Semarang (ANTARA) - Indonesia saat ini mengalami bonus demografi penduduk muda. Berdasarkan hasil sensus yang dilansir Badan Pusat Statistik pada 2021, jumlah penduduk muda kategori Generasi Z (8-23 tahun) mencapai 75,49 juta jiwa atau 27,94 persen, sedangkan peringkat kedua kategori Generasi Millenial (24-39 tahun) mencapai 69,38 juta jiwa atau 25,87 persen (Kompas.com, 21/1/2021).

Dalam konteks politik dan demokrasi, generasi muda sebenarnya merupakan aset yang luar biasa. Akan tetapi, secara empiris saat ini generasi muda di Indonesia sering kali lebih memilih untuk abai terhadap isu-isu perpolitikan termasuk isu yang berkaitan dengan kepemiluan. Padahal seluruh aspek kehidupan yang melingkupi hidup mereka dari segala aspek merupakan produk dari keputusan politik.

Situasi ini jauh berbeda dengan kondisi generasi pada zaman kemerdekaan, di mana anak-anak muda, seperti Soekarno dan Hatta, sudah berbicara perpolitikan Indonesia pada usia 20 tahunan.

Hal ini terjadi karena banyak faktor, salah satunya minimnya kebijakan politik negara yang bernas dan sistematis untuk memfasilitasi dan memberdayakan kaum muda sebagai calon pemimpin  pada masa mendatang dalam konteks demokrasi dan perpolitikan.

Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) melalui progaram Sekolah Kader Pengawas Partisipatif (SKPP) sudah memulai melibatkan kaum muda untuk secara langsung dalam isu-isu kebangsaan, demokrasi, kepemiluan terutama berkaitan dengan pengawasan partisipatif.

Program ini telah dirintis Bawaslu pada 2018 dan berlanjut pada tahun-tahun berikutnya hingga 2021. SKPP mendapat apresiasi positif dari publik dan pemerintah sehingga pada 2021 menjadi salah satu program unggulan nasional Badan Perencanaan Nasional (Bappenas).

Secara kuantitas jumlah alumni SKPP sejak 2018 hingga 2021 sekitar 2.000 orang. Dengan jumlah sebesar ini, jika alumni SKPP sebagai bagian dari digital native komit dengan idealisme yang dibangun selama mengikuti pendidikan, itu bisa menjadi gerakan pengawas partisipatif yang luar biasa  terutama di dunia maya yang akan mengubah wajah demokrasi di Indonesia.

Namun permasalahannya sering kali idealisme alumni SKPP meredup seiring berakhirnya forum-forum pembelajaran SKPP akibat tergerus aktivitas personal setelah masa pembelajaran selesai.


Peduli isu kepemiluan
Sekolah kader pengawas partisipatif merupakan model pendidikan kreatif untuk generasi muda. Pola pendidikannya substansial, menyenangkan, dan mudah dicerna oleh peserta yang rata-rata berusia 20 tahunan.

Diformat dalam bentuk pendidikan andragogi (pola pendidikan orang dewasa), SKPP merupakan bentuk pendidikan politik yang menganjurkan anak muda untuk mencintai negara melalui  pengawasan pemilu, membangun nasionalisme dengan cara-cara yang menyenangkan, kekinian, inovatif, dan dekat dengan teknologi komunikasi.

Perspektif yang ditanamkan kepada peserta SKPP bahwa anak muda kekinian itu harus eksis di ruang-ruang publik. Peduli terhadap isu-isu demokrasi terutama isu-isu kepemiluan dan lebih jauh dari itu mempunyai kontribusi nyata dalam ikut merawat demokrasi di negeri ini.

Implementasinya bisa ditempuh dengan banyak saluran, misalnya, melalui sosialisasi kepada komunitas, pemengaruh (influencer), pencipta konten kreatif sosial media (creative content creator on social media), menjadi pemantau pemilu atau mendirikan komunitas independen yang peduli dalam pengawasan pemilu partisipatif.

Meskipun berbeda konteks, dari Negeri Abang Sam (AS) kita bisa belajar bagaimana kekuatan anak muda yang dikomandoi oleh Chris Hughes mampu memenangkan Presiden Barack Obama pada Pemilihan Presiden Amerika Serikat 2008. Mengutip Yohan Wahyu dalam buku Anak Muda dan Masa Depan Indonesia, Chris Hughes sebagai direktur pengorganisasian urusan online mampu  mengorganisasi dukungan masa melalui upaya upaya online yang dikendalikan dari my.barackobama.com. 

Alat-alat digital yang digunakan pada situs jejaring sosial membantu membentuk komunitas online beranggotakan lebih dari 1 juta orang. Tiap individu dalam komunitas online mengorganisasikan diri secara aktif untuk membagi informasi, membuat pawai-pawai, hingga menggalang dukungan dana. 

Gerakan kampanye online yang bersifat crowdsourcing dan crowdfunding ini pada akhirnya mampu mengalahkan Hillary Clinton yang telah diprediksi akan menang dan didukung dana kampanye yang besar serta tim kampanye yang berpengalaman dengan metode konvensional pada pemilu presiden tahun-tahun sebelumnya.

Contoh empiris di atas membuktikan bahwa anak muda dengan kemampuan  digital medianya, jika terkonsolidasi secara matang, sistematis, masif, dan mempunyai proyeksi ke depan yang terukur sebagai tujuan yang hendak dicapai bersama, bakal mampu menjadi kekuatan baru yang luar biasa. 

Spirit kesukarelawanan
Harapan mencetak alumni SKPP Bawaslu menjadi lokomotif bagi gerakan pengawas partisipatif di Indonesia sejatinya bukan di awang-awang atau hyper-reality jika semangat kesukarelawanan yang dibangun dalam forum-forum pembelajaran SKPP tetap terjaga meskipun masa pembelajaran selesai.

Spirit nilai-nilai kesukarelawanan yang bisa diadaptasi oleh alumni SKPP bisa diambil dari banyak lembaga/gerakan sosial di Indonesia. Salah satunya, contoh empiris yang bisa dijadikan bahan pembelajaran bersama yaitu sukarelawan politik pada pilkada/Pemilihan Presiden. 

Sukarelawan politik mulai muncul di Indonesia pada pemilihan kepala daerah DKI Jakarta tahun 2012. Saat itu Jokowi-Ahok didukung oleh sukarelawan Jokowi Ahok Social Media Volunteers (Jasmev). Kesuksesan ini akhirnya diduplikasi pada pilkada serentak selanjutnya di Jawa Tengah yang mengusung Ganjar Pranowo-Heru Sudjatmoko yang didukung oleh relawan Garuda. Selanjutnya gerakan relawan ini juga tumbuh pada Pemilihan Presiden 2014 dan 2019 dan saat ini juga mulai muncul gerakan relawan calon presiden tahun 2024. (Kompas, 5/10/2021)

Hal yang unik dan menarik untuk dicermati bahwa gerakan relawan politik di Indonesia yang sukses memenangkan pasangan calonnya justru relawan yang terbentuk secara alami bukan rekayasa politik. Mereka tidak berhenti sekadar deklarasi melainkan melakukan kerja-kerja konkret melakukan kampanye secara langsung maupun di media sosial seperti yang dilakukan oleh Chris Hughes.

Di beberapa daerah gerakan pengawasan partisipatif dari alumni SKPP memang bergeliat namun belum masif. Gerakan pengawasan partisipatif ini diformat dalam bentuk-bentuk pencipta konten di beberapa platform media sosial seperti Instagram, Facebook, dan Tiktok. Misalnya garasi.bawaslukendal yang cukup aktif di sosial media.

Contoh lainnya adalah sosialisasi pengawasan partisipatif kepada komunitas-komunitas. Seperti yang dilakukan oleh Ikatan Alumni SKPP kota Semarang (I-Kapas) yang pada pilkada 2020 aktif melakukan sosialisasi secara langsung kepada pemilih dengan pendampingan dan dukungan anggaran dari Bawaslu Kota Semarang. 

Untuk memaksimalkan gerakan pengawas partisipatif alumni SKPP, para pihak terkait, misalnya, pemerintah melalui Kesbangpol tingkat provinsi dan kabupaten/kota bisa menjalin kerja sama dengan Bawaslu provinsi atau Bawaslu kabupaten/kota untuk melakukan pembinaan alumni SKPP. Tujuannya, agar gerakan anak-anak muda yang telah dididik di SKPP ini lebih terarah, sistematis, masif, dan memberi corak baru bagi wajah demokrasi di Indonesia.***

Penulis adalah anggota Bawaslu Kota Semarang dan fasilitator SKPP tingkat dasar dan menengah Provinsi Jawa Tengah.












 

Pewarta : Nining Susanti*
Editor : Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024