Solo (ANTARA) - Beberapa waktu terakhir, Kota Solo disibukkan dengan berbagai kegiatan, mulai dari hiburan, olahraga, hingga pertemuan yang diselenggarakan oleh sejumlah asosiasi.
Akibatnya, jutaan orang tumpah ruah ke kota budaya itu. Solo yang hanya memiliki luas sekitar 44 KM2, dengan penduduk lebih dari 500.000 orang, menjadi tantangan tersendiri untuk bisa memastikan para tamu yang datang merasa nyaman, termasuk bebas dari kemacetan lalu lintas.
Oleh karena itu, belum lama ini Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka menginginkan agar jalan lingkar segera dibangun. Diyakini bahwa jalan lingkar ini akan mampu mengurangi kemacetan lalu lintas di Solo.
Di saat jam sibuk, sejumlah titik di Kota Solo terlihat ada kemacetan lalu lintas. Belum lagi, tumpukan kendaraan di beberapa perlintasan sebidang.
Kajian terkait kondisi lalu lintas di Kota Solo yang sudah dilakukan beberapa waktu lalu memperlihatkan bahwa dalam kurun waktu beberapa tahun ke depan kota itu akan menghadapi kepadatan lalu lintas yang cukup parah.
"Kalau trafiknya sudah terjadi stuck, inflasi, distribusi pangan, wisata akan terpengaruh sekali. Hati-hati sekali masalah trafik ini," kata Gibran, dalam suatu perbincangan.
Sebagai solusi, jalan lingkar dipandang mampu mengurai kemacetan sebelum terjadi kemacetan di beberapa titik, baik akses masuk dan ke luar Kota Solo, maupun yang ada di dalam kota.
Pemerintah Kota Surakarta menyadari jalan lingkar hanya menjadi satu dari berbagai solusi dalam menghadapi kemacetan lalu lintas. Meski begitu, solusi lain juga sudah dilakukan oleh pemerintah, seperti pembangunan jalan layang atau flyover untuk menghilangkan kemacetan di wilayah perlintasan sebidang.
Untuk mengatasi berbagai persoalan di jalanan itu, pemerintah terus meningkatkan pelayanan publik, termasuk penyediaan kendaraan umum yang nyaman agar masyarakat lebih tertarik untuk beraktivitas dengan menggunakan kendaraan umum, daripada mereka menggunakan kendaraan pribadi.
Macet parah 2031
Dari hasil kajian yang pernah dilakukan oleh Dinas Perhubungan Kota Surakarta, dengan pertumbuhan jumlah kendaraan yang mencapai 4 persen per tahun, diperkirakan tahun 2031 Kota Solo akan mengalami kemacetan parah.
Situasi itu akan terjadi, dengan catatan, pemerintah tidak melakukan perubahan apapun. Dinas Perhubungan Kota Surakarta mengeluarkan salah satu rekomendasi sebagai respons dari kajian tersebut, yakni menjadikan perlintasan sebidang diubah menjadi tidak lagi sebidang.
Dinas itu mencatat pada saat itu di Solo terdapat tujuh perlintasan sebidang. Meski demikian, saat ini jumlah tersebut sudah berkurang seiring dengan pembangunan jalan layang di Purwosari dan Manahan.
Selain itu, dalam waktu dekat ini viaduk Gilingan juga akan dibenahi. Perkembangan yang terbaru, pemerintah pusat melalui Kementerian Perhubungan tengah membuat rel layang sebagai solusi untuk menghapus perlintasan sebidang di kawasan Joglo Solo.
Di sisi lain, pemerintah juga terus meningkatkan pelayanan angkutan umum. Dengan demikian, masyarakat yang selama ini lebih banyak naik kendaraan pribadi nantinya akan lebih tertarik untuk naik angkutan umum. Dampak positifnya adalah angka kemacetan lalu lintas dapat berkurang.
Bukan hanya di dalam kota, pengembangan kendaraan publik ini juga merambah hingga ke luar daerah. Jika di dalam kota ada Batik Solo Trans (BST), untuk angkutan antarkota ke depan akan ada Transjateng.
Mengingat untuk akses di Solo Raya saat ini belum ada transportasi publik yang bisa diandalkan, alhasil banyak pelaju dari luar daerah yang masih menggunakan mobil maupun sepeda motor pribadi.
Oleh karena itu, aglomerasi diharapkan mampu menjadi solusi.
Menurut catatan Dinas Perhubungan Kota Surakarta, semua hal itu yang dilakukan di negara maju di manapun atau kuncinya adalah penyediaan tranpsortasi publik yang memadai.
Mengenai kemacetan di Solo saat ini, tidak lepas dari pertumbuhan kendaraan pribadi. Selain itu, hadirnya kendaraan logistik yang secara dimensi memakan banyak ruang, juga menjadi penyebab kemacetan.
Kendaraan pribadi menjadi penyebab kemacetan karena Solo sekarang tidak ada jalan lingkarnya, yaitu yang dari arah timur dan selatan.
Hambatan daerah lain
Meski demikian, rupanya misi Pemerintah Kota Surakarta untuk memberikan kenyamanan kepada masyarakat tersebut tidak berjalan mulus. Sebab beberapa kepala daerah tetangga yang akan dilintasi jalan lingkar merasa keberatan dengan rencana pembangunan infrastruktur itu.
Salah satu kepala daerah yang merasa keberatan adalah Bupati Klaten Sri Mulyani. Belum lama ini Sri Mulyani mengaku enggan mendukung rencana tersebut karena khawatir lahan sawah produktif di daerahnya akan makin berkurang.
Padahal, belum lama ini, khusus di wilayah Kabupaten Klaten, dari sekitar 500 hektare lahan yang digunakan untuk tol, 300 ha di antaranya merupakan lahan sawah lestari.
Jika rencana itu terealisasi, maka proyek jalan lingkar tersebut akan memakan lahan sekitar 30 ha sawah.
Padahal, selama ini Klaten menjadi salah satu lumbung pangan nasional. Dengan pengurangan luasan lahan sawah Sri Mulyani khawatir daerahnya tidak lagi menjadi lumbung pangan nasional.
Terkait wacana tersebut, agaknya perlu kembali dikaji terkait alternatif rencana jalan lingkar. Jika alternatif lain, seperti optimalisasi kendaraan publik dan pembangunan jalan layang, mampu mengurangi kepadatan jalan, akan lebih baik untuk diprioritaskan.
Jangan sampai pembangunan infrastruktur mengurangi lahan hijau yang masih produktif karena bukan tidak mungkin akan berdampak pada penurunan stok pangan di dalam negeri.
Akibatnya, jutaan orang tumpah ruah ke kota budaya itu. Solo yang hanya memiliki luas sekitar 44 KM2, dengan penduduk lebih dari 500.000 orang, menjadi tantangan tersendiri untuk bisa memastikan para tamu yang datang merasa nyaman, termasuk bebas dari kemacetan lalu lintas.
Oleh karena itu, belum lama ini Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka menginginkan agar jalan lingkar segera dibangun. Diyakini bahwa jalan lingkar ini akan mampu mengurangi kemacetan lalu lintas di Solo.
Di saat jam sibuk, sejumlah titik di Kota Solo terlihat ada kemacetan lalu lintas. Belum lagi, tumpukan kendaraan di beberapa perlintasan sebidang.
Kajian terkait kondisi lalu lintas di Kota Solo yang sudah dilakukan beberapa waktu lalu memperlihatkan bahwa dalam kurun waktu beberapa tahun ke depan kota itu akan menghadapi kepadatan lalu lintas yang cukup parah.
"Kalau trafiknya sudah terjadi stuck, inflasi, distribusi pangan, wisata akan terpengaruh sekali. Hati-hati sekali masalah trafik ini," kata Gibran, dalam suatu perbincangan.
Sebagai solusi, jalan lingkar dipandang mampu mengurai kemacetan sebelum terjadi kemacetan di beberapa titik, baik akses masuk dan ke luar Kota Solo, maupun yang ada di dalam kota.
Pemerintah Kota Surakarta menyadari jalan lingkar hanya menjadi satu dari berbagai solusi dalam menghadapi kemacetan lalu lintas. Meski begitu, solusi lain juga sudah dilakukan oleh pemerintah, seperti pembangunan jalan layang atau flyover untuk menghilangkan kemacetan di wilayah perlintasan sebidang.
Untuk mengatasi berbagai persoalan di jalanan itu, pemerintah terus meningkatkan pelayanan publik, termasuk penyediaan kendaraan umum yang nyaman agar masyarakat lebih tertarik untuk beraktivitas dengan menggunakan kendaraan umum, daripada mereka menggunakan kendaraan pribadi.
Macet parah 2031
Dari hasil kajian yang pernah dilakukan oleh Dinas Perhubungan Kota Surakarta, dengan pertumbuhan jumlah kendaraan yang mencapai 4 persen per tahun, diperkirakan tahun 2031 Kota Solo akan mengalami kemacetan parah.
Situasi itu akan terjadi, dengan catatan, pemerintah tidak melakukan perubahan apapun. Dinas Perhubungan Kota Surakarta mengeluarkan salah satu rekomendasi sebagai respons dari kajian tersebut, yakni menjadikan perlintasan sebidang diubah menjadi tidak lagi sebidang.
Dinas itu mencatat pada saat itu di Solo terdapat tujuh perlintasan sebidang. Meski demikian, saat ini jumlah tersebut sudah berkurang seiring dengan pembangunan jalan layang di Purwosari dan Manahan.
Selain itu, dalam waktu dekat ini viaduk Gilingan juga akan dibenahi. Perkembangan yang terbaru, pemerintah pusat melalui Kementerian Perhubungan tengah membuat rel layang sebagai solusi untuk menghapus perlintasan sebidang di kawasan Joglo Solo.
Di sisi lain, pemerintah juga terus meningkatkan pelayanan angkutan umum. Dengan demikian, masyarakat yang selama ini lebih banyak naik kendaraan pribadi nantinya akan lebih tertarik untuk naik angkutan umum. Dampak positifnya adalah angka kemacetan lalu lintas dapat berkurang.
Bukan hanya di dalam kota, pengembangan kendaraan publik ini juga merambah hingga ke luar daerah. Jika di dalam kota ada Batik Solo Trans (BST), untuk angkutan antarkota ke depan akan ada Transjateng.
Mengingat untuk akses di Solo Raya saat ini belum ada transportasi publik yang bisa diandalkan, alhasil banyak pelaju dari luar daerah yang masih menggunakan mobil maupun sepeda motor pribadi.
Oleh karena itu, aglomerasi diharapkan mampu menjadi solusi.
Menurut catatan Dinas Perhubungan Kota Surakarta, semua hal itu yang dilakukan di negara maju di manapun atau kuncinya adalah penyediaan tranpsortasi publik yang memadai.
Mengenai kemacetan di Solo saat ini, tidak lepas dari pertumbuhan kendaraan pribadi. Selain itu, hadirnya kendaraan logistik yang secara dimensi memakan banyak ruang, juga menjadi penyebab kemacetan.
Kendaraan pribadi menjadi penyebab kemacetan karena Solo sekarang tidak ada jalan lingkarnya, yaitu yang dari arah timur dan selatan.
Hambatan daerah lain
Meski demikian, rupanya misi Pemerintah Kota Surakarta untuk memberikan kenyamanan kepada masyarakat tersebut tidak berjalan mulus. Sebab beberapa kepala daerah tetangga yang akan dilintasi jalan lingkar merasa keberatan dengan rencana pembangunan infrastruktur itu.
Salah satu kepala daerah yang merasa keberatan adalah Bupati Klaten Sri Mulyani. Belum lama ini Sri Mulyani mengaku enggan mendukung rencana tersebut karena khawatir lahan sawah produktif di daerahnya akan makin berkurang.
Padahal, belum lama ini, khusus di wilayah Kabupaten Klaten, dari sekitar 500 hektare lahan yang digunakan untuk tol, 300 ha di antaranya merupakan lahan sawah lestari.
Jika rencana itu terealisasi, maka proyek jalan lingkar tersebut akan memakan lahan sekitar 30 ha sawah.
Padahal, selama ini Klaten menjadi salah satu lumbung pangan nasional. Dengan pengurangan luasan lahan sawah Sri Mulyani khawatir daerahnya tidak lagi menjadi lumbung pangan nasional.
Terkait wacana tersebut, agaknya perlu kembali dikaji terkait alternatif rencana jalan lingkar. Jika alternatif lain, seperti optimalisasi kendaraan publik dan pembangunan jalan layang, mampu mengurangi kepadatan jalan, akan lebih baik untuk diprioritaskan.
Jangan sampai pembangunan infrastruktur mengurangi lahan hijau yang masih produktif karena bukan tidak mungkin akan berdampak pada penurunan stok pangan di dalam negeri.