Magelang (ANTARA) - Dengan kedua telapak tangannya, penyair Komunitas Lima Gunung Haris Kertorahardjo (Lie Thian Hauw) seakan hendak menahan air mata yang merayapi wajahnya, setelah membaca puisi "gurunya", W.S. Rendra, "Barangkali Karena Bulan", di tebing Kali Gendu.
Di bebatuan sungai di Dusun Warangan, Desa Muneng Warangan, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, di kawasan Gunung Merbabu itu, Minggu (12/9), para seniman petani Komunitas Lima Gunung menggelar lanjutan Festival Lima Gunung XX/2021.
Kuasa langit di atas dusun di kawasan Gunung Merbabu seakan menyilakan mereka, 25 seniman, melaksanakan putaran kegita festival dengan menerapkan protokol kesehatan untuk mencegah penularan COVID-19.
Baca juga: Hukum wajib "manjing ing kahanan"
Gerimis berhenti ketika para seniman tiba di sungai itu setelah melakukan kirab sekitar 200 meter melewati jalan setapak dari pendopo Sanggar Dom Sunthil yang dikelola oleh Handoko, seniman anggota Komunitas Lima Gunung di dusun setempat, dengan iringan tetabuhan alat musik tradisional.
Putaran pertama festival tahun ini berlangsung di sumber air Tlompak Dusun Gejayan, Desa Banyusidi, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang, pada 21 Mei 2021. Putaran keduanya digelar di areal persawahan Dusun Sudimoro, Desa Baleagung, Kecamatan Grabag, Kabupaten Magelang, pada 29 Agustus 2021.
Festival Lima Gunung tahun ini tidak diketahui hingga kapan rampungnya. Komunitas yang dirintis dengan inspirasi pemikiran budayawan Sutanto Mendut itu pada masa pandemi menggelar putaran festival dengan mempertimbangkan kondisi penularan COVID-19 yang menjadi acuan pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan mengenai pembatasan aktivitas masyarakat.
Dalam situasi pandemi, tahun lalu komunitas menggelar festival seni budaya hingga 10 putaran di tempat yang berbeda.
Pembukaan festival dilakukan di kawasan Gunung Sumbing Dusun Krandegan, Desa Sukomakmur, Kecamatan Kajoran, Kabupaten Magelang, dan penutupannya berlangsung di Candi Pendem di kawasan Gunung Merapi di Desa Sengi, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang.
Festival tahun lalu dianggap lumayan. Jaya Suprana, pengelola Museum Rekor Dunia Indonesia, memberikan penghargaan Rekor MURI karena Komunitas Lima Gunung pada tahun pertama pandemi COVID-19 dipandang sukses membuat pementasan tarian tradisional dan performa seni dengan para seniman menari di dak rumah-rumah warga Krandegan, dusun di kawasan Gunung Sumbing.
Pementasan itu menjadi simbol edukasi warga desa untuk menerapkan protokol kesehatan, khususnya tentang jaga jarak, bahwa jaga jarak ternyata tak menyurutkan suka ria batin komunitas saat berkesenian.
"Semedhot (terharu), teringat masa lalu," ujar Haris usai membacakan puisi karya Rendra.
Selembar kertas berisi salinan puisi "Barangkali Karena Bulan" kemudian diberikan kepada ANTARA. Haris telah menyimpan lembaran khusus puisi itu dalam rupa ketikan dengan tanda tangan sang penyair, "gurunya".
Dalam berbagai kesempatan Rendra berkunjung ke Magelang, "muridnya" yang saat ini menjadi salah satu manajer perusahaan kontraktor selalu mengurus segala keperluannya, termasuk menjadi sopir "sang guru" menuju ke tempat-tempat acara seni budaya. Haris juga menemani Rendra menikmati kuliner "senerek" di tengah Pasar Rejowinangun di Kota Magelang.
Ia simpan dengan baik koleksi puisi-puisi Rendra di rumahnya di kompleks perumahan elite Kota Magelang. Melekat pula di benak Haris latar belakang narasi puisi-puisi penyair besar Indonesia yang mangkat pada 2009 dalam usia 74 tahun itu.
Puisi empat bait "Barangkali Karena Bulan" ditulis Rendra ketika menghadiri Festival Lima Gunung II pada Juli 2003 di Dusun Warangan.
Dusun Warangan, yang sebagian besar warganya bertani dan berternak serta mengolah hasil pertanian, tercatat empat kali menjadi tuan rumah festival karya Komunitas Lima Gunung.
Peradaban Desa
Tema festival ke-20 Komunitas Lima Gunung tahun ini "Peradaban Desa".
Dalam putaran ketiga festival tahun ini, di atas tebaran bebatuan Sungai Gendu dengan kekhasan lobang batu kali mirip telapak kuda yang disebut warga sebagai "Tapak Jaran Sembrani" (telapak kaki kuda terbang), mereka menjalani ritual doa dipimpin oleh sesepuh dusun, Jumo (70).
Dalam doa itu, mereka memohon keselamatan dari pandemi, kemudahan rejeki sehari-hari, kesehatan, dan kebebasan dari berbagai bala.
Ada juga sajian kolaborasi performa seni, bunyi, tembang, dan tarian tradisional "Soreng" dalam durasi singkat diiringi tabuhan musik dari pegiat seni Sanggar Dom Sunthil dan pembacaan puisi "Barangkali Karena Bulan" oleh Haris.
Keseluruhan isi puisi Rendra itu seperti berbicara tentang alam raya, keajaiban, dan jalinan dengan hidup manusia, lingkungan alam, cinta manusia, dan spiritualitas kehidupan.
"Kristal-kristal harapan dan keinginan berkilat-kilat hanyut di air kali. Membentur batu-batu yang tidur. Gairah kerja di siang hari, di malam purnama menjadi gelora asmara. Kerna bintang-bintang, pohon tanjung, angin, dan serangga malam," demikian bait ketiga puisi itu.
Tabuhan bende, beduk, truntung, kentongan, serta suara seniman yang menirukan suara satwa dan bunyi batu-batuan yang mereka mainkan mengiringi Haris membacakan "Barangkali Karena Bulan".
Pembacaan puisi itu bagaikan menimpali pidato kebudayaan yang disampaikan oleh Sutanto Mendut, yang menyebut tentang kehadiran legenda penyair besar Indonesia di Warangan kala itu.
"Satu puisi Rendra lahir di sini. Puisi Rendra lahir dari proses yang sangat biologis dan sastrawan. Di sini (Warangan) menggetarkan. Pelajaran getaran dari Allah SWT. Ini luar biasa," ujar Tanto, yang mulai datang ke dusun di kawasan Gunung Merbabu itu sejak 1998.
Penyair Komunitas Lima Gunung Haris Kertorahardjo membacakan puisi "Barangkali Karena Bulan" (2003) karya W.S. Renda pada putaran ketiga Festival Lima Gunung XX/2021 di Sungai Gendu Dusun Warangan, Desa Muneng Warangan, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Minggu (12/9/2021). (ANTARA/Hari Atmoko)
Dalam pidatonya, Tanto juga mengungkap kekayaan budaya pertanian dan lingkungan alam, energi berkesenian warga sejak masa lampau, tradisi masyarakat, termasuk konflik sosial dan kebiasaan "rerasanan" (merumpi) di antara warga, ilmu kesejahteraan dan kebatinan. Disebut juga tentang keunikan makam leluhur dusun dengan lanskap gunung setempat.
Nama "Warangan" untuk dusun tersebut menurut dia berkaitan dengan purifikasi dalam jalan hidup spiritual manusia.
"Saya tergetar-getar setiap datang ke sini. Jadi kenapa warangan? Saya curiga apakah di sini tempat keris, kalau dari kata 'warangan' itu pembersihan, purifikasi, jamas," kata Tanto.
Getaran energi dusun itu dia katakan sebagai suatu ihwal penting yang membuat dia menggelar Festival Lima Gunung pertama pada 2002 di Warangan.
Pergelaran festival terus berlanjut setiap tahun, dan hingga kali ini sebagai tahun ke-20, tak pernah putus meski harus dengan cermat dan hati-hati karena masih dihadang tantangan pandemi.
Oleh karena pandemi, festival mereka memang diusahakan dengan serius tidak lagi menyedot penonton bukan hanya dari luar kota dan luar negeri, bahkan warga desa setempat pun tidak dikehendaki hadir.
Tidak juga dibuat panggung megah untuk pementasan grup-grup kesenian siang-malam dan tidak ada instalasi seni dengan rupa-rupa bahan alami eksotiknya untuk dusun tuan rumah festival, yang menjadi kekhasan Komunitas Lima Gunung sebelum pandemi.
Dengan anggota seniman petani yang umumnya belum familier dengan penyiaran langsung pementasan, komunitas itu menggelar festival tanpa penonton.
Di tengah berbagai pembatasan dalam berkegiatan pada masa pandemi, mereka menggelar festival sebagai jalan tirakat untuk memahami makna nilai-nilai hidup manusia sekaligus memperkuat kesadaran mengenai pentingnya adaptasi agar bisa beraktivitas semasa pandemi.
Para seniman yang berfestival bukan sekadar berbincang tentang jalan berkesenian dan "lelakon" tradisi desa, tetapi juga soal vaksinasi dan ragam kisah refleksi hidup pada masa pandemi.
Memang agak sulit memahami kebijakan komunitas melarang warga mendekati tempat festival di tengah pandemi, sementara memori mereka terhadap pergelaran seni budaya itu telah mendalam.
Cara paling gampang memang meniadakan aktivitas, tidak menyelenggarakan festival, atau menggelar pentas seni secara virtual agar tidak mengundang kerumunan orang karena berisiko menimbulkan penularan virus.
Akan tetapi, komunitas berbasis seniman petani gunung tersebut tidak memilih jalan gampang.
Melalui jalan festival yang menjadi tak mudah karena pandemi, mereka hendak menebar inspirasi, kesadaran baru tentang pentingnya energi nilai-nilai sosial-budaya yang dihidupi selama ini untuk berjalan bersama dalam ruang, situasi, serta terpaan angin apa pun.
Boleh jadi di situlah titik sasaran penting tema "Peradaban Desa" dalam festival mereka tahun ini, sebagaimana sang penyair menghadirkannya menjadi "Kristal-kristal harapan dan keinginan berkilat-kilat hanyut di air kali. Membentur batu-batu yang tidur".
Setiap rampung seputaran festival, para tokoh komunitas berkomunikasi untuk mengevaluasi pergelaran dan penerapan protokol kesehatan sebagai pijakan lebih cermat untuk menghadirkan lanjutan energi festival batin mereka.
Baca juga: Telaah - Keteladanan hidup altruisme Riyadi, tokoh Komunitas Lima Gunung
Baca juga: Festival Lima Gunung kala pandemi ungkap eksistensi seniman-petani
Baca juga: Gending budaya hidup sehat terus dirajut
Di bebatuan sungai di Dusun Warangan, Desa Muneng Warangan, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, di kawasan Gunung Merbabu itu, Minggu (12/9), para seniman petani Komunitas Lima Gunung menggelar lanjutan Festival Lima Gunung XX/2021.
Kuasa langit di atas dusun di kawasan Gunung Merbabu seakan menyilakan mereka, 25 seniman, melaksanakan putaran kegita festival dengan menerapkan protokol kesehatan untuk mencegah penularan COVID-19.
Baca juga: Hukum wajib "manjing ing kahanan"
Gerimis berhenti ketika para seniman tiba di sungai itu setelah melakukan kirab sekitar 200 meter melewati jalan setapak dari pendopo Sanggar Dom Sunthil yang dikelola oleh Handoko, seniman anggota Komunitas Lima Gunung di dusun setempat, dengan iringan tetabuhan alat musik tradisional.
Putaran pertama festival tahun ini berlangsung di sumber air Tlompak Dusun Gejayan, Desa Banyusidi, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang, pada 21 Mei 2021. Putaran keduanya digelar di areal persawahan Dusun Sudimoro, Desa Baleagung, Kecamatan Grabag, Kabupaten Magelang, pada 29 Agustus 2021.
Festival Lima Gunung tahun ini tidak diketahui hingga kapan rampungnya. Komunitas yang dirintis dengan inspirasi pemikiran budayawan Sutanto Mendut itu pada masa pandemi menggelar putaran festival dengan mempertimbangkan kondisi penularan COVID-19 yang menjadi acuan pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan mengenai pembatasan aktivitas masyarakat.
Dalam situasi pandemi, tahun lalu komunitas menggelar festival seni budaya hingga 10 putaran di tempat yang berbeda.
Pembukaan festival dilakukan di kawasan Gunung Sumbing Dusun Krandegan, Desa Sukomakmur, Kecamatan Kajoran, Kabupaten Magelang, dan penutupannya berlangsung di Candi Pendem di kawasan Gunung Merapi di Desa Sengi, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang.
Festival tahun lalu dianggap lumayan. Jaya Suprana, pengelola Museum Rekor Dunia Indonesia, memberikan penghargaan Rekor MURI karena Komunitas Lima Gunung pada tahun pertama pandemi COVID-19 dipandang sukses membuat pementasan tarian tradisional dan performa seni dengan para seniman menari di dak rumah-rumah warga Krandegan, dusun di kawasan Gunung Sumbing.
Pementasan itu menjadi simbol edukasi warga desa untuk menerapkan protokol kesehatan, khususnya tentang jaga jarak, bahwa jaga jarak ternyata tak menyurutkan suka ria batin komunitas saat berkesenian.
"Semedhot (terharu), teringat masa lalu," ujar Haris usai membacakan puisi karya Rendra.
Selembar kertas berisi salinan puisi "Barangkali Karena Bulan" kemudian diberikan kepada ANTARA. Haris telah menyimpan lembaran khusus puisi itu dalam rupa ketikan dengan tanda tangan sang penyair, "gurunya".
Dalam berbagai kesempatan Rendra berkunjung ke Magelang, "muridnya" yang saat ini menjadi salah satu manajer perusahaan kontraktor selalu mengurus segala keperluannya, termasuk menjadi sopir "sang guru" menuju ke tempat-tempat acara seni budaya. Haris juga menemani Rendra menikmati kuliner "senerek" di tengah Pasar Rejowinangun di Kota Magelang.
Ia simpan dengan baik koleksi puisi-puisi Rendra di rumahnya di kompleks perumahan elite Kota Magelang. Melekat pula di benak Haris latar belakang narasi puisi-puisi penyair besar Indonesia yang mangkat pada 2009 dalam usia 74 tahun itu.
Puisi empat bait "Barangkali Karena Bulan" ditulis Rendra ketika menghadiri Festival Lima Gunung II pada Juli 2003 di Dusun Warangan.
Dusun Warangan, yang sebagian besar warganya bertani dan berternak serta mengolah hasil pertanian, tercatat empat kali menjadi tuan rumah festival karya Komunitas Lima Gunung.
Peradaban Desa
Tema festival ke-20 Komunitas Lima Gunung tahun ini "Peradaban Desa".
Dalam putaran ketiga festival tahun ini, di atas tebaran bebatuan Sungai Gendu dengan kekhasan lobang batu kali mirip telapak kuda yang disebut warga sebagai "Tapak Jaran Sembrani" (telapak kaki kuda terbang), mereka menjalani ritual doa dipimpin oleh sesepuh dusun, Jumo (70).
Dalam doa itu, mereka memohon keselamatan dari pandemi, kemudahan rejeki sehari-hari, kesehatan, dan kebebasan dari berbagai bala.
Ada juga sajian kolaborasi performa seni, bunyi, tembang, dan tarian tradisional "Soreng" dalam durasi singkat diiringi tabuhan musik dari pegiat seni Sanggar Dom Sunthil dan pembacaan puisi "Barangkali Karena Bulan" oleh Haris.
Keseluruhan isi puisi Rendra itu seperti berbicara tentang alam raya, keajaiban, dan jalinan dengan hidup manusia, lingkungan alam, cinta manusia, dan spiritualitas kehidupan.
"Kristal-kristal harapan dan keinginan berkilat-kilat hanyut di air kali. Membentur batu-batu yang tidur. Gairah kerja di siang hari, di malam purnama menjadi gelora asmara. Kerna bintang-bintang, pohon tanjung, angin, dan serangga malam," demikian bait ketiga puisi itu.
Tabuhan bende, beduk, truntung, kentongan, serta suara seniman yang menirukan suara satwa dan bunyi batu-batuan yang mereka mainkan mengiringi Haris membacakan "Barangkali Karena Bulan".
Pembacaan puisi itu bagaikan menimpali pidato kebudayaan yang disampaikan oleh Sutanto Mendut, yang menyebut tentang kehadiran legenda penyair besar Indonesia di Warangan kala itu.
"Satu puisi Rendra lahir di sini. Puisi Rendra lahir dari proses yang sangat biologis dan sastrawan. Di sini (Warangan) menggetarkan. Pelajaran getaran dari Allah SWT. Ini luar biasa," ujar Tanto, yang mulai datang ke dusun di kawasan Gunung Merbabu itu sejak 1998.
Dalam pidatonya, Tanto juga mengungkap kekayaan budaya pertanian dan lingkungan alam, energi berkesenian warga sejak masa lampau, tradisi masyarakat, termasuk konflik sosial dan kebiasaan "rerasanan" (merumpi) di antara warga, ilmu kesejahteraan dan kebatinan. Disebut juga tentang keunikan makam leluhur dusun dengan lanskap gunung setempat.
Nama "Warangan" untuk dusun tersebut menurut dia berkaitan dengan purifikasi dalam jalan hidup spiritual manusia.
"Saya tergetar-getar setiap datang ke sini. Jadi kenapa warangan? Saya curiga apakah di sini tempat keris, kalau dari kata 'warangan' itu pembersihan, purifikasi, jamas," kata Tanto.
Getaran energi dusun itu dia katakan sebagai suatu ihwal penting yang membuat dia menggelar Festival Lima Gunung pertama pada 2002 di Warangan.
Pergelaran festival terus berlanjut setiap tahun, dan hingga kali ini sebagai tahun ke-20, tak pernah putus meski harus dengan cermat dan hati-hati karena masih dihadang tantangan pandemi.
Oleh karena pandemi, festival mereka memang diusahakan dengan serius tidak lagi menyedot penonton bukan hanya dari luar kota dan luar negeri, bahkan warga desa setempat pun tidak dikehendaki hadir.
Tidak juga dibuat panggung megah untuk pementasan grup-grup kesenian siang-malam dan tidak ada instalasi seni dengan rupa-rupa bahan alami eksotiknya untuk dusun tuan rumah festival, yang menjadi kekhasan Komunitas Lima Gunung sebelum pandemi.
Dengan anggota seniman petani yang umumnya belum familier dengan penyiaran langsung pementasan, komunitas itu menggelar festival tanpa penonton.
Di tengah berbagai pembatasan dalam berkegiatan pada masa pandemi, mereka menggelar festival sebagai jalan tirakat untuk memahami makna nilai-nilai hidup manusia sekaligus memperkuat kesadaran mengenai pentingnya adaptasi agar bisa beraktivitas semasa pandemi.
Para seniman yang berfestival bukan sekadar berbincang tentang jalan berkesenian dan "lelakon" tradisi desa, tetapi juga soal vaksinasi dan ragam kisah refleksi hidup pada masa pandemi.
Memang agak sulit memahami kebijakan komunitas melarang warga mendekati tempat festival di tengah pandemi, sementara memori mereka terhadap pergelaran seni budaya itu telah mendalam.
Cara paling gampang memang meniadakan aktivitas, tidak menyelenggarakan festival, atau menggelar pentas seni secara virtual agar tidak mengundang kerumunan orang karena berisiko menimbulkan penularan virus.
Akan tetapi, komunitas berbasis seniman petani gunung tersebut tidak memilih jalan gampang.
Melalui jalan festival yang menjadi tak mudah karena pandemi, mereka hendak menebar inspirasi, kesadaran baru tentang pentingnya energi nilai-nilai sosial-budaya yang dihidupi selama ini untuk berjalan bersama dalam ruang, situasi, serta terpaan angin apa pun.
Boleh jadi di situlah titik sasaran penting tema "Peradaban Desa" dalam festival mereka tahun ini, sebagaimana sang penyair menghadirkannya menjadi "Kristal-kristal harapan dan keinginan berkilat-kilat hanyut di air kali. Membentur batu-batu yang tidur".
Setiap rampung seputaran festival, para tokoh komunitas berkomunikasi untuk mengevaluasi pergelaran dan penerapan protokol kesehatan sebagai pijakan lebih cermat untuk menghadirkan lanjutan energi festival batin mereka.
Baca juga: Telaah - Keteladanan hidup altruisme Riyadi, tokoh Komunitas Lima Gunung
Baca juga: Festival Lima Gunung kala pandemi ungkap eksistensi seniman-petani
Baca juga: Gending budaya hidup sehat terus dirajut