Solo (ANTARA) - Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) digugat ke pengadilan karena mengeluarkan kebijakan Permenkumham Nomor 10 Tahun 2020 tentang Asimilasi bagi 37.000 narapidana (napi) se-Indonesia yang dinilai memunculkan keresahan masyarakat.
Lembaga swadaya masyarakat (LSM) yakni Yayasan Mega Bintang, Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), dan Lembaga Pengawasan dan Pengawalan Penegakan Hukum (LP3H) melakukan upaya hukum agar kebijakan Kemenham itu dicabut.
Demikian disampaikan Sekretaris Yayasan Mega Bintang, Arief Sahudi, di Solo, Kamis.
Menurut Arief Sahudi, yang melatari Yayasan Mega Bintang dalam upaya hukum dengan gugatan kepada Menkumham karena kebijakan asimilasi napi meresahkan masyarakat.
"Banyak masyarakat yang komplain kepada Mega Bintang bahwa desa yang sebelumnya aman kini tidak aman lagi. Masyarakat sekarang harus menjaga kampungnya untuk ronda. Hal ini dampak kebijakan ssimilasi itu," katanya.
Pihaknya berharap dengan gugatan tersebut dapat didengar oleh Menkumham dan segera mencabut kebijakan asimilasi itu.
Menurut dia, banyak mantan napi yang bebas sejak 1 April 2020 telah melakukan tindak kejahatan di tengah program asimilasi yang dijalaninya. Mantan napi tersebut ada yang mencuri, kejahatan narkoba, dan mabuk-mabukan di tengah pandemi COVID-19.
Wakil Ketua Yayasan Mega Bintang Rus Utaryono menambahkan gugatan tersebut telah diputuskan pertama pelepasan napi melalui asimilasi ini, pada awalnya diterima sebagai sebuah niat baik dalam rangka pencegahan penyebaran wabah COVID-19.
Namun, masyarakat melihat dampak program asimilasi tersebut ternyata beberapa daerah atau tempat ada kejadian tindak kejahatan yang dilakukan para mantan napi yang dibebaskan tersebut.
Napi yang ikut asimilasi itu, ternyata kembali melakukan tindak pidana, dan menimbulkan keresahan masyarakat di tengah wabah COVID-19 ini. Rakyat sekarang menghadapi dua masalah, pertama maraknya tindak kejahatan, dan kedua wabah COVID-19.
"Kami harapkan dengan gugatan ini, Menkumham segera mencabut kebijakan asimilasi itu," katanya lagi.
Pihaknya menilai kebijakan tersebut sangat ceroboh dan memunculkan teror tersendiri bagi masyarakat luas. Untuk itu, pihaknya menggugat dan meminta pengadilan, agar Permenkumham Nomor 10 Tahun 2020 itu dicabut, karena dianggap sudah merugikan masyarakat luas.
Tim Advokat Kartika Law Firm Surakarta yang diberi kuasa hukum, telah nendaftarkan gugatan ke Pengadilan Negeri Surakarta pada Kamis ini, dengan biaya pendaftaran sebesar Rp2.603.000.
Menurut advokat Kartika Law Firm Surakarta Sigit Sudibiyanto apa yang dilakukan kliennya selaku pemohon gugatan, merupakan untuk melindungi keadilan dan kepastian hukum.
Menurut dia, para penggugat memiliki kualifikasi secara hukum sebagai pihak yang dirugikan oleh kebijakan asimilasi tersebut.
Baca juga: Kebijakan asimilasi napi diminta dievaluasi
Lembaga swadaya masyarakat (LSM) yakni Yayasan Mega Bintang, Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), dan Lembaga Pengawasan dan Pengawalan Penegakan Hukum (LP3H) melakukan upaya hukum agar kebijakan Kemenham itu dicabut.
Demikian disampaikan Sekretaris Yayasan Mega Bintang, Arief Sahudi, di Solo, Kamis.
Menurut Arief Sahudi, yang melatari Yayasan Mega Bintang dalam upaya hukum dengan gugatan kepada Menkumham karena kebijakan asimilasi napi meresahkan masyarakat.
"Banyak masyarakat yang komplain kepada Mega Bintang bahwa desa yang sebelumnya aman kini tidak aman lagi. Masyarakat sekarang harus menjaga kampungnya untuk ronda. Hal ini dampak kebijakan ssimilasi itu," katanya.
Pihaknya berharap dengan gugatan tersebut dapat didengar oleh Menkumham dan segera mencabut kebijakan asimilasi itu.
Menurut dia, banyak mantan napi yang bebas sejak 1 April 2020 telah melakukan tindak kejahatan di tengah program asimilasi yang dijalaninya. Mantan napi tersebut ada yang mencuri, kejahatan narkoba, dan mabuk-mabukan di tengah pandemi COVID-19.
Wakil Ketua Yayasan Mega Bintang Rus Utaryono menambahkan gugatan tersebut telah diputuskan pertama pelepasan napi melalui asimilasi ini, pada awalnya diterima sebagai sebuah niat baik dalam rangka pencegahan penyebaran wabah COVID-19.
Namun, masyarakat melihat dampak program asimilasi tersebut ternyata beberapa daerah atau tempat ada kejadian tindak kejahatan yang dilakukan para mantan napi yang dibebaskan tersebut.
Napi yang ikut asimilasi itu, ternyata kembali melakukan tindak pidana, dan menimbulkan keresahan masyarakat di tengah wabah COVID-19 ini. Rakyat sekarang menghadapi dua masalah, pertama maraknya tindak kejahatan, dan kedua wabah COVID-19.
"Kami harapkan dengan gugatan ini, Menkumham segera mencabut kebijakan asimilasi itu," katanya lagi.
Pihaknya menilai kebijakan tersebut sangat ceroboh dan memunculkan teror tersendiri bagi masyarakat luas. Untuk itu, pihaknya menggugat dan meminta pengadilan, agar Permenkumham Nomor 10 Tahun 2020 itu dicabut, karena dianggap sudah merugikan masyarakat luas.
Tim Advokat Kartika Law Firm Surakarta yang diberi kuasa hukum, telah nendaftarkan gugatan ke Pengadilan Negeri Surakarta pada Kamis ini, dengan biaya pendaftaran sebesar Rp2.603.000.
Menurut advokat Kartika Law Firm Surakarta Sigit Sudibiyanto apa yang dilakukan kliennya selaku pemohon gugatan, merupakan untuk melindungi keadilan dan kepastian hukum.
Menurut dia, para penggugat memiliki kualifikasi secara hukum sebagai pihak yang dirugikan oleh kebijakan asimilasi tersebut.
Baca juga: Kebijakan asimilasi napi diminta dievaluasi