Semarang (ANTARA) -
"Pemprov Jateng harus bisa mengawal kebijakan pendidikan, baik perencanaan penganggaran maupun koordinasi dengan para pemangku kepentingan," katanya di Semarang, Senin.
Politikus Partai Gerindra itu, menyebut setiap tahun setidaknya ada 45.000 anak di Jateng yang tidak sekolah atau putus sekolah karena permasalahan biaya.
Menurut dia, kasus putus sekolah paling banyak tercatat dialami anak SMA sederajat dengan salah satu faktor utama adalah masalah ekonomi masyarakat, apalagi di Jateng ada beberapa daerah yang masuk data sebagai wilayah dengan kemiskinan ekstrem.
"Hari ini, di Jateng usia 16—18 tahun yang seharusnya berada di bangku SMA sederajat, ternyata 67,9 persen tidak sekolah, cukup tinggi angkanya," ujarnya.
Menurut dia, tingginya kasus putus sekolah anak SMA sederajat itu akibat banyak yang lebih memilih bekerja, merantau, atau pilihan lain seperti pernikahan dini karena perekonomian orang tuanya merosot saat pandemi COVID-19.
Heri menyebut total ada 19 daerah yang masuk dalam prioritas kemiskinan ekstrem, namun pada 2022 tercatat ada lima daerah yang memiliki jumlah penduduk miskin ekstrem sehingga harus segera ditangani dengan cepat dan tepat.
Kelima daerah itu adalah Kabupaten Kebumen, Brebes, Banjarnegara, Pemalang, dan Banyumas.
Oleh karena itu, lanjut dia, Pemprov Jateng harus menggandeng sejumlah pihak untuk gotong royong menyelesaikan persoalan kemiskinan ekstrem pada beberapa daerah di Jateng guna mengantisipasi masalah tingginya angka putus sekolah.
"Pemprov memiliki tanggung jawab dan tugas untuk menurunkan kemiskinan ekstrem di antaranya tentang persoalan rumah yang tidak layak huni, penyediaan jamban atau sanitasi yang memadai, pemenuhan air bersih, akses pendidikan, akses kesehatan, dan penerangan atau listrik yang cukup," katanya.
Baca juga: Panduan belajar masa pandemi harus antisipasi angka putus sekolah
Baca juga: Kemenkumham catat puluhan anak di Jateng putus sekolah saat jalani hukuman
Wakil Ketua DPRD Jawa Tengah Heri Pudyatmoko meminta agar tingginya angka anak putus sekolah menjadi perhatian pemerintah provinsi setempat dan instansi terkait.
"Pemprov Jateng harus bisa mengawal kebijakan pendidikan, baik perencanaan penganggaran maupun koordinasi dengan para pemangku kepentingan," katanya di Semarang, Senin.
Politikus Partai Gerindra itu, menyebut setiap tahun setidaknya ada 45.000 anak di Jateng yang tidak sekolah atau putus sekolah karena permasalahan biaya.
Menurut dia, kasus putus sekolah paling banyak tercatat dialami anak SMA sederajat dengan salah satu faktor utama adalah masalah ekonomi masyarakat, apalagi di Jateng ada beberapa daerah yang masuk data sebagai wilayah dengan kemiskinan ekstrem.
"Hari ini, di Jateng usia 16—18 tahun yang seharusnya berada di bangku SMA sederajat, ternyata 67,9 persen tidak sekolah, cukup tinggi angkanya," ujarnya.
Menurut dia, tingginya kasus putus sekolah anak SMA sederajat itu akibat banyak yang lebih memilih bekerja, merantau, atau pilihan lain seperti pernikahan dini karena perekonomian orang tuanya merosot saat pandemi COVID-19.
Heri menyebut total ada 19 daerah yang masuk dalam prioritas kemiskinan ekstrem, namun pada 2022 tercatat ada lima daerah yang memiliki jumlah penduduk miskin ekstrem sehingga harus segera ditangani dengan cepat dan tepat.
Kelima daerah itu adalah Kabupaten Kebumen, Brebes, Banjarnegara, Pemalang, dan Banyumas.
Oleh karena itu, lanjut dia, Pemprov Jateng harus menggandeng sejumlah pihak untuk gotong royong menyelesaikan persoalan kemiskinan ekstrem pada beberapa daerah di Jateng guna mengantisipasi masalah tingginya angka putus sekolah.
"Pemprov memiliki tanggung jawab dan tugas untuk menurunkan kemiskinan ekstrem di antaranya tentang persoalan rumah yang tidak layak huni, penyediaan jamban atau sanitasi yang memadai, pemenuhan air bersih, akses pendidikan, akses kesehatan, dan penerangan atau listrik yang cukup," katanya.
Baca juga: Panduan belajar masa pandemi harus antisipasi angka putus sekolah
Baca juga: Kemenkumham catat puluhan anak di Jateng putus sekolah saat jalani hukuman