Magelang (ANTARA) - Kalangan seniman petani Komunitas Lima Gunung menghadapi kesulitan menggelar festival tahunan mereka, bukan sekadar karena pandemi saat ini yang riskan penularan COVID-19 jika terjadi kerumunan massa.

Patokan penting penyelenggaraan festival, jangan sampai komunitas seniman petani kawasan Gunung Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah itu, menorehkan catatan festival mereka sebagai klaster penularan virus corona baru.

Festival Lima Gunung selama ini digelar komunitas secara mandiri, mengandalkan modal sosial, budaya, ekonomi warga dusun dan gunung.

Baca juga: Biarkan berisik cerita satwa bikin mental sehat!

Mereka berfestival tahunan dengan tak meminta-minta sumbangan sponsor, pengusaha, dan pemerintah. Oleh karena pandemi, mereka saat ini memperoleh kesadaran yang baik bahwa festival mengandalkan proposal pendanaan menghadapi beban berat untuk kelanjutan sebagai tradisi berfestival, bahkan macet.

Tahun ini, Komunitas Lima Gunung menyelenggarakan festival ke-20 dengan tema besar "Peradaban Desa". Dalam dua tahun terakhir, mereka menempuh jalan tak mudah menggelar festival bukan karena pendanaan, namun karena harus mengelolanya dengan cermat dan bersiasat agar tidak menimbulkan penularan virus.

Komunitas berkehendak tradisi tahunan berfestival menjadi catatan memori ketangguhan seniman berbasis pertanian, sebagaimana masyarakat dusun dan gunung yang tangguh berkerabat dengan pertanian, lingkungan, dan alamnya dalam berbagai situasi.

"Kami tidak ingin pagebluk, tetapi karena COVID-19, muncul karya baru, pikiran baru. Festival kita menjadi tidak monoton. Kita menyapa alam mencari panggung pementasan menjadi karya baru, tontonan baru, pemandangan baru, format kesenian baru," kata salah satu tokoh utama Komunitas Lima Gunung Sitras Anjilin.

Budayawan Magelang yang juga perintis Komunitas Lima Gunung Sutanto Mendut menyebut festival itu bagian dari komunitas yang "manjing ing kahanan", kira-kira maksudnya sebagai kesadaran yang mumpuni bahwa hidup manusia di tengah pandemi harus bisa menjadi bagian keadaan.

Festival Lima Gunung pun harus bersiasat dengan perkembangan tak menentu pandemi. Ia ulang-ulang pesannya itu kepada para tokoh utama komunitas untuk berhati-hati menggelar festival di tengah pandemi.

Meskipun saat ini perkembangan penularan pandemi sedang melandai, mereka tak ingin gegabah, apalagi euforia menggelar festivalnya. Presiden Joko Widodo berpesan kepada masyarakat untuk tidak euforia beraktivitas karena penularan COVID-19 masih mengintip, terlebih adanya varian baru.

Baca juga: FLG 2021 digelar di lahan hortikultura Gunung Andong

Ketua Komunitas Lima Gunung Supadi Haryanto mengemukakan tentang pentingnya agenda seni budaya itu tetap berlangsung dalam berbagai keadaan. Situasi apapun dijadikan tantangan untuk tradisi berfestival secara cermat tetap berlangsung.

"Kita pikirkan dengan matang caranya bisa tetap mengadakan festival," ucapnya.

Sebelum pandemi, Festival Lima Gunung menghadirkan massa dalam jumlah ratusan ribu hingga ribuan orang. Penyelenggaraan biasanya tiga hari dua malam dengan seluruh rangkaian secara komplet bisa seminggu hingga sebulan.

Festival setiap tahun digelar dengan tempat berpindah-pindah di dusun-dusun basis komunitas itu, seperti Dusun Tutup Ngisor (kawasan Gunung Merapi), Gejayan dan Warangan (Merbabu), Mantran Wetan (Gunung Andong), Krandegan (Gunung Sumbing), dan Studio Mendut (Pegunungan Menoreh), serta Keron (Gunung Merapi-Merbabu).

Mereka yang menonton, berpentas, atau berpameran karya seni pada festival, selain pegiat Komunitas Lima Gunung juga jejaringnya kalangan seniman, pekerja seni, budayawan, peneliti seni-budaya, dari berbagai kota di Indonesia dan luar negeri, serta kalangan perguruan tinggi dan sekolah.

Gubernur Jateng Ganjar Pranowo pernah tiba-tiba hadir dalam festival mereka di tengah sawah, ketika Dusun Keron sebagai tuan rumah pada 2016.

Wajah dan sajian festival di tengah pandemi, disadari dengan baik oleh komunitas, tak bisa lagi digelar sebagaimana sebelum pandemi. Selain melalui pembicaraan para tokoh komunitas, mereka juga menyerap referensi lainnya, seperti tradisi merti dusun, pementasan virtual, dan hamburan kabar kegiatan seni budaya di media sosial.

"Pandemi tidak menutup komunitas menyelenggarakan Festival Lima Gunung. Makanya festival kami dengan protokol kesehatan," kata Supadi ketika putaran kelima Festival Lima Gunung XX/2021 di lahan hortikultura Dusun Mantran Wetan, Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang berlatar belakang Gunung Andong, Minggu (10/10).

Festival tahun lalu yang juga tahun pertama pademi, selama Agustus-November 2020 dengan 10 putaran dimulai dari Dusun Krandegan (Gunung Sumbing) dan diakhiri di Candi Pendem (Gunung Merapi), sedangkan tahun ini mulai Mei 2021 di mata air Tlompak Dusun Gejayan (Gunung Merbabu) dan hingga Minggu (10/10) sebagai putaran kelima di kawasan Gunung Andong. Komunitas belum memutuskan kapan festival tahun ini berakhir.

Penyebaran informasi tentang rencana festival tidak secara terbuka. Mereka yang direkomendasi, baik seniman, wartawan, fotografer, tamu undangan khusus, untuk hadir akan dikabari secara perseorangan oleh tokoh komunitas yang ditentukan khusus. Bahkan, tidak semua warga dusun tuan rumah festival pun --dengan pendekatan pemuka masyarakat-- diizinkan mendekat arena pergelaran, untuk mencegah kerumunan.

Mereka yang akan hadir harus memberikan konfirmasi seketika dihubungi secara person. Detail informasi festival melalui berbagai poster kreatif diunggah ke medsos satu atau dua jam sebelum acara berlangsung.

Dalang wayang dari Kota Magelang, Susilo Anggoro, nampak bisa memaklumi ketika dirinya menyadari tak tahu putaran kelima festival itu berlangsung. Pada beberapa kali putaran festival sebelumnya, Ketua Persatuan Pedalangan Indonesia (Pepadi) Kota Magelang itu, datang.
  Seseorang dengan gawai memotret Ketua Komunitas Lima Gunung Supadi Haryanto berpidato pada putaran kelima Festival Lima Gunung XX/2021 di lahan sayuran Dusun Mantran Wetan, Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Minggu (10/10/2021). (ANTARA/Hari Atmoko)

Satu di antara lima putaran festival tahun ini kedatangan sejumlah fotografer dari luar kota, wartawan, serta beberapa tamu tak diundang. Hal itu, membuat para tokoh komunitas mengevaluasi sungguh-sungguh supaya tak terulang lagi dalam lanjutan festival mereka.

Upaya persiapan penyelenggaraan salah satu putaran festival yang dirancang untuk diselenggarakan diam-diam dan terbatas agar tak menghadirkan kerumunan orang itu, ternyata informasinya merembes keluar komunitas. Namun demikian, komunitas tak hendak menjatuhkan kesalahan siapa pun penyebab festival bocor sebelum waktunya.

Mereka yang hadir tak diundang di festival di tengah pandemi, bisa dipastikan menjadi bahan merumpi dan perasanan para tokoh komunitas dikaitkan dengan tataran kesadaran adaptasi kebiasaan baru di tengah pandemi. Kebiasaan komunitas menghadapi selip paham itu dengan menyebut, "Ojo dibahas", maksudnya tidak diomong berkepanjangan atau dimaklumi.

Inspirasi

Slamet Riyadi, kepala Desa Girirejo dengan salah satu wilayahnya Dusun Mantran Wetan, menyebut festival itu menjadikan masyarakatnya sebagai inspirasi tentang aktivitas di tengah pandemi yang harus taat prokes.

Dalam festival di wilayah desanya itu, para seniman petani antara lain arak-arakan secara tertib, berjarak, dan bermasker melewati jalan dusun dan jalan setapak hingga areal pertanian hortikultura yang menjadi panggung festival. Jumlah mereka sekitar 50 orang.

Mereka yang ikut festival, antara lain seniman Sanggar Andong Jinawi Mantran Wetan, Sanggar Dom Sunthil Warangan, Sedalu Art and Culture Community Boyolali, New Asmara Entertain Secang, dan sejumlah penari dari beberapa tempat, seperti Nungky Nur Cahyani (Purwarejo) dan Venny (Subang). Seluruh rangkaian acara selama sekitar dua jam, mulai pukul 09.00-11.00 WIB.

Para seniman mementaskan tarian, kidungan doa, performa gerak seni, pembacaan puisi diiringi tabuhan gamelan, serta pidato kebudayaan di tempat pementasan beralas tanah pertanian yang di sekitarnya terdapat tiga mata air, yakni Ngrowo, Tulangan, dan Curah.

"Karena Festival Lima Gunung, masyarakat kami menjadi inspirasi," ucap Slamet yang masa mudanya menjadi seniman ketoprak.

Setelah mengemukakan bahwa tempat festival di areal pertanian sayuran itu sebagai "panggung rahmatan lil alamin", Sutanto Mendut memberi kesempatan siapa saja yang hadir mereguk rahmat semesta menggunakan kamera standar dan gawai, untuk mengabadikan dan kemudian mengunggah pertunjukan itu ke akun medsos masing-masing.

Mereka dibiarkan "berbocor-bocor" mengambil sudut pemotretan objek dari berbagai tempat, bahkan di atas "panggung rahmatan lil alamin", untuk melahirkan ide dan inspirasi secara bebas melalui festival tersebut. Istilah "gambar bocor" familier dalam dunia fotografi.

Ihwal demikian juga sering dilakukan Sutanto Mendut kepada para mahasiswa pascasarjana yang mengikuti mata kuliah tentang eksplorasi dan kebebasan yang diampunnya di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.

Tak berapa lama usai festival, terutama kalangan pegiat Komunitas Lima Gunung, menghadirkan unggahan karya-karya foto dan video dari festival itu ke berbagai akun medsos masing-masing.

Mereka tak lagi menahan diri agar festival tak bocor, tetapi memberikan banjir kabar tradisi festival tahunan tetap dijalani komunitas.

Seakan-akan sesi pementasan dengan hasil foto-foto dan rekaman video "bocor" itu hendak mengatakan tentang pentingnya kecermatan dan intuisi setiap orang menghadapi perubahan keadaan silih berganti secara cepat, sebagaimana subtema "Disrupsi Desa Kontemporer Tradisi Maya", dalam putaran kelima festival itu.

Baca juga: Puisi Rendra di memori energi Festival Lima Gunung
Baca juga: Hukum wajib "manjing ing kahanan"

Pewarta : M. Hari Atmoko
Editor : Mahmudah
Copyright © ANTARA 2024