Pekalongan (ANTARA) - Bupati Pekalongan Asip Kholbihi menyampaikan bahwa amal baik bagi wartawan berada dalam etika menuliskan kabar atau berita yang sesuai dengan fakta.

"Amal baiknya wartawan adalah ada di dalam etika menulis sebuah berita kebenaran. Jika pembaca (masyarakat, red.) menyakini apa yang telah dibaca, kemudian mengamalkanya maka wartawan akan mendapat pahala yang luar biasa dan sebaliknya akan mendapat ganjaran," katanya saat acara pelantikan Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kabupaten Pekalongan di Pekalongan, Senin.

Menurut dia, sekali seorang wartawan menulis berita bohong, kemudian kabar itu dipercaya masyarakat bahwa hal itu suatu kebenaran maka pertanggungjawabannya sampai akhirat.

Baca juga: Ketua PWI Jateng: Tak ada alasan wartawan takut ikuti UKW

"Sekali tulisannya diyakini (kabar itu sebuah kebenaran, red.) padahal itu adalah bohong maka pertanggungjawabannya sampai akhirat. Adapun cara untuk menebusnya adalah dengan memberikan hak jawab," katanya.

Asip Kholbihi mengatakan seorang wartawan harus menjunjung tinggi profesionalisme saat bertugas dalam rangka menyampaikan fakta.

"Hal itu untuk menghindari subjektivitas dalam membuat berita. Jika pun itu ada opini maka jangan sampai merusak fakta yang ada, itu hal yang penting," katanya.

Demikian pula, kata dia, pemerintah atau pejabat juga harus siap dikritik dan menampung keluhan dari wartawan.

"Kita harus elegan sebagai figur yang siap dikritik, siap menerima keluhan (masyarakat, red.) yang ditampung oleh wartawan. Kami siap menjalankan pemerintah yang terbuka dan transparan sehingga saat melayani masyarakat tanpa beban," katanya.

Ketua PWI Jawa Tengah Amir Machmud menekankan pada pengurus maupun PWI di wilayah Jateng perlunya menumbuhkan rasa membangun bangsa dan frasa tanggung jawab kebangsaan.

"Dua hal itu, selalu saya tekankan dan kampanye setiap kali berbicara di hadapan kawan-kawan pengurus maupun bukan yang pengurus PWI di wilayah Jateng,' katanya.

Menurut dia, masalah tanggung jawab sosial atau kebangsaan secara tersurat tidak didapatkan dalam rumusan kode etik maupun Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

"Akan tetapi di dalam aturan itu masalah tanggung jawab sosial maupun kebangsaan tersirat dan justru menjadi jiwa (roh, red.) dari pemahaman kita baik di dalam kode etik jurnalistik maupun undang-undang pers," katanya.

Ia mengatakan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers menandai peralihan yang ekstrem dari Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1982 yang menjadi jiwa dari kehidupan pers di era pemerintahan Orde Baru.

"(Kenapa, red.) menjadi ekstrem karena Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 yang ditandatangani oleh Presiden B.J. Habibie ini membuka sekat tentang kebuntuan penyampaian informasi pada sebuah rezim saat itu yang mencekam pada pekerja media yang sama sekali tidak ada kebebasan dan tidak ada akses informasi yang cukup bagi masyarakat," katanya.

Baca juga: Wali kota ajak wartawan ikut promosikan Kota Magelang
Baca juga: Wartawan Tempo dianiaya, PBHI duga ada keterlibatan oknum polisi

Pewarta : Kutnadi
Editor : Mahmudah
Copyright © ANTARA 2024