Semarang (ANTARA) - Pakar keamanan siber dari CISSReC Doktor Pratama Persadha menyebut pengguna internet di Tanah Air pada tahun 2020 hampir menembus 200 juta orang sehingga tidak mengherankan hackers dunia menjadikan Indonesia target peretasan.

"Selalu ada akibat positif maupun negatif dari teknologi di ruang siber," kata Pratama Persadha dalam Seminar Nasional Cyber Crime: Dinamika Keamanan Siber Dunia; Tantangan dan Peluang Indonesia di Universitas Muhammadiyah (Unimus) Semarang, Kamis.

Pratama yang juga dosen Sekolah Tinggi Intelijen Negara (STIN) lantas menyampaikan hal yang positif terkait dengan teknologi di ruang siber, antara lain membuat semua menjadi serbamudah, kemudian adanya aplikasi dan platform pendukung lain di internet.

Akibat negatifnya, lanjut Pratama, mulai dari masalah keamanan siber sampai pada ketergantungan warganet pada aplikasi asing. Semua masalah ini akhirnya bermuara pada perang data, jual beli data, dan bahkan manipulasi data.

"Ekstremnya pada satu titik, data yang dihimpun dari wilayah siber akan menjadi senjata bagi entitas negara maupun korporasi multinasional. Akibatnya, jelas menjadi ancaman bagi masyarakat dan juga negara kita," kata Pratama di hadapan 100-an mahasiswa dari pelbagai perguruan tinggi di Jawa Tengah.

Pratama yang pernah sebagai Pelaksana Tugas (Plt.) Direktur Pengamanan Sinyal Lemsaneg (sekarang BSSN) menjelaskan bahwa solusi ruang siber Indonesia adalah kampus. Hal ini mengingatkan bahwa dinamika siber dunia tidak bisa hanya dihadapi oleh negara sendirian.

"Kampus jelas bisa melakukan edukasi siber, bahkan bisa menghasilkan sumber daya manusia (SDM) siber yang dibutuhkan negara," kata pria kelahiran Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah ini.

Dalam hal riset siber, kata Pratama, kampus juga bisa menghasilkan produk yang kuat seperti platform yang sudah ada, dan menjadi pesaing serius platform dari luar negeri.

Hal pertama yang bisa dilakukan kampus adalah edukasi, baik untuk masyarakat kampus maupun masyarakat umum. Seharusnya, menurut dia, negara dan juga para pelaku industri bisa menggandeng kampus untuk melakukan edukasi keamanan siber.

"Bila edukasi keamanan siber lewat kampus, bisa mengurangi jumlah korban kejahatan siber seperti yang sering terjadi. Mulai dari phising, wifi sniffing, sampai pada social engeneering," katanya menjelaskan.

Salah satu hal paling penting, menurut dia, adalah kebutuhan SDM siber bisa dimaksimalkan dari kampus.

Ia mengingatkan bahwa digitalisasi terjadi di semua sektor. Oleh karena itu, dibutuhkan SDM yang melek teknologi informasi (TI) dan mempunyai kemampuan mumpuni sehingga tidak bergantung pada SDM luar.

Pemerintah sendiri melalui Kominfo sudah ada program Digital Talent sejak 2019. Hal yang wajib dimaksimalkan, menurut dia, kerja sama pemerintah dengan kampus.

Dengan SDM siber yang mumpuni dari kampus, pada akhirnya tidak hanya menghadirkan angkatan siap kerja saja, tetapi juga individu yang bisa melahirkan produk dan lapangan kerja.

Ia lantas menyebutkan Gojek, Tokopedia, Bukalapak, dan Traveloka sudah menjadi contoh keberhasilan produk dalam negeri.

Pratama memandang sangat penting negara membantu industri siber dalam negeri berkembang. Kampus bisa menjadi kawah candradimuka riset siber tanah air.

Hal itu kemudian dikoneksikan dengan dunia industri untuk pembiayaan riset dan membantu proses masuk dunia industri.

"Di sini fungsi negara sangat dibutuhkan," kata Pratama menandaskan.

Dalam kesempatan yang sama, Dekan Fakultas Teknik Unimus R.M. Bagus Irawan menjelaskan bahwa masyarakat kampus sangat perlu melakukan shifting ke dunia digital. Perubahan itu mulai dari sistemnya, kurikulum, sampai pada output SDM yang melek siber.

"Saya berharap mahasiswa noninformatika juga aware dengan keamanan siber," kata Bagus Irawan dalam seminar yang dimoderatori dosen informatika Fakultas Teknik Unimus M. Munsarif, M.Kom.

Pewarta : Kliwon
Editor : Kliwon
Copyright © ANTARA 2024