Semarang (ANTARA) - Ibarat sebuah tim sepak bola, yang berlaga adalah sebuah klub, bukanlah perorangan karena kesebelas pemain belum tentu orangnya sama dalam setiap pertandingan.
Siapa saja pesepak bola yang ikut bertanding, pelatihlah yang menentukan. Meski demikian, dalam hal itu tidak lepas dari aturan terkait dengan jumlah pergantian pemain yang ditetapkan Dewan Asosiasi Sepak Bola Internasional atau International Football Association Board (IFAB), yakni lima orang.
Begitu pula dalam panggung politik di Tanah Air, aturan pesta demokrasi 5 tahunan tetap dalam koridor konstitusi.
Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 22E ayat (3) menyebutkan bahwa peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan anggota dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD) adalah partai politik.
Menjelang tahapan pencalonan anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, mulai 24 April hingga 25 November 2023, sejumlah warga negara Indonesia mengajukan keberatan konstitusional (constitutional complaint).
Dalam Perkara Nomor 114/PUU-XX/2022 terdapat enam pemohon, yaitu Demas Brian Wicaksono (warga Banyuwangi, Jawa Timur); Yuwono Pintadi dan Fahrurrozi, keduanya warga Kota Bengkulu, Provinsi Bengkulu); Ibnu Rachman Jaya (warga Kota Jakarta Selatan, Provinsi DKI Jakarta); Riyanto (warga Kabupaten Pekalongan, Provinsi Jawa Tengah); dan Nono Marijono (warga Kota Depok, Provinsi Jawa Barat).
Sejumlah pasal yang diuji, yakni Pasal 168 ayat (2), Pasal 342 ayat (2), 353 ayat (1) huruf b, 386 ayat (2) huruf b, Pasal 420 huruf c dan d, Pasal 422, Pasal 424 ayat (2), dan Pasal 426 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terhadap UUD NRI Tahun 1945.
Adapun argumentasi pemohon, antara lain, adanya frasa proporsional terbuka, nomor urut, nama calon, dan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak menunjukkan kekuatan perseorangan dalam pemilihan umum.
Pemohon beranggapan bahwa menguatnya peran individu di dalam proses pemilu akan membahayakan bentuk negara kesatuan, sebagaimana diatur di dalam Pasal 1 ayat (1) UUD NRI 1945. Pemohon menganggap sistem pemilu proporsional terbuka akan membuka ruang bagi orang untuk berusaha menjadi popular, menimbulkan kebebasan tanpa batas, dan merusak ideologi bernegara.
Pemohon juga menilai ketentuan sistem proporsional terbuka telah mendistorsi peran partai politik, dan telah mengesampingkan peranan partai politik di dalam sebuah penyelenggaraan pemilihan umum.
Sistem pemilu dengan proporsional terbuka dengan penentuan pemenang dengan suara terbanyak telah membajak proses pemilu oleh caleg pragmatis, yang hanya bermodal "populer dan menjual diri", dan oleh mereka yang tidak punya pengalaman di dalam mengelola organisasi partai politik atau organisasi berbasis sosial politik. Akibatnya, caleg terpilih seolah-olah akan mewakili dirinya sendiri, bukan mewakili partai politik.
Mengembalikan perintah konstitusi bahwa peserta Pemilu Anggota DPR dan pemilu anggota DPRD adalah partai politik. Pemohon juga menegaskan bahwa caleg adalah pilihan partai, dan partai yang menentukan siapa yang layak terpilih, untuk meningkatkan loyalitas caleg kepada partai. Selain itu, meningkatkan gairah untuk masuk ke dalam organisasi partai politik.
Sementara itu, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) selaku pihak terkait juga menyampaikan argumentasinya, antara lain, bahwa sistem pemilu perwakilan proporsional memiliki dua bentuk, yakni open-list proportional representation atau sistem perwakilan proporsional dengan daftar terbuka dan close-list proportional representation atau sistem perwakilan proporsional dengan daftar terbuka yang perbedaannya terletak pada metode pemberian suara dan penentuan calon terpilih.
Dalam sistem pemilu proporsional daftar terbuka, metode pemberian suara dengan memilih langsung daftar nama calon anggota legislatif yang tertera di surat suara dengan mekanisme penentuan calon terpilih berdasarkan perolehan suara terbanyak yang didapatkan oleh calon anggota legislatif, sedangkan sistem pemilu proporsional daftar tertutup metode pemberian suara dengan memilih logo/simbol partai politik di surat suara dengan mekanisme penentuan calon terpilih berdasarkan nomor urut yang diperoleh calon anggota legislatif.
Bahwa di dalam permohonan yang diajukan oleh pemohon terkait dengan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk mengubah sistem pemilihan umum menjadi proporsional tertutup dari sistem pemilu proporsional daftar terbuka, bukanlah persoalan yang sederhana mengenai tata cara pemberian suara dan penentuan calon terpilih semata, melainkan perlu mempertimbangkan variabel lain yang berkonsekuensi terhadap desain kelembagaan sistem politik demokrasi.
Keinginan dari pemohon untuk mengganti sistem pemilihan umum menjadi hanya mencoblos partai politik, menurut Direktur Eksekutif Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati, paling tidak itu akan berdampak secara langsung kepada tiga variabel utama di dalam sistem pemilihan umum, yaitu: pertama, berdampak pada sistem pencalonan anggota legislatif; kedua, berdampak pada metode pemberian suara; dan ketiga berdampak pada sistem penentuan calon terpilih.
Perludem menilai keinginan pemohon yang menginginkan agar yang tersedia di dalam surat suara nantinya hanya logo, nama, dan nomor urut partai politik secara signifikan akan menghilangkan nama calon anggota legislatif di dalam surat suara. Artinya, tidak ada lagi tahapan untuk mendaftarkan calon anggota legislatif yang notabene itu menjadi kewajiban partai politik untuk memastikan setiap calon anggota legislatif memenuhi persyaratan sebelum dipilih oleh pemilih.
Bahwa keinginan pemohon untuk memberikan otoritas sepenuhnya kepada partai politik untuk menentukan calon terpilih yang akan duduk di kursi lembaga legislatif, juga akan berdampak pada berubahnya metode pemberian suara yang nanti akan diberikan oleh pemilih di Indonesia. Pemilih tidak lagi memiliki kesempatan untuk mengetahui dan menentukan siapa calon anggota legislatif yang akan didukung atau dipilih di dalam sebuah pemilihan umum, khususnya dalam hal ini Pemilu Anggota DPR RI, pemilu anggota DPRD provinsi, dan pemilu anggota DPRD kabupaten/kota.
Berdampak luas
Menurut Perludem, sistem pemilu yang diinginkan oleh pemohon akan berdampak luas pada penyelenggaraan pemilihan umum. Penggantian sistem pemilu akan berdampak luas kepada pemilih, sebagai pemilik kedaulatan sebagaimana dijamin oleh Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat, dan dilaksanakan menurut UUD NRI Tahun 1945.
Dengan dihilangkannya kesempatan warga negara Indonesia untuk dapat menentukan langsung calon anggota legislatif yang akan dipilih, dalam hal ini calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, juga telah mengaburkan makna asas langsung dari penyelenggaraan pemilihan umum yang dijamin oleh Pasal 22E ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, yang secara eksplisit menyebutkan salah satu asas penyelenggaraan pemilihan umum adalah langsung.
Makna langsung ini tentu saja salah satunya diejawantahkan oleh pemilihan secara langsung terhadap calon anggota legislatif yang telah dicalonkan oleh partai politik secara terbuka.
Selain itu, perubahan sistem penyelenggaraan pemilihan umum menjadi proporsional tertutup akan berdampak signifikan pada aktivitas kampanye pemilu, sebagai salah satu instrumen utama pendidikan politik, serta komunikasi politik antara peserta pemilu dan pemilih sebagai pemilik kedaulatan.
Di samping itu, akan berdampak langsung pada pola dan desain pelaksanaan tahapan pemilu, di dalam kerangka manajemen keseluruhan pelaksanaan pemilu oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Perludem berpandangan bahwa pembahasan perubahan sistem pemilu mesti dilakukan di dalam proses legislasi yang dilakukan oleh pembentuk undang-undang secara hati-hati, demokratis, dan partisipatif.
Kendati demikian, putusan MK terkait dengan sistem pemilu itu jangan sampai mengganggu tahapan Pemilu 2024 yang sudah berjalan, sebagaimana tertuang dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 3 Tahun 2022 tentang Tahapan dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Umum Tahun 2024.
Baca juga: Akademikus: Jaga MK agar tak campuri ranah pembentuk undang-undang
Siapa saja pesepak bola yang ikut bertanding, pelatihlah yang menentukan. Meski demikian, dalam hal itu tidak lepas dari aturan terkait dengan jumlah pergantian pemain yang ditetapkan Dewan Asosiasi Sepak Bola Internasional atau International Football Association Board (IFAB), yakni lima orang.
Begitu pula dalam panggung politik di Tanah Air, aturan pesta demokrasi 5 tahunan tetap dalam koridor konstitusi.
Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 22E ayat (3) menyebutkan bahwa peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan anggota dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD) adalah partai politik.
Menjelang tahapan pencalonan anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, mulai 24 April hingga 25 November 2023, sejumlah warga negara Indonesia mengajukan keberatan konstitusional (constitutional complaint).
Dalam Perkara Nomor 114/PUU-XX/2022 terdapat enam pemohon, yaitu Demas Brian Wicaksono (warga Banyuwangi, Jawa Timur); Yuwono Pintadi dan Fahrurrozi, keduanya warga Kota Bengkulu, Provinsi Bengkulu); Ibnu Rachman Jaya (warga Kota Jakarta Selatan, Provinsi DKI Jakarta); Riyanto (warga Kabupaten Pekalongan, Provinsi Jawa Tengah); dan Nono Marijono (warga Kota Depok, Provinsi Jawa Barat).
Sejumlah pasal yang diuji, yakni Pasal 168 ayat (2), Pasal 342 ayat (2), 353 ayat (1) huruf b, 386 ayat (2) huruf b, Pasal 420 huruf c dan d, Pasal 422, Pasal 424 ayat (2), dan Pasal 426 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terhadap UUD NRI Tahun 1945.
Adapun argumentasi pemohon, antara lain, adanya frasa proporsional terbuka, nomor urut, nama calon, dan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak menunjukkan kekuatan perseorangan dalam pemilihan umum.
Pemohon beranggapan bahwa menguatnya peran individu di dalam proses pemilu akan membahayakan bentuk negara kesatuan, sebagaimana diatur di dalam Pasal 1 ayat (1) UUD NRI 1945. Pemohon menganggap sistem pemilu proporsional terbuka akan membuka ruang bagi orang untuk berusaha menjadi popular, menimbulkan kebebasan tanpa batas, dan merusak ideologi bernegara.
Pemohon juga menilai ketentuan sistem proporsional terbuka telah mendistorsi peran partai politik, dan telah mengesampingkan peranan partai politik di dalam sebuah penyelenggaraan pemilihan umum.
Sistem pemilu dengan proporsional terbuka dengan penentuan pemenang dengan suara terbanyak telah membajak proses pemilu oleh caleg pragmatis, yang hanya bermodal "populer dan menjual diri", dan oleh mereka yang tidak punya pengalaman di dalam mengelola organisasi partai politik atau organisasi berbasis sosial politik. Akibatnya, caleg terpilih seolah-olah akan mewakili dirinya sendiri, bukan mewakili partai politik.
Mengembalikan perintah konstitusi bahwa peserta Pemilu Anggota DPR dan pemilu anggota DPRD adalah partai politik. Pemohon juga menegaskan bahwa caleg adalah pilihan partai, dan partai yang menentukan siapa yang layak terpilih, untuk meningkatkan loyalitas caleg kepada partai. Selain itu, meningkatkan gairah untuk masuk ke dalam organisasi partai politik.
Sementara itu, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) selaku pihak terkait juga menyampaikan argumentasinya, antara lain, bahwa sistem pemilu perwakilan proporsional memiliki dua bentuk, yakni open-list proportional representation atau sistem perwakilan proporsional dengan daftar terbuka dan close-list proportional representation atau sistem perwakilan proporsional dengan daftar terbuka yang perbedaannya terletak pada metode pemberian suara dan penentuan calon terpilih.
Dalam sistem pemilu proporsional daftar terbuka, metode pemberian suara dengan memilih langsung daftar nama calon anggota legislatif yang tertera di surat suara dengan mekanisme penentuan calon terpilih berdasarkan perolehan suara terbanyak yang didapatkan oleh calon anggota legislatif, sedangkan sistem pemilu proporsional daftar tertutup metode pemberian suara dengan memilih logo/simbol partai politik di surat suara dengan mekanisme penentuan calon terpilih berdasarkan nomor urut yang diperoleh calon anggota legislatif.
Bahwa di dalam permohonan yang diajukan oleh pemohon terkait dengan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk mengubah sistem pemilihan umum menjadi proporsional tertutup dari sistem pemilu proporsional daftar terbuka, bukanlah persoalan yang sederhana mengenai tata cara pemberian suara dan penentuan calon terpilih semata, melainkan perlu mempertimbangkan variabel lain yang berkonsekuensi terhadap desain kelembagaan sistem politik demokrasi.
Keinginan dari pemohon untuk mengganti sistem pemilihan umum menjadi hanya mencoblos partai politik, menurut Direktur Eksekutif Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati, paling tidak itu akan berdampak secara langsung kepada tiga variabel utama di dalam sistem pemilihan umum, yaitu: pertama, berdampak pada sistem pencalonan anggota legislatif; kedua, berdampak pada metode pemberian suara; dan ketiga berdampak pada sistem penentuan calon terpilih.
Perludem menilai keinginan pemohon yang menginginkan agar yang tersedia di dalam surat suara nantinya hanya logo, nama, dan nomor urut partai politik secara signifikan akan menghilangkan nama calon anggota legislatif di dalam surat suara. Artinya, tidak ada lagi tahapan untuk mendaftarkan calon anggota legislatif yang notabene itu menjadi kewajiban partai politik untuk memastikan setiap calon anggota legislatif memenuhi persyaratan sebelum dipilih oleh pemilih.
Bahwa keinginan pemohon untuk memberikan otoritas sepenuhnya kepada partai politik untuk menentukan calon terpilih yang akan duduk di kursi lembaga legislatif, juga akan berdampak pada berubahnya metode pemberian suara yang nanti akan diberikan oleh pemilih di Indonesia. Pemilih tidak lagi memiliki kesempatan untuk mengetahui dan menentukan siapa calon anggota legislatif yang akan didukung atau dipilih di dalam sebuah pemilihan umum, khususnya dalam hal ini Pemilu Anggota DPR RI, pemilu anggota DPRD provinsi, dan pemilu anggota DPRD kabupaten/kota.
Berdampak luas
Menurut Perludem, sistem pemilu yang diinginkan oleh pemohon akan berdampak luas pada penyelenggaraan pemilihan umum. Penggantian sistem pemilu akan berdampak luas kepada pemilih, sebagai pemilik kedaulatan sebagaimana dijamin oleh Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat, dan dilaksanakan menurut UUD NRI Tahun 1945.
Dengan dihilangkannya kesempatan warga negara Indonesia untuk dapat menentukan langsung calon anggota legislatif yang akan dipilih, dalam hal ini calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, juga telah mengaburkan makna asas langsung dari penyelenggaraan pemilihan umum yang dijamin oleh Pasal 22E ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, yang secara eksplisit menyebutkan salah satu asas penyelenggaraan pemilihan umum adalah langsung.
Makna langsung ini tentu saja salah satunya diejawantahkan oleh pemilihan secara langsung terhadap calon anggota legislatif yang telah dicalonkan oleh partai politik secara terbuka.
Selain itu, perubahan sistem penyelenggaraan pemilihan umum menjadi proporsional tertutup akan berdampak signifikan pada aktivitas kampanye pemilu, sebagai salah satu instrumen utama pendidikan politik, serta komunikasi politik antara peserta pemilu dan pemilih sebagai pemilik kedaulatan.
Di samping itu, akan berdampak langsung pada pola dan desain pelaksanaan tahapan pemilu, di dalam kerangka manajemen keseluruhan pelaksanaan pemilu oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Perludem berpandangan bahwa pembahasan perubahan sistem pemilu mesti dilakukan di dalam proses legislasi yang dilakukan oleh pembentuk undang-undang secara hati-hati, demokratis, dan partisipatif.
Kendati demikian, putusan MK terkait dengan sistem pemilu itu jangan sampai mengganggu tahapan Pemilu 2024 yang sudah berjalan, sebagaimana tertuang dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 3 Tahun 2022 tentang Tahapan dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Umum Tahun 2024.
Baca juga: Akademikus: Jaga MK agar tak campuri ranah pembentuk undang-undang