Semarang (ANTARA) -
Menurut dia, kebijakan tersebut sangat tidak tepat ditengah geliat pemulihan ekonomi nasional sehingga perlu ditinjau ulang.
"Persentase, pengguna transportasi publik massal hanya sekitar 12 persen dari total yang menggunakan transportasi publik tidak massal dan transportasi pribadi sehingga bila ini diterapkan tidak akan berdampak terhadap kekebalan komunal, bahkan dampaknya pada perpindahan dari transportasi publik beralih ke transportasi pribadi dan berdampak macet, serta peningkatan kecelakaan di jalan raya," katanya melalui keterangan pers yang diterima di Semarang, Rabu.
Mantan Wakil Sekjen MTI Pusat itu mengungkapkan kebutuhan ekonomi masyarakat menjadi bertambah dan seharusnya pemerintah paham dengan adanya masyarakat menggunakan transportasi pribadi, maka perpindahan/pergerakan masyarakat semakin sulit dipantau, serta dikendalikan oleh pemerintah.
Seharusnya, lanjut Bambang, sebelum mengeluarkan kebijakan, pemerintah perlu melakukan kajian dan penelitian karena dapat dibuktikan jika booster bukan segala-galanya untuk mencegah COVID-19.
Terbukti di Indonesia yang mempunyai booster sampai dengan saat ini hanya 19 persen dari total penduduk 267juta jiwa pertambahan kasus sampai dengan tanggal 12 Juli 2022 tercatat 3.361 kasus per hari, sedangkan Taiwan yang sudah Booster 73 persen dari total penduduk 23 juta jiwa per tanggal 12 Juli 2022 tambahan kasus sebesar 28.972 kasus per hari.
Kemudian, Singapura yang sudah booster 74 persen dari 5 juta jiwa penduduk saat ini ada tambahan kasus sebesar 5.974 kasus per hari.
"Demikian bila di Indonesia, DKI Jakarta vaksin 1 dan 2 mendekati 100 persen, booster sudah lebih dari 40 persen dari jumlah penduduk 10,56 juta jiwa penambahan kasus sebesar 3.584 per hari," kata anggota DPR-RI periode 2014-2019 itu.
Bambang mengungkapkan, hampir seluruh negara di dunia tidak membutuhkan lagi sertifikat vaksin sebagai persyaratan menggunakan transportasi publik massal dalam negeri, sebagai contoh di Jepang bahkan yang tidak vaksinpun bisa menggunakan transportasi publik dengan tidak ada diskriminasi antara masyarakat yang bervaksin maupun yang tidak bervaksin.
"Saya yakin Menteri Perhubungan mengetahui itu karena baru satu bulan yang lalu berkunjung ke Jepang. Ada lagi di Australia juga tidak menggunakan sertifikat vaksin untuk naik transportasi publik massal dan bahkan pada tanggal 19 Juli 2022 Pemerintah Australia membebaskan turis masuk tanpa sertifikat vaksin," ujarnya.
Oleh karena itu, kebijakan persyaratan booster pada transportasi publik dicabut.
"Seharusnya pemerintah tidak menambahkan beban lagi kepada masyarakat dan pelaku usaha transportasi yang baru membangun ekonominya dari kehancuran akibat kebijakan pemerintah yang berhubungan dengan aturan COVID-19," kata Bambang Haryo.
Ketua Harian Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Bambang Haryo Soekartono mengkritisi kebijakan pemerintah yang mewajibkan syarat vaksin penguat (booster) bagi para pengguna transportasi publik merujuk Surat Edaran Satgas COVID-19 Nomor 21 dan 22 Tahun 2022.
Menurut dia, kebijakan tersebut sangat tidak tepat ditengah geliat pemulihan ekonomi nasional sehingga perlu ditinjau ulang.
Dirinya menyebut pengguna transportasi publik massal di Indonesia jumlahnya masih minim bila dibandingkan dengan transportasi online dan pribadi.
"Persentase, pengguna transportasi publik massal hanya sekitar 12 persen dari total yang menggunakan transportasi publik tidak massal dan transportasi pribadi sehingga bila ini diterapkan tidak akan berdampak terhadap kekebalan komunal, bahkan dampaknya pada perpindahan dari transportasi publik beralih ke transportasi pribadi dan berdampak macet, serta peningkatan kecelakaan di jalan raya," katanya melalui keterangan pers yang diterima di Semarang, Rabu.
Mantan Wakil Sekjen MTI Pusat itu mengungkapkan kebutuhan ekonomi masyarakat menjadi bertambah dan seharusnya pemerintah paham dengan adanya masyarakat menggunakan transportasi pribadi, maka perpindahan/pergerakan masyarakat semakin sulit dipantau, serta dikendalikan oleh pemerintah.
Seharusnya, lanjut Bambang, sebelum mengeluarkan kebijakan, pemerintah perlu melakukan kajian dan penelitian karena dapat dibuktikan jika booster bukan segala-galanya untuk mencegah COVID-19.
Terbukti di Indonesia yang mempunyai booster sampai dengan saat ini hanya 19 persen dari total penduduk 267juta jiwa pertambahan kasus sampai dengan tanggal 12 Juli 2022 tercatat 3.361 kasus per hari, sedangkan Taiwan yang sudah Booster 73 persen dari total penduduk 23 juta jiwa per tanggal 12 Juli 2022 tambahan kasus sebesar 28.972 kasus per hari.
Kemudian, Singapura yang sudah booster 74 persen dari 5 juta jiwa penduduk saat ini ada tambahan kasus sebesar 5.974 kasus per hari.
"Demikian bila di Indonesia, DKI Jakarta vaksin 1 dan 2 mendekati 100 persen, booster sudah lebih dari 40 persen dari jumlah penduduk 10,56 juta jiwa penambahan kasus sebesar 3.584 per hari," kata anggota DPR-RI periode 2014-2019 itu.
Bambang mengungkapkan, hampir seluruh negara di dunia tidak membutuhkan lagi sertifikat vaksin sebagai persyaratan menggunakan transportasi publik massal dalam negeri, sebagai contoh di Jepang bahkan yang tidak vaksinpun bisa menggunakan transportasi publik dengan tidak ada diskriminasi antara masyarakat yang bervaksin maupun yang tidak bervaksin.
"Saya yakin Menteri Perhubungan mengetahui itu karena baru satu bulan yang lalu berkunjung ke Jepang. Ada lagi di Australia juga tidak menggunakan sertifikat vaksin untuk naik transportasi publik massal dan bahkan pada tanggal 19 Juli 2022 Pemerintah Australia membebaskan turis masuk tanpa sertifikat vaksin," ujarnya.
Oleh karena itu, kebijakan persyaratan booster pada transportasi publik dicabut.
"Seharusnya pemerintah tidak menambahkan beban lagi kepada masyarakat dan pelaku usaha transportasi yang baru membangun ekonominya dari kehancuran akibat kebijakan pemerintah yang berhubungan dengan aturan COVID-19," kata Bambang Haryo.