Magelang (ANTARA) - Setiap waktu, tanpa manusia sadari, mengalami perubahan. Demikian juga dengan sosial budaya yang tidak hanya orang perorang, melainkan menyangkut kemasyarakatan, mengalami perubahan sebagaimana terwujud dalam dinamika desa-kota.

Perubahan juga terjadi dengan kawasan Gunung Tidar Kota Magelang. Bagian dari bentang alam kawasan lembah Kedu itu, mengalami perubahan baik secara alami yang kemudian bernama Gunung Tidar maupun sentuhan penghuninya melahirkan hutan kota secara berkelajutan dengan berbagai kemanfaatan bagi masyarakat.

Hadi Sabari Yunus dalam bukunya, "Struktur Tata Ruang Kota", terbitan Pustaka Pelajar pada 2000, mengungkapkan bahwa perwajahan dan keberadaan sebuah kota tidak lepas dari sejarah awal perkembangan, kondisi saat sekarang ini, serta prediksi wajah kota di masa yang akan datang.

Aspek kesejarahan memegang peranan yang sangat penting dalam membentuk sebuah kota. Bentuk kota bukan sekadar produk, tetapi juga merupakan proses akumulasi dari masa ke masa.

Dalam makalah M.M. Sukarto Karto Atmodjo disebutkan bahwa Prasasti Poh yang bertarikh 11 Juli 905 Masehi selain menyebut Mantyasih, tertulis adanya wanua atau wilayah perdikan bernama Glang dan Glangglang.

Dalam bahasa Jawa Kuno nama glang atau galang berarti lingkaran atau mandala dengan satu titik sentral di tengahnya, sedangkan dalam bahasa Bali ada kata "galang bulan" yang bermakna terang bulan. Oleh karena itu, galang berarti terang berpendar.

Kata "glang dan glangglang" dalam perkembangannya berubah menjadi gelang atau Magelang sekarang ini dengan Gunung Tidar sebagai titik tengahnya karena posisinya relatif di tengah Kota Magelang sekarang. Kata "tidar" bisa bermakna sinar yang cemerlang.

Penyebutan Magelang juga termaktub dalam Babad Tanah Jawi karya pujangga besar, Raden Ngabehi Ranggawarsita (1802-1873). Dalam babad ini diceritakan tentang kedatangan Syech Subakir dari negeri Rum ke Gunung Tidar.

Dalam Serat Centini, kata "tidar dan magelang" juga disebutkan, termasuk tradisi kuliner Magelang dalam menyambut Amongraga, tokoh utama dalam salah satu karya sastra Jawa Baru yang juga dikenal sebagai Suluk Tambanglaras itu.

Magelang dan Gunung Tidar sebagai nama tempat atau wilayah yang sudah ada sejak dahulu kala, jauh sebelum era pemerintahan kolonial, walaupun bentuk kewilayahannya belum tentu mengikuti pola batas kewilayahan zaman sekarang.

Baca juga: Perindah hutan kota, tampilan Taman Gunung Tidar diperbarui

Magelang mengalami perkembangan pesat pada masa kolonial, dari desa kecil menjadi kota garnisum atau markas militer pemerintahan Hindia Belanda. Pada masa kolonial ini dibangun beberapa kawasan di Kota Magelang yang jejaknya bernilai historis masih terlihat hingga sekarang.

Sejumlah jejak itu, antara lain RSJ Dr Soedjono di sisi paling utara, Rindam IV/Diponegoro, kawasan Badaan Boton dan Jln. Pahlawan, alun-alun, Keresidenan Kedu, kawasan Kwarasan, Jln. Bayeman, Jln. Tidar, Jln. Pemuda di wilayah tengah Kota Magelang, sedangkan di wilayah selatan, terdapat Gunung Tidar dengan pepohonan besar sebagai hutan kota sekarang ini.

Semua kawasan tersebut mempunyai sejarah dan fungsi masing-masing dalam peruntukannya.

Untuk mengungkapkan fenomena perkembangan kota tidak terlepas dari pembahasan elemen pembentuk kota itu. Unsur lingkungan alami Kota Magelang sangat dominan di sekitar Gunung Tidar, sedangkan bentukan lingkungan buatan, seperti bangunan, elemen tata kota, dan kehidupan masyarakatnya di wilayah tengah dan utara.

Secara fisik, kota terjadi melalui proses formal perencanaan atau desain dan proses organis, yaitu yang tidak direncanakan dan berkembang dengan sendirinya.

Melalui proses yang panjang, setiap perubahan bentuk kawasan secara morfologis dapat memberikan arti serta manfaat yang sangat berharga bagi penanganan perkembangan kota.

Dengan mempelajari morfologi suatu kawasan kota, kiranya cacat morfologis suatu kawasan kota dapat terhindari karena proses belajar dari pengalaman kegagalan dan keberhasilan masa lampau.

Salah satu kawasan berharga yang perlu dijaga di Kota Magelang adalah hutan kota Gunung Tidar.



Beberapa ekor kera di tembok hutan kota kaki Gunung Tidar Kota Magelang. (ANTARA/HO/Muhammad Nafi)

Dalam dokumen Badan Perencanaan Kota-Pemerintahan Kota Magelang pada 2006, Gunung Tidar mempunyai ketinggian 503 meter dari permukaan air laut.

Secara fisik, Gunung Tidar adalah kawasan yang memiliki vegetasi tumbuhan dengan tegakan yang relatif rapat dan tidak berpenghuni yang disebut kawasan inti atau core area.

Secara keseluruhan luas kawasan Gunung Tidar 70 hektare. Di kawasan ini banyak jenis tumbuhan dan dihuni beberapa kawanan binatang, termasuk kera sekarang ini.

Baca juga: Kota Magelang promosi wisata Gunung Tidar ke Bintan

Dengan semakin banyaknya jumlah penduduk di kampung-kampung, bangunan perumahan, dan ekspansi perkotaan di sekeliling Gunung Tidar, maka perlu penataan dan pengaturan yang tetap dengan memperhatikan keseimbangan alam dan pentingnya hutan kota.

Upaya mempertahankan hutan kota dan menjadikan Magelang sebagai kota yang berkelanjutan sebagai kebutuhan penting.

Seberapa banyak kita bergantung pada ekosistem pepohonan hutan kota dan taman-taman dengan pepohonan besar di lingkungan kita?

Menurut penelitian, pepohonan di wilayah perkotaan membuat orang lebih sehat, lebih senang, dan lebih nyaman dalam hidupnya.

Pepohonan di hutan kota, jalanan kota dan taman-taman tidak hanya menaikkan nilai properti kawasannya, namun juga menyediakan peneduh yang mengurangi biaya energi dan membantu menahan air setelah hujan.

Hutan kota juga baik untuk kesehatan dan keseimbangan jiwa-raga, membantu membersihkan  polutan di udara serta mengurangi penyakit pernapasan.

Hutan kota juga menyediakan air, energi, dan perlindungan dari cuaca ekstrem bagi masyarakatnya.

Layanan hutan kota memiliki banyak manfaat bagi kehidupan sehari-hari di kota-kota besar dunia, sebagaimana di Bogota, New York, dan Singapura.

Kota-kota tersebut telah berinvestasi sangat besar terhadap perlindungan daerah aliran sungai berhutan, untuk memastikan pasokan air bersih guna memenuhi kebutuhan minum dan sanitasi.

Hutan juga sebagai daerah tangkapan air untuk mengisi waduk bagi bendungan hidroelektrik yang menjadi sumber energi lampu kota.

Baca juga: UPT Gunung Tidar Kota Magelang dorong warga tanam pohon

Di tengah meningkatnya cuaca ekstrem karena perubahan iklim, peran hutan kota dalam mengurangi dampaknya semakin terlihat. Vegetasi hutan alami membantu pengurangan tanah longsor dan banjir yang sering terjadi ketika hujan lebat.

Selain itu, banyak penelitian telah menunjukkan tentang peran hutan kota dalam memastikan kesejahteraan global, termasuk keberlangsungan kota, melalui peran pepohonan dalam menjaga iklim secara lokal maupun global.

Berbagai langkah dapat dilakukan, dengan mulai memahami nilai-nilai hutan kota serta berusaha melindungi dan meningkatkan kepadatan pohon secara aktif agar banyak manfaat hutan kota dapat lebih dirasakan bersama.

Meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai hal-hal yang dapat dilakukan mereka untuk melindungi hutan kota, akan menjadi warisan sangat berharga untuk kehidupan lebih baik bagi generasi mendatang.

Kota Magelang barangkali bisa dikatakan merasa beruntung atas tradisi menanam pohon yang dijalani pihak Akademi Militer di kompleks pendidikan TNI di lembah Gunung Tidar itu. Demikian juga dengan berbagai kalangan masyarakat yang sering melakukan aksi penanaman pepohonan di sisi lain gunung tersebut.

Dengan pendidikan lingkungan, masyarakat menggunakan sumber daya dan suara mereka untuk membuat pilihan kepada kepentingan yang lebih ramah hutan kota. Hal itu, demi masa depan yang lebih pasti dan terlindung dari kemungkinan cuaca semakin ekstrem.

Tradisi menjaga kawasan Gunung Tidar sebagai hutan kota berkelanjutan, bisa jadi akan dikenang anak cucu di Kota Magelang sebagai nilai-nilai pusaka penjaga alam. (hms).

*) Muhammad Nafi, Koordinator Komunitas Pinggir Kali Kota Magelang

Baca juga: Warga rawat NKRI dengan selamatan di Gunung Tidar
Baca juga: Pemkot Magelang jadikan Gunung Tidar kebun raya
Baca juga: Pemkot Rumuskan Legenda Gunung Tidar
 

Pewarta : Muhammad Nafi *)
Editor : Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2024