Magelang (ANTARA) - Segala sibuk persiapan pemilu menjadi serangkaian padat agenda yang sedang dikerjakan untuk mencapai hari pesta pemilihan mendatang.
Masing-masing pihak yang berkepentingan seakan sedang menyapukan kuas bersama-sama di atas kanvas mahabesar untuk proses perjalanan bareng-bareng menciptakan karya rupa bernama pesta demokrasi lima tahunan.
Mereka yang berkepentingan atas tahun pesta politik bukan hanya para konstestan, panitia penyelenggara pemilihan, atau pemerintah. Tak kalah penting dalam karya pesta itu juga erat kaitan dengan eksistensi dan ko-eksistensi rakyat. Rakyat dengan preferensi masing-masing menjadi pemilik hak penting untuk bersama-sama ikut menggoreskan kuas di atas kanvas pemilu.
Tanpa keikutsertaan kontestan artinya tak bakal terjadi pemilihan, tanpa penyelenggara berarti tidak berlangsung pesta, sedangkan dengan tak ada pemerintahan menjadikan pesta ada di ruang hampa tatanan atau bahkan kaos (chaos). Namun, tanpa rakyat dengan segala kepentingan, artinya kekuasaan tidak dibutuhkan. Elemen-elemen lainnya yang tak cukup mampu disebutkan boleh kiranya dipercaya ikut dalam ajang pesta itu, termasuk hal-hal adikodrati dan wangsit semesta.
Dus, pemilu yang untuk kepentingan bersama-sama masyarakat, bangsa, dan negara, bukan hajatan sepihak apalagi perseorangan. Namun hajatan bersama, oleh semua, dan untuk siapa saja. Pemilu tampak bukan sekadar kontestasi mendapat kursi kekuasaan, melainkan bagian penting tonggak sejarah yang akan menyejarah dan pewarisan tentang kesejarahan.
Dengan kesadaran sejarah kepemiluan yang sedemikian penting dan luhur, seribet apa pun hajatan direncanakan sematang-matangnya dengan dijalani sepandai dan sebijak mungkin untuk menghadirkan karya demokrasi yang berterima bagi semua secara mulia, indah, dan bermartabat.
Segala daya dimiliki dan berbagai usaha semua elemen bangsa bisa dipastikan tidak akan secara ngawur diinvestasikan dan dijalani. Semua saja tentu berupaya dengan saksama menghindari noktah buruk dan cela dalam kanvas pesta pemilu.
Oleh karena itu, temuan dugaan kecurangan bukti dukungan untuk keabsahan partai politik dan calon legislator diurus serius oleh komisi pemilihan. Pemahaman bersama untuk rumusan pengertian sosialisasi atau kampanye di luar jadwal resmi dilakukan bakal kandidat menjadi persoalan tersendiri untuk dirampungkan, sedangkan data terkini calon pemilih terus dikumpulkan.
Demikian juga sikap imparsial penyelenggara pemilihan ditegakkan lembaga etik dan komitmen terhadap regulasi dikeluarkan pemerintah dijaga agar tidak ada terlebih dahulu tiga periode masa jabatan presiden. Presiden Joko Widodo, sebagaimana disampaikan Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan Mahfud MD, menjamin pemilu mendatang pada 2024, yang artinya ia menjabat dua periode sesuai regulasi, 2014-2019 dan 2019-2024.
Hal yang tak kalah urgen, menjaga rakyat senegeri yang sedang terpolarisasi karena kecenderungan terhadap pilihan berbeda-beda itu, agar tidak berbenturan. Terlebih dalam tahun politik dengan makin menguat peranan media sosial bahkan hingga ucap dan laku banal, penguatan cengkeraman dunia maya, dan mesin algoritma kian canggih, keterbelahan rakyat nampak terus menguat. Rakyat yang sejak awal sudah gandrung terhadap calonnya dijaga agar tidak menggeser pilihan, sedangkan massa mengambang ditarik-tarik segera masuk kutub.
Tugas mencegah dan menangani gangguan keamanan dan ketertiban bersama secara formal ada di pundak institusi keamanan dengan deretan jajaran dan personel yang profesional serta terjaga netralitasnya. Namun, tanggung jawab dan amanah untuk situasi tetap kondusif dalam rangkaian suasana pesta itu, mau tidak mau senyatanya dalam genggaman tangan semua elemen bangsa dan negara. Termasuk para pihak di lingkaran utama pesta demokrasi berpusaka nilai siap menang dengan tak jemawa serta siap kalah secara bermartabat dan legawa.
Tidak mudah menjaga nilai-nilai dasar yang luhur sebagai sesama warga bangsa dan satu kesatuan negeri dalam bingkai kebinekaan di tengah perbedaan kepentingan politik, meskipun urusan pemilihan politik sesungguhnya untuk kelangsungan kepentingan hidup bersama mereka sesama bangsa dan negara.
Negeri ini memang sudah memastikan hendak membuat pesta pemilihan umum. Hari H pemilu serentak dijalani rakyat pada 14 Februari 2024. Mereka akan menempatkan sosok presiden dan para wakil rakyat secara absah duduk di kursi kamar eksekutif dan legislatif. Oleh karenanya, selama setahun ini dianggap sebagai warsa politik untuk menempatkan pemimpin negara bekerja 5 tahun ke depan, 2024-2029.
Tahapan-tahapan pemilihan terus dikerjakan Komisi Pemilihan Umum dengan pengawasan Badan Pengawas Pemilihan Umum. Manuver partai politik sebagai keniscayaan termasuk untuk berkoalisi dan para bakal calon bersiap mendaftar pemilihan dengan memacak diri guna menarik dukungan, sedangkan perhatian rakyat pemilih digaet agar pada saatnya memberi suara dengan kecukupan kedewasaan berpolitik.
Sejumlah sosok terus santer diperkuat kemunculan sebagai bakal calon presiden-wakil presiden. Para tokoh dan pemuka dengan percaya diri bersiap mendaftar ke berbagai partai politik pengusung maju pencalonan pemilihan legislatif, sedangkan petinggi parpol, pengamat dan pakar, serta penyelenggara pemilihan dan pimpinan pemerintahan bersuara-suara melalui berbagai kanal, membicarakan pemilu agar sukses.
Seolah-olah rakyat saat ini dibawa kepada situasi pasti berada pada kemenangan pilihan di tengah pesta demokrasi yang hendak dituju. Harapan terus ditinggikan baik untuk kepentingan kelanjutan kepemimpinan dan kerja pembangunan, maupun tawaran perubahan kehidupan yang lebih baik.
Sementara itu, penguasa de facto dan de jure saat ini masih tetap harus terus menjalankan amanah memimpin roda pemerintahan agar program-program pembangunan terealisasi hingga akhir masa jabatan, serta menjaga legitimasi kekuasaan untuk menjadi legasi bermakna.
Tahun politik sekarang ini, mungkin ada baiknya juga dipandang sebagai jalan samar-samar namun sebagai kenyataan dikerjakan menjadi suatu realitas karya pesta demokrasi yang semakin mendekati ideal.
Melalui novel "Anak-Anak Semar" (2022), sastrawan Sindhunata seakan menghadirkan sosok penting dunia pewayangan, Semar, sebagai karakter dunia samar-samar, bukan hanya untuk figur pemimpin namun juga rakyat kebanyakan.
Jagat Semar itu samar dan yang samar itu Semar dikisahkan dalang, antara lain, sebagai pengayom, penasihat, dan penuntun, namun juga hamba bagi majikan. Ia yang berkelamin tidak laki-laki namun juga bukan perempuan dan bertubuh serta wajah buruk namun berhati luhur itu, ejawantah dewa dari kayangan tinggi yang manjing (memasuki) di Bumi mencari raga untuk infrastruktur menebar kebaikan.
Cerita tentang Semar membangun kayangan, oleh para dewa disalahpahami sebagai gerakan subversif dikerjakan Semar. Padahal, Semar menunjuk segala hal surgawi sesungguhnya telah ada dalam pikiran, nurani, dan wadak setiap insan. Nilai-nilai kekayanganan dalam diri setiap insan sebagai pemimpin dan rakyat itulah yang secara ragawi sering kotor dan selip karena nafsu duniawi. Nilai-nilai tersebut harus dijaga dan dihidupi manusia agar kekayaan surgawi tak sirna dari Bumi.
Dituliskan oleh Sindhunata bahwa jagat Semar indah dalam kesamaran. Akan tetapi oleh karena kesamaran, hal itu menjadi pintu muncul Semar palsu, baik sebagai pemimpin yang sedang mencari kekuasaan maupun rakyat yang berjuang hidup menjaga orisinalitas.
Semar yang tidak pernah menyakiti tahu bahwa dirinya dipalsukan mereka untuk mencapai kepentingan. Namun, Semar juga tahu bahwa dirinya menjadi kekuatan mereka yang sungguh-sungguh berjuang mencapai kepentingan luhur.
"Maka, jika mereka mengaku bijak seperti Semar, janganlah percaya, ia pasti Semar palsu," demikian penggalan percakapan dalam novel Sindhunata. Kebijakan yang wilayah spiritualitas menjadi tidak elok dan turun kadar jika dilakukan sendiri, namun ungkapan kebijakan sering dijumpai dalam perpolitikan dan urusan publik.
Penampilan bijak, pandai, kredibel, dan berintegritas disajikan para sosok, terlebih pada era narsisme medsos dan persiapan pemilu, sebagai rentan menjadi jagat Semar palsu. Demikian pula, pembelaan atas nama kebenaran tertentu oleh kelompok masyarakat hingga membabi buta menafikan lainnya, boleh jadi sebagai jagat Semar palsu.
Sosok para pemimpin terbaik agaknya sudah ada di tanah sejahtera bagai surga ini. Ajang menghadirkan mereka mungkin sedang diwujudkan dalam nilai-nilai Semar melalui berbagai tahapan menuju pesta pemilihan yang bermartabat.
Masing-masing pihak yang berkepentingan seakan sedang menyapukan kuas bersama-sama di atas kanvas mahabesar untuk proses perjalanan bareng-bareng menciptakan karya rupa bernama pesta demokrasi lima tahunan.
Mereka yang berkepentingan atas tahun pesta politik bukan hanya para konstestan, panitia penyelenggara pemilihan, atau pemerintah. Tak kalah penting dalam karya pesta itu juga erat kaitan dengan eksistensi dan ko-eksistensi rakyat. Rakyat dengan preferensi masing-masing menjadi pemilik hak penting untuk bersama-sama ikut menggoreskan kuas di atas kanvas pemilu.
Tanpa keikutsertaan kontestan artinya tak bakal terjadi pemilihan, tanpa penyelenggara berarti tidak berlangsung pesta, sedangkan dengan tak ada pemerintahan menjadikan pesta ada di ruang hampa tatanan atau bahkan kaos (chaos). Namun, tanpa rakyat dengan segala kepentingan, artinya kekuasaan tidak dibutuhkan. Elemen-elemen lainnya yang tak cukup mampu disebutkan boleh kiranya dipercaya ikut dalam ajang pesta itu, termasuk hal-hal adikodrati dan wangsit semesta.
Dus, pemilu yang untuk kepentingan bersama-sama masyarakat, bangsa, dan negara, bukan hajatan sepihak apalagi perseorangan. Namun hajatan bersama, oleh semua, dan untuk siapa saja. Pemilu tampak bukan sekadar kontestasi mendapat kursi kekuasaan, melainkan bagian penting tonggak sejarah yang akan menyejarah dan pewarisan tentang kesejarahan.
Dengan kesadaran sejarah kepemiluan yang sedemikian penting dan luhur, seribet apa pun hajatan direncanakan sematang-matangnya dengan dijalani sepandai dan sebijak mungkin untuk menghadirkan karya demokrasi yang berterima bagi semua secara mulia, indah, dan bermartabat.
Segala daya dimiliki dan berbagai usaha semua elemen bangsa bisa dipastikan tidak akan secara ngawur diinvestasikan dan dijalani. Semua saja tentu berupaya dengan saksama menghindari noktah buruk dan cela dalam kanvas pesta pemilu.
Oleh karena itu, temuan dugaan kecurangan bukti dukungan untuk keabsahan partai politik dan calon legislator diurus serius oleh komisi pemilihan. Pemahaman bersama untuk rumusan pengertian sosialisasi atau kampanye di luar jadwal resmi dilakukan bakal kandidat menjadi persoalan tersendiri untuk dirampungkan, sedangkan data terkini calon pemilih terus dikumpulkan.
Demikian juga sikap imparsial penyelenggara pemilihan ditegakkan lembaga etik dan komitmen terhadap regulasi dikeluarkan pemerintah dijaga agar tidak ada terlebih dahulu tiga periode masa jabatan presiden. Presiden Joko Widodo, sebagaimana disampaikan Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan Mahfud MD, menjamin pemilu mendatang pada 2024, yang artinya ia menjabat dua periode sesuai regulasi, 2014-2019 dan 2019-2024.
Hal yang tak kalah urgen, menjaga rakyat senegeri yang sedang terpolarisasi karena kecenderungan terhadap pilihan berbeda-beda itu, agar tidak berbenturan. Terlebih dalam tahun politik dengan makin menguat peranan media sosial bahkan hingga ucap dan laku banal, penguatan cengkeraman dunia maya, dan mesin algoritma kian canggih, keterbelahan rakyat nampak terus menguat. Rakyat yang sejak awal sudah gandrung terhadap calonnya dijaga agar tidak menggeser pilihan, sedangkan massa mengambang ditarik-tarik segera masuk kutub.
Tugas mencegah dan menangani gangguan keamanan dan ketertiban bersama secara formal ada di pundak institusi keamanan dengan deretan jajaran dan personel yang profesional serta terjaga netralitasnya. Namun, tanggung jawab dan amanah untuk situasi tetap kondusif dalam rangkaian suasana pesta itu, mau tidak mau senyatanya dalam genggaman tangan semua elemen bangsa dan negara. Termasuk para pihak di lingkaran utama pesta demokrasi berpusaka nilai siap menang dengan tak jemawa serta siap kalah secara bermartabat dan legawa.
Tidak mudah menjaga nilai-nilai dasar yang luhur sebagai sesama warga bangsa dan satu kesatuan negeri dalam bingkai kebinekaan di tengah perbedaan kepentingan politik, meskipun urusan pemilihan politik sesungguhnya untuk kelangsungan kepentingan hidup bersama mereka sesama bangsa dan negara.
Negeri ini memang sudah memastikan hendak membuat pesta pemilihan umum. Hari H pemilu serentak dijalani rakyat pada 14 Februari 2024. Mereka akan menempatkan sosok presiden dan para wakil rakyat secara absah duduk di kursi kamar eksekutif dan legislatif. Oleh karenanya, selama setahun ini dianggap sebagai warsa politik untuk menempatkan pemimpin negara bekerja 5 tahun ke depan, 2024-2029.
Tahapan-tahapan pemilihan terus dikerjakan Komisi Pemilihan Umum dengan pengawasan Badan Pengawas Pemilihan Umum. Manuver partai politik sebagai keniscayaan termasuk untuk berkoalisi dan para bakal calon bersiap mendaftar pemilihan dengan memacak diri guna menarik dukungan, sedangkan perhatian rakyat pemilih digaet agar pada saatnya memberi suara dengan kecukupan kedewasaan berpolitik.
Sejumlah sosok terus santer diperkuat kemunculan sebagai bakal calon presiden-wakil presiden. Para tokoh dan pemuka dengan percaya diri bersiap mendaftar ke berbagai partai politik pengusung maju pencalonan pemilihan legislatif, sedangkan petinggi parpol, pengamat dan pakar, serta penyelenggara pemilihan dan pimpinan pemerintahan bersuara-suara melalui berbagai kanal, membicarakan pemilu agar sukses.
Seolah-olah rakyat saat ini dibawa kepada situasi pasti berada pada kemenangan pilihan di tengah pesta demokrasi yang hendak dituju. Harapan terus ditinggikan baik untuk kepentingan kelanjutan kepemimpinan dan kerja pembangunan, maupun tawaran perubahan kehidupan yang lebih baik.
Sementara itu, penguasa de facto dan de jure saat ini masih tetap harus terus menjalankan amanah memimpin roda pemerintahan agar program-program pembangunan terealisasi hingga akhir masa jabatan, serta menjaga legitimasi kekuasaan untuk menjadi legasi bermakna.
Tahun politik sekarang ini, mungkin ada baiknya juga dipandang sebagai jalan samar-samar namun sebagai kenyataan dikerjakan menjadi suatu realitas karya pesta demokrasi yang semakin mendekati ideal.
Melalui novel "Anak-Anak Semar" (2022), sastrawan Sindhunata seakan menghadirkan sosok penting dunia pewayangan, Semar, sebagai karakter dunia samar-samar, bukan hanya untuk figur pemimpin namun juga rakyat kebanyakan.
Jagat Semar itu samar dan yang samar itu Semar dikisahkan dalang, antara lain, sebagai pengayom, penasihat, dan penuntun, namun juga hamba bagi majikan. Ia yang berkelamin tidak laki-laki namun juga bukan perempuan dan bertubuh serta wajah buruk namun berhati luhur itu, ejawantah dewa dari kayangan tinggi yang manjing (memasuki) di Bumi mencari raga untuk infrastruktur menebar kebaikan.
Cerita tentang Semar membangun kayangan, oleh para dewa disalahpahami sebagai gerakan subversif dikerjakan Semar. Padahal, Semar menunjuk segala hal surgawi sesungguhnya telah ada dalam pikiran, nurani, dan wadak setiap insan. Nilai-nilai kekayanganan dalam diri setiap insan sebagai pemimpin dan rakyat itulah yang secara ragawi sering kotor dan selip karena nafsu duniawi. Nilai-nilai tersebut harus dijaga dan dihidupi manusia agar kekayaan surgawi tak sirna dari Bumi.
Dituliskan oleh Sindhunata bahwa jagat Semar indah dalam kesamaran. Akan tetapi oleh karena kesamaran, hal itu menjadi pintu muncul Semar palsu, baik sebagai pemimpin yang sedang mencari kekuasaan maupun rakyat yang berjuang hidup menjaga orisinalitas.
Semar yang tidak pernah menyakiti tahu bahwa dirinya dipalsukan mereka untuk mencapai kepentingan. Namun, Semar juga tahu bahwa dirinya menjadi kekuatan mereka yang sungguh-sungguh berjuang mencapai kepentingan luhur.
"Maka, jika mereka mengaku bijak seperti Semar, janganlah percaya, ia pasti Semar palsu," demikian penggalan percakapan dalam novel Sindhunata. Kebijakan yang wilayah spiritualitas menjadi tidak elok dan turun kadar jika dilakukan sendiri, namun ungkapan kebijakan sering dijumpai dalam perpolitikan dan urusan publik.
Penampilan bijak, pandai, kredibel, dan berintegritas disajikan para sosok, terlebih pada era narsisme medsos dan persiapan pemilu, sebagai rentan menjadi jagat Semar palsu. Demikian pula, pembelaan atas nama kebenaran tertentu oleh kelompok masyarakat hingga membabi buta menafikan lainnya, boleh jadi sebagai jagat Semar palsu.
Sosok para pemimpin terbaik agaknya sudah ada di tanah sejahtera bagai surga ini. Ajang menghadirkan mereka mungkin sedang diwujudkan dalam nilai-nilai Semar melalui berbagai tahapan menuju pesta pemilihan yang bermartabat.