Semarang (ANTARA) - Vonis nihil terhadap Presiden Komisaris PT Trada Alam Minera Heru Hidayat terkait dengan kasus korupsi PT Asabri mengundang reaksi berbagai pihak. Bahkan, Jaksa Agung Republik Indonesia Sanitiar Burhanuddin langsung memerintahkan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) untuk mengajukan banding atas putusan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta.
Vonis yang dibacakan Ignatius Eko Purwanto selaku ketua majelis hakim, Selasa (18/1), sontak mengundang perdebatan hukum meski putusan ini selaras dengan Pasal 67 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam pasal ini disebutkan bahwa jika orang dijatuhi pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, di samping itu tidak boleh dijatuhkan pidana lain lagi kecuali pencabutan hak-hak tertentu, dan pengumuman putusan hakim.
Sejumlah pihak menilai putusan itu kurang memenuhi rasa keadilan walau dalam vonis nihil ini ada kewajiban terdakwa Heru Hidayat membayar uang pengganti senilai Rp12,643 triliun dalam perkara korupsi PT Asabri dan tindak pidana pencucian uang.
Adapun landasan hukumnya adalah Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam KUHAP Pasal 193 (1) disebutkan bahwa jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana.
Dalam perkara korupsi Asabri, majelis hakim menyatakan terdakwa Heru Hidayat terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana turut serta melakukan korupsi sebagaimana dakwaan kesatu primer dan pencucian uang sebagaimana dakwaan kedua primer.
Sebelumnya, Heru Hidayat divonis penjara seumur hidup dalam perkara tindak pidana korupsi PT Jiwasraya yang sudah berkekuatan hukum tetap (inkrah). Dalam kasus ini kerugian negara sebesar Rp16,807 triliun, sedangkan kasus Asabri kerugian negara sebesar Rp22,7 triliun tetapi hukumannya nihil.
Kendati demikian, semua pihak harus menghormati vonis majelis hakim. Jika tidak puas atas putusan tersebut, jalur sudah tersedia untuk melakukan upaya hukum. Apabila kejaksaan mengajukan banding, majelis hakim di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang kelak memutuskannya.
Vonis yang dibacakan Ignatius Eko Purwanto selaku ketua majelis hakim, Selasa (18/1), sontak mengundang perdebatan hukum meski putusan ini selaras dengan Pasal 67 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam pasal ini disebutkan bahwa jika orang dijatuhi pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, di samping itu tidak boleh dijatuhkan pidana lain lagi kecuali pencabutan hak-hak tertentu, dan pengumuman putusan hakim.
Sejumlah pihak menilai putusan itu kurang memenuhi rasa keadilan walau dalam vonis nihil ini ada kewajiban terdakwa Heru Hidayat membayar uang pengganti senilai Rp12,643 triliun dalam perkara korupsi PT Asabri dan tindak pidana pencucian uang.
Adapun landasan hukumnya adalah Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam KUHAP Pasal 193 (1) disebutkan bahwa jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana.
Dalam perkara korupsi Asabri, majelis hakim menyatakan terdakwa Heru Hidayat terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana turut serta melakukan korupsi sebagaimana dakwaan kesatu primer dan pencucian uang sebagaimana dakwaan kedua primer.
Sebelumnya, Heru Hidayat divonis penjara seumur hidup dalam perkara tindak pidana korupsi PT Jiwasraya yang sudah berkekuatan hukum tetap (inkrah). Dalam kasus ini kerugian negara sebesar Rp16,807 triliun, sedangkan kasus Asabri kerugian negara sebesar Rp22,7 triliun tetapi hukumannya nihil.
Kendati demikian, semua pihak harus menghormati vonis majelis hakim. Jika tidak puas atas putusan tersebut, jalur sudah tersedia untuk melakukan upaya hukum. Apabila kejaksaan mengajukan banding, majelis hakim di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang kelak memutuskannya.