal ini karena gugatan yang dilayangkan Prima adalah gugatan perdata.
Gugatan ini terkait dengan perbuatan melawan hukum biasa, bukan gugatan perbuatan melawan hukum oleh penguasa. Bukan pula gugatan yang berkaitan dengan hukum publik di bidang ketatanegaraan atau administrasi negara.
Dalam gugatan perdata itu, kata Yusril, yang bersengketa adalah penggugat (Prima) dengan tergugat (KPU) dan tidak menyangkut pihak lain. Putusan dalam sengketa perdata hanya mengikat penggugat dan tergugat saja. Tidak dapat mengikat pihak lain atau putusannya tidak berlaku umum dan mengikat siapa saja (erga omnes).
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD juga ikut mengomentari putusan PN Jakpus. Mahfud dalam unggahan di Instagram pribadinya, @mohmahfudmd, Kamis (2/3), menegaskan berdasarkan logika sederhana vonis kalah bagi KPU atas gugatan sebuah partai sebagai sesuatu yang salah. Hal ini berpotensi memancing kontroversi dan dapat mengganggu konsentrasi, sehingga bisa dipolitisasi seakan-akan putusan yang benar.
Mahfud dalam takarir unggahannya menulis: "Saya mengajak KPU naik banding dan melawan habis-habisan secara hukum. Kalau secara logika hukum pastilah KPU menang."
Ketua Mahkamah Konstitusi periode 2008—2013 ini menyatakan bahwa pengadilan negeri tidak punya wewenang untuk membuat vonis tersebut. Ada sejumlah alasan berdasarkan hukum, antara lain, sengketa terkait dengan proses, administrasi, dan hasil pemilu sudah diatur tersendiri dalam hukum, dan kompetensinya tidak berada di pengadilan negeri.
Sengketa sebelum pencoblosan, misalnya, jika terkait dengan proses administrasi yang memutus adalah Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), sedangkan soal keputusan kepesertaan paling jauh hanya bisa digugat ke pengadilan tata usaha negara (PTUN).
Dalam hal ini, kata Mahfud, Partai Prima sudah kalah sengketa di Bawaslu dan kalah pula di PTUN. Itulah penyelesaian sengketa administrasi jika terjadi sebelum pemungutan suara.
Untuk sengketa selepas pemungutan suara maupun hasil pemilu, kompetensi berada di Mahkamah Konstitusi (MK). Itu pakemnya begitu. Lagi pula tidak ada kompetensinya pengadilan umum. Perbuatan melawan hukum secara perdata, ditegaskannya tak bisa dijadikan objek terhadap KPU dalam pelaksanaan pemilu.
Pernyataan Ketua KPU RI Hasyim Asy'ari yang tetap menjalankan tahapan penyelenggaraan Pemilu 2024 perlu mendapat dukungan semua pihak, terutama pemangku kepentingan pemilu.
KPU menyatakan tetap menjalankan penyelenggaraan tahapan Pemilu 2024 karena putusan PN Jakpus terkait dengan gugatan Partai Prima itu tidak menyasar pada produk hukum KPU, berupa PKPU Nomor 3 Tahun 2022 tentang Tahapan dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilu Tahun 2024.
Baca juga: Analis: Putusan penundaan Pemilu 2024 lebihi kewenangan PN