Semarang (ANTARA) - Sampai sekarang tidak ada perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum sehingga kemungkinan tidak akan ada perubahan sistem pemilihan pada Pemilu 2024.

Sistem pemilihan pada tahun 2024—bisa dikatakan—sama dengan Pemilu 2019, yakni pemilu anggota DPR/DPRD menggunakan sistem proporsional terbuka (suara terbanyak), Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI menggunakan sistem distrik berwakil banyak, kemudian pada Pemilu Presiden/Wakil Presiden (Pilpres) rakyat secara langsung memilih pasangan calon presiden/wakil presiden.

Pemilihan wakil rakyat tingkat pusat (DPR dan DPD), provinsi, hingga kabupaten/kota juga bersamaan dengan Pemilu Presiden/Wakil Presiden. Durasi waktu pencoblosan pun sama, cukup 1 hari. "Pemilu lima kotak suara" ini akan diselenggarakan pada tanggal 14 Februari 2024.

Begitu pula dengan tata cara penyelesaian perselisihan hasil pemilu, tetap mengacu pada UU No. 7 Tahun 2017. Tidak ada perubahan sehingga Mahkamah Konstitusi (MK) masih berwenang menangani perkara penyelesaian perselisihan hasil pemilu, baik pemilu anggota legislatif maupun Pemilu Presiden/Wakil Presiden.

Sementara itu, tata cara penyelesaian perselisihan hasil pemilihan kepala daerah (pilkada) ada perubahan setelah MK melalui putusannya Nomor 85/PUU-XX/2022 mengabulkan permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada) terkait dengan badan peradilan khusus yang menyelesaikan perkara perselisihan hasil pilkada.

Pemohon uji materi UU Pilkada adalah Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dalam hal ini diwakili oleh Khoirunnisa Nur Agustyati selaku Ketua Pengurus Yayasan Perludem dan Irmalidarti selaku Bendahara Pengurus Yayasan Perludem.

Semula Pemerintah dan DPR RI sudah menyiapkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 1/2015 tentang Penetapan Perpu Nomor 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi Undang-Undang. Hal ini terdapat dalam Daftar Perubahan Prolegnas RUU 2020—2024 pada nomor 160. Sejarah perubahan UU Nomor 1/2015 sebenarnya sudah tiga kali, yakni UU Nomor 8/2015, UU Nomor 10/2016, dan terakhir UU Nomor 6/2020.

Jika RUU tentang Pemilihan Umum tidak ditarik Daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) RUU Prioritas 2021, Pemerintah tidak perlu membentuk badan peradilan khusus. Pasalnya, dalam draf RUU Pemilu (pemutakhiran November 2020), perkara perselisihan penetapan perolehan suara tahap akhir hasil pemilihan diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Konstitusi.

Rancangan undang-undang itu menyatukan sekaligus merevisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan UU Pilkada, termasuk ketentuan pembentukan badan peradilan khusus sebelum pelaksanaan pemilihan serentak nasional pada tanggal 27 November 2024.

Adapun tata cara penyelesaian perselisihan hasil pemilu dalam draf RUU Pemilu diatur dalam Pasal 640 yang terdiri atas tujuh ayat.

Ayat (1) Dalam hal terjadi perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilu Presiden/Wakil Presiden, anggota DPR dan DPD, gubernur dan wakil gubernur, anggota DPRD provinsi, bupati dan wakil bupati/wali kota dan wakil wali kota, dan anggota DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud Pasal 639 ayat (1), pasangan calon presiden dan wakil presiden, partai politik peserta Pemilu Anggota DPR, calon anggota DPD, pasangan calon gubernur dan wakil gubernur, partai politik peserta pemilu anggota DPRD provinsi, pasangan calon bupati dan wakil bupati/wali kota dan wakil wali kota, dan partai politik peserta pemilu anggota DPRD kabupaten/kota dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan perolehan suara kepada Mahkamah Konstitusi.

Ayat (2) Pasangan calon presiden dan wakil presiden, partai politik peserta pemilu anggota DPR, calon anggota DPD, pasangan calon gubernur dan wakil gubernur, partai politik peserta pemilu anggota DPRD provinsi, pasangan calon bupati dan wakil bupati/wali kota dan wakil wali kota, dan partai politik peserta pemilu anggota DPRD kabupaten/kota mengajukan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 626 ayat (1) dan ayat (2) paling lama 3 x 24 (enam kali dua puluh empat) jam sejak diumumkan penetapan perolehan suara hasil pemilu.

Ayat (3) Dalam hal pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kurang lengkap, pemohon dapat memperbaiki dan melengkapi permohonan paling lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak diterimanya permohonan.

Ayat (4) Mahkamah Konstitusi memutus perselisihan hasil Pemilu Presiden/Wakil Presiden paling lama 14 (empat belas) hari sejak diterimanya permohonan keberatan oleh Mahkamah Konstitusi.

Ayat (5) KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota wajib menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi.

Ayat (6) Mahkamah Konstitusi menyampaikan putusan hasil penghitungan suara kepada:
a. Majelis Permusyawaratan Rakyat;
b. Presiden;
c. KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota;
d. Pasangan calon; dan
e. Partai politik atau gabungan partai politik yang mengajukan calon.

Ayat (7) Ketentuan lebih lanjut terkait dengan perselisihan hasil pemilu diatur dengan peraturan Mahkamah Konstitusi.

Karena tidak jadi direvisi, tata cara penyelesaian perselisihan hasil pemilu mengacu pada UU Nomor 7 Tahun 2017, yakni Pasal 474 dan Pasal 475.

Apabila tidak ada putusan MK Nomor 85/PUU-XX/2022 yang dibacakan pada hari Kamis, 29 September 2022, oleh sembilan hakim konstitusi, Pemerintah berpotensi melanggar undang-undang jika tidak mewujudkan pembentukan badan peradilan khusus.

Selain mencegah Pemerintah melanggar UU Pilkada, putusan MK ini lebih cepat ketimbang Pemerintah dan DPR RI membahas RUU Pemilu yang menyatukan UU Pilkada dan UU Pemilu. Pembahasan ini tentu akan berpotensi mengganggu penahapan Pemilu 2024 yang kini tengah berlangsung.

Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Putusan MK cegah Pemerintah langgar undang-undang

Pewarta : D.Dj. Kliwantoro
Editor : Teguh Imam Wibowo
Copyright © ANTARA 2024