Magelang (ANTARA) - Sesepuh warga dusun di kawasan Gunung Sumbing, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, itu makin berumur, sedangkan sakitnya selama beberapa tahun terakhir telah membuat ia tak mampu lagi berbicara.
Ia menuliskan kalimat pendek di secarik kertas, ketika para tokoh seniman petani Komunitas Lima Gunung sowan menjelang petang pada hari festival di dusun itu.
Sumarno, nama sesepuh tersebut, umurnya 76 tahun. Selama puluhan tahun, ia menjadi Kepala Dusun Krandegan, Desa Sukomakmur, Kecamatan Kajoran, di kawasan Gunung Sumbing itu.
Ia juga pernah cukup lama memimpin Sanggar Wargo Budoyo Sumbing dengan anggotanya warga petani setempat, dan sekaligus salah satu sesepuh Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh) Kabupaten Magelang.
Mungkin seluruh memorinya sebagai bagian pemimpin Komunitas Lima Gunung bergemuruh bagai kemeriahan maknawi atas berbagai pementasan dijalani komunitas seniman petani yang namanya mendunia itu.
Sesekali, ia sesenggukan, berlinang air mata, dan terkesan berjuang keras untuk merampungkan tulisan pendek dengan baris tak beraturan di atas kertas berpojok robek.
Hawa makin dingin di luar rumahnya di kawasan Gunung Sumbing menjelang petang, Minggu (9/8), usai pembukaan Festival Lima Gunung Ke-19, seperti mengantarkan campur aduk perasaan Sumarno merampungkan tulisan pendek itu.
Sumarno lalu menyandarkan punggungnya di kursi dikelilingi para tokoh komunitas. Kaca matanya yang tebal tak menghalangi sorot matanya untuk saksama menyimak Ketua Komunitas Lima Gunung Supadi Haryanto membacakan tulisan itu.
"'Kulo sampun dangu mboten saget nulis. Lima Gunung. FLG 2020. Minggu Pahing. (Saya sudah lama tidak lancar menulis karena sakit. Komunitas Lima Gunung. Festival Lima Gunung 2020, Minggu, 9 Agustus 2020, red.)'," begitu tulisan singkat dengan tanda tangan dan namanya tertera "Sumarno".
Tulisan itu selanjutnya akan dipajang di Museum Lima Gunung di Studio Mendut, Kabupaten Magelang, yang menjadi pusat aktivitas kebudayaan Komunitas Lima Gunung dan sekaligus tempat tinggal budayawan dan perintis terbangunnya komunitas itu, Sutanto Mendut.
Para tokoh, termasuk Sutanto Mendut, bertepuk tangan setelah mendengar tulisan Sumarno dibacakan. Senyum Sumarno mengembang. Ia nampak "mongkog", berbesar hati, dan bangga atas komunitas yang tetap menggelar Festival Lima Gunung hingga tahun ini.
Festival seni budaya secara mandiri tersebut, kali ini sebagai ke-19 tahun, diselenggarakan dengan menerapkan secara protokol kesehatan karena terjadi pandemi COVID-19. Penyelenggaraan festival bagaikan meniti suasana masyarakat di tengah pandemi.
Tema festival pun dieratkan dengan upaya bersama semua orang untuk mencegah penularan virus corona jenis baru yang menyerang secara global itu, "Donga Slamet, Waspada Virus Dunia".
Festival tahun ini, tidak seperti tahun-tahun sebelumnya dengan penonton berkerumun dan berdesak-desakan di sekitar panggung pementasan.
Panitia festival dengan ketuanya yang juga pimpinan Sanggar Wargo Budoyo Sumbing dan perangkat desa setempat, Juwahir Sarwo Edi Wibowo, tahun ini mengelola agenda kebudayaan komunitas itu sedemikian serius agar tidak terjadi kerumunan orang.
Warga juga diwajibkan mengenakan masker dan jaga jarak supaya terhindar dari penularan virus. Sejumlah anggota Banser dan Linmas desa setempat memastikan tak terjadi kerumunan massa itu. Mereka menonton pementasan dari atap "dak" (cor semen) rumah dan teras rumah-rumah warga.
Begitu pula dengan para pementas. Pada tahun ini, komunitas tidak membolehkan berbagai kelompok seniman jejaringnya di luar kota dan luar negeri hadir dalam festival demi mencegah penyebaran virus.
Publikasi melalui poster aneka kreasi diunggah ke platfom berbagai media sosial, satu jam sebelum pembukaan festival tanpa sponsor dan donatur itu, alias mengandalkan dinamika kekuatan warga desa dan komunitas.
Mereka yang menampilkan pementasan dibatasi hanya sejumlah kelompok kesenian dusun setempat. Dengan tempat berjarak di beberapa "dak" rumah-rumah warga, secara bersama-sama mereka pentaskan kesenian, antara lain topeng ireng, beksa wanara arga, sendratari argo sumbing, kuda lumping, warok. Total penari, kiranya tak sampai 50 orang.
Beberapa seniman Komunitas Lima Gunung berperforma gerak dengan judul "Kebersamaan Indonesia Raya" di salah satu "dak" rumah warga lainnya, salah satu di antara mereka mengibarkan bendera Merah Putih dalam performa seni itu.
Tabuhan musik gamelan untuk tarian lengger (kesenian khas dan turun temurun warga Krandegan) disajikan dari panggung utama pembukaan festival di "dak" rumah warga lainnya. Iringan gamelan itu menyertai sejumlah kesenian berpentas bersama-sama di berbagai "dak" rumah warga kawasan Gunung Sumbing.
Sejumlah pegiat komunitas itu yang lainnya, pegiat Komunitas Pinggir Kali Kota Magelang yang selama pandemi membuat acara siaran langsung melalui kanal Youtube dengan nama "Njo Thethek Njo", dan beberapa warga setempat lainnya, melakukan siaran langsung melalui platform media sosial masing-masing.
Budayawan Tanto Mendut dalam beberapa kali pertemuan dengan komunitasnya, menyebut Festival Lima Gunung tahun ini secara virtual di dunia maya, dengan penonton masyarakat dunia karena pandemi global.
Sarwo Edi menyebut kepastian pembukaan festival diputuskan secara mendadak, dua hari sebelum Minggu (9/8).
Demikian juga agenda lanjutan festival itu yang terus digarap tanpa diketahui waktu usai, konten, dan tempatnya. Hal itu, sebagaimana refleksi atas pandemi virus yang terasa tak kunjung rampung.
Jalan
Tema yang diusung dalam festival, "Donga Slamet Waspada Virus Dunia", sebagai bagian dari jalan yang ditempuh komunitas itu secara takzim untuk terhindar penularan virus.
Melalui tema itu, selain menyelenggarakan festival dengan menerapkan protokol kesehatan, mereka juga melakukan pabrikasi doa, pengharapan, solidaritas, dan empati sosial-budaya lokal atas dampak pandemi.
Sejumlah tokoh komunitas yang didaulat pidato, pada umumnya menyerukan pentingnya masyarakat desa dan gunung, tetap bersemangat menghidupi kesenian dan menjalani gerakan kebudayaan dengan menaati protokol kesehatan yang telah dibuat pemerintah.
"Komunitas Lima Gunung tetap bersyukur karena sampai saat ini terhindari dari COVID-19. Waspada akan tetap diteruskan. Festival kali ini ungkapan doa supaya terbebas dari virus dan penularan virus segera bisa diatasi," katanya.
Mereka mengangkat doa untuk keselamatan dan kewaspadaan atas serangan pandemi melalui ritual jalan kaki, menyusuri jalan kampung menuju makam Kiai dan Nyai Dipodrono, cikal bakal Dusun Krandegan di dekat gedung Sanggar Wargo Budoyo Sumbing. Prosesi dilanjutkan ke petilasan sosok spiritual atau danyang dusun setempat, "Eyang Gadhung Mlati" dan "Tledhek Meyek".
Seorang sesepuh dusun, Waryanto, memimpin prosesi diikuti, antara lain budayawan Sutanto Mendut, ketua dan seorang sesepuh komunitas, masing-masing Supadi Haryanto dan Sitras Anjilin.
Para tokoh komunitas lainnya yang ikut dalam prosesi doa dengan membawa bendera Merah Putih, bunga mawar merah-putih, kemenyan, dan dupa itu, antara lain Riyadi, Sujono Keron, Haris Kertorahardjo, Endah Pertiwi, Lyra de Blauw, Ismanto, Pangadi, dan Handoko.
Seniman Brian Trinanda Kusuma Adi, Zulfikar, dan Munir Syalala mengiringi pembakaran kemenyan oleh Waryanto dan pembacaan doa serta tahlil yang dilafalkan Supadi di makam dan petilasan tersebut, dengan garapan musik Celempung (Sunda), Sagiling Bulau (Kalimantan Tengah), dan Seruling (Jawa).
Sejumlah tokoh melakukan ritual doa di petilasan di Dusun Krandegan, Desa Sukomakmur, Kecamatan Kajoran, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah di kawasan Gunung Sumbing saat pembukaan Festival Lima Gunung Ke-19 di tengah pandemi COVID-19, Minggu (9/8/2020). (ANTARA/Hari Atmoko)
Tembang Macapat langgam Dhandhanggula juga dilantunkan Supadi saat penghujung pembukaan festival.
"'Ciptaningsung mring Kang Maha Suci. Tata lahir ndoya lan ndelahan. Diwaspada piyandele. Mulyane Kang Maha Agung. Yo den udi kawruhing batin. Ciptane manungsatama. Tata titi tutuk. Dimen kanggo patuladhan. Mula kanca ayo pada amarsudi. Yo den udi kabudayan," begitu syair tembang itu.
Kira-kira pemaknaan bebasnya, bahwa manusia diciptakan Tuhan melalui kelahiran dalam tatanan dunia dan akhirat. Ia harus selalu memperkuat kepercayaan kepada Yang Maha Mulia, dengan banyak menimba ilmu serta mengasah batin, sehingga menjadi manusia utama dan teladan. Manusia diajak bersama-sama berupaya membangun kebudayaan.
Syair tembang itu bagaikan menempatkan manusia ciptaan Yang Maha Kuasa itu, beroleh multidaya dalam menghadapi pandemi COVID-19. Syair itu, seakan juga menjadi bagian nuansa mozaik atas suasana para perempuan Komunitas Lima Gunung secara bergantian menabuh gong, penanda pembukaan festival.
Vibrasi tabuhan gong gede mereka terkesan mengantar khusyuk "Donga Slamet Waspada Virus Dunia" itu menembus awan di puncak Gunung Sumbing dan kemudian melesat ke langit tertinggi, mencapai Sang Ilahi.
Harapan Komunitas Lima Gunung melalui doa tersebut, boleh kiranya dipastikan menjadi harapan semua orang pada abad ini, yang dengan segala daya berjuang menghadapi serangan virus.
Tahun ini, yakni Festival Lima Gunung Ke-19, tetap mereka gelar meski terjadi pandemi COVID-19. Atas kesamaan angka tahun festival dan jenis virus corona baru itu tentu bukanlah klenik.
Akan tetapi, "Donga Slamet Waspada Virus Dunia" harapannya menjadi bagian kekuatan jalan ijabah-Nya hadir.
Ia menuliskan kalimat pendek di secarik kertas, ketika para tokoh seniman petani Komunitas Lima Gunung sowan menjelang petang pada hari festival di dusun itu.
Sumarno, nama sesepuh tersebut, umurnya 76 tahun. Selama puluhan tahun, ia menjadi Kepala Dusun Krandegan, Desa Sukomakmur, Kecamatan Kajoran, di kawasan Gunung Sumbing itu.
Ia juga pernah cukup lama memimpin Sanggar Wargo Budoyo Sumbing dengan anggotanya warga petani setempat, dan sekaligus salah satu sesepuh Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh) Kabupaten Magelang.
Mungkin seluruh memorinya sebagai bagian pemimpin Komunitas Lima Gunung bergemuruh bagai kemeriahan maknawi atas berbagai pementasan dijalani komunitas seniman petani yang namanya mendunia itu.
Sesekali, ia sesenggukan, berlinang air mata, dan terkesan berjuang keras untuk merampungkan tulisan pendek dengan baris tak beraturan di atas kertas berpojok robek.
Hawa makin dingin di luar rumahnya di kawasan Gunung Sumbing menjelang petang, Minggu (9/8), usai pembukaan Festival Lima Gunung Ke-19, seperti mengantarkan campur aduk perasaan Sumarno merampungkan tulisan pendek itu.
Sumarno lalu menyandarkan punggungnya di kursi dikelilingi para tokoh komunitas. Kaca matanya yang tebal tak menghalangi sorot matanya untuk saksama menyimak Ketua Komunitas Lima Gunung Supadi Haryanto membacakan tulisan itu.
"'Kulo sampun dangu mboten saget nulis. Lima Gunung. FLG 2020. Minggu Pahing. (Saya sudah lama tidak lancar menulis karena sakit. Komunitas Lima Gunung. Festival Lima Gunung 2020, Minggu, 9 Agustus 2020, red.)'," begitu tulisan singkat dengan tanda tangan dan namanya tertera "Sumarno".
Tulisan itu selanjutnya akan dipajang di Museum Lima Gunung di Studio Mendut, Kabupaten Magelang, yang menjadi pusat aktivitas kebudayaan Komunitas Lima Gunung dan sekaligus tempat tinggal budayawan dan perintis terbangunnya komunitas itu, Sutanto Mendut.
Para tokoh, termasuk Sutanto Mendut, bertepuk tangan setelah mendengar tulisan Sumarno dibacakan. Senyum Sumarno mengembang. Ia nampak "mongkog", berbesar hati, dan bangga atas komunitas yang tetap menggelar Festival Lima Gunung hingga tahun ini.
Festival seni budaya secara mandiri tersebut, kali ini sebagai ke-19 tahun, diselenggarakan dengan menerapkan secara protokol kesehatan karena terjadi pandemi COVID-19. Penyelenggaraan festival bagaikan meniti suasana masyarakat di tengah pandemi.
Tema festival pun dieratkan dengan upaya bersama semua orang untuk mencegah penularan virus corona jenis baru yang menyerang secara global itu, "Donga Slamet, Waspada Virus Dunia".
Festival tahun ini, tidak seperti tahun-tahun sebelumnya dengan penonton berkerumun dan berdesak-desakan di sekitar panggung pementasan.
Panitia festival dengan ketuanya yang juga pimpinan Sanggar Wargo Budoyo Sumbing dan perangkat desa setempat, Juwahir Sarwo Edi Wibowo, tahun ini mengelola agenda kebudayaan komunitas itu sedemikian serius agar tidak terjadi kerumunan orang.
Warga juga diwajibkan mengenakan masker dan jaga jarak supaya terhindar dari penularan virus. Sejumlah anggota Banser dan Linmas desa setempat memastikan tak terjadi kerumunan massa itu. Mereka menonton pementasan dari atap "dak" (cor semen) rumah dan teras rumah-rumah warga.
Begitu pula dengan para pementas. Pada tahun ini, komunitas tidak membolehkan berbagai kelompok seniman jejaringnya di luar kota dan luar negeri hadir dalam festival demi mencegah penyebaran virus.
Publikasi melalui poster aneka kreasi diunggah ke platfom berbagai media sosial, satu jam sebelum pembukaan festival tanpa sponsor dan donatur itu, alias mengandalkan dinamika kekuatan warga desa dan komunitas.
Mereka yang menampilkan pementasan dibatasi hanya sejumlah kelompok kesenian dusun setempat. Dengan tempat berjarak di beberapa "dak" rumah-rumah warga, secara bersama-sama mereka pentaskan kesenian, antara lain topeng ireng, beksa wanara arga, sendratari argo sumbing, kuda lumping, warok. Total penari, kiranya tak sampai 50 orang.
Beberapa seniman Komunitas Lima Gunung berperforma gerak dengan judul "Kebersamaan Indonesia Raya" di salah satu "dak" rumah warga lainnya, salah satu di antara mereka mengibarkan bendera Merah Putih dalam performa seni itu.
Tabuhan musik gamelan untuk tarian lengger (kesenian khas dan turun temurun warga Krandegan) disajikan dari panggung utama pembukaan festival di "dak" rumah warga lainnya. Iringan gamelan itu menyertai sejumlah kesenian berpentas bersama-sama di berbagai "dak" rumah warga kawasan Gunung Sumbing.
Sejumlah pegiat komunitas itu yang lainnya, pegiat Komunitas Pinggir Kali Kota Magelang yang selama pandemi membuat acara siaran langsung melalui kanal Youtube dengan nama "Njo Thethek Njo", dan beberapa warga setempat lainnya, melakukan siaran langsung melalui platform media sosial masing-masing.
Budayawan Tanto Mendut dalam beberapa kali pertemuan dengan komunitasnya, menyebut Festival Lima Gunung tahun ini secara virtual di dunia maya, dengan penonton masyarakat dunia karena pandemi global.
Sarwo Edi menyebut kepastian pembukaan festival diputuskan secara mendadak, dua hari sebelum Minggu (9/8).
Demikian juga agenda lanjutan festival itu yang terus digarap tanpa diketahui waktu usai, konten, dan tempatnya. Hal itu, sebagaimana refleksi atas pandemi virus yang terasa tak kunjung rampung.
Jalan
Tema yang diusung dalam festival, "Donga Slamet Waspada Virus Dunia", sebagai bagian dari jalan yang ditempuh komunitas itu secara takzim untuk terhindar penularan virus.
Melalui tema itu, selain menyelenggarakan festival dengan menerapkan protokol kesehatan, mereka juga melakukan pabrikasi doa, pengharapan, solidaritas, dan empati sosial-budaya lokal atas dampak pandemi.
Sejumlah tokoh komunitas yang didaulat pidato, pada umumnya menyerukan pentingnya masyarakat desa dan gunung, tetap bersemangat menghidupi kesenian dan menjalani gerakan kebudayaan dengan menaati protokol kesehatan yang telah dibuat pemerintah.
"Komunitas Lima Gunung tetap bersyukur karena sampai saat ini terhindari dari COVID-19. Waspada akan tetap diteruskan. Festival kali ini ungkapan doa supaya terbebas dari virus dan penularan virus segera bisa diatasi," katanya.
Mereka mengangkat doa untuk keselamatan dan kewaspadaan atas serangan pandemi melalui ritual jalan kaki, menyusuri jalan kampung menuju makam Kiai dan Nyai Dipodrono, cikal bakal Dusun Krandegan di dekat gedung Sanggar Wargo Budoyo Sumbing. Prosesi dilanjutkan ke petilasan sosok spiritual atau danyang dusun setempat, "Eyang Gadhung Mlati" dan "Tledhek Meyek".
Seorang sesepuh dusun, Waryanto, memimpin prosesi diikuti, antara lain budayawan Sutanto Mendut, ketua dan seorang sesepuh komunitas, masing-masing Supadi Haryanto dan Sitras Anjilin.
Para tokoh komunitas lainnya yang ikut dalam prosesi doa dengan membawa bendera Merah Putih, bunga mawar merah-putih, kemenyan, dan dupa itu, antara lain Riyadi, Sujono Keron, Haris Kertorahardjo, Endah Pertiwi, Lyra de Blauw, Ismanto, Pangadi, dan Handoko.
Seniman Brian Trinanda Kusuma Adi, Zulfikar, dan Munir Syalala mengiringi pembakaran kemenyan oleh Waryanto dan pembacaan doa serta tahlil yang dilafalkan Supadi di makam dan petilasan tersebut, dengan garapan musik Celempung (Sunda), Sagiling Bulau (Kalimantan Tengah), dan Seruling (Jawa).
Tembang Macapat langgam Dhandhanggula juga dilantunkan Supadi saat penghujung pembukaan festival.
"'Ciptaningsung mring Kang Maha Suci. Tata lahir ndoya lan ndelahan. Diwaspada piyandele. Mulyane Kang Maha Agung. Yo den udi kawruhing batin. Ciptane manungsatama. Tata titi tutuk. Dimen kanggo patuladhan. Mula kanca ayo pada amarsudi. Yo den udi kabudayan," begitu syair tembang itu.
Kira-kira pemaknaan bebasnya, bahwa manusia diciptakan Tuhan melalui kelahiran dalam tatanan dunia dan akhirat. Ia harus selalu memperkuat kepercayaan kepada Yang Maha Mulia, dengan banyak menimba ilmu serta mengasah batin, sehingga menjadi manusia utama dan teladan. Manusia diajak bersama-sama berupaya membangun kebudayaan.
Syair tembang itu bagaikan menempatkan manusia ciptaan Yang Maha Kuasa itu, beroleh multidaya dalam menghadapi pandemi COVID-19. Syair itu, seakan juga menjadi bagian nuansa mozaik atas suasana para perempuan Komunitas Lima Gunung secara bergantian menabuh gong, penanda pembukaan festival.
Vibrasi tabuhan gong gede mereka terkesan mengantar khusyuk "Donga Slamet Waspada Virus Dunia" itu menembus awan di puncak Gunung Sumbing dan kemudian melesat ke langit tertinggi, mencapai Sang Ilahi.
Harapan Komunitas Lima Gunung melalui doa tersebut, boleh kiranya dipastikan menjadi harapan semua orang pada abad ini, yang dengan segala daya berjuang menghadapi serangan virus.
Tahun ini, yakni Festival Lima Gunung Ke-19, tetap mereka gelar meski terjadi pandemi COVID-19. Atas kesamaan angka tahun festival dan jenis virus corona baru itu tentu bukanlah klenik.
Akan tetapi, "Donga Slamet Waspada Virus Dunia" harapannya menjadi bagian kekuatan jalan ijabah-Nya hadir.