Semarang (ANTARA) - Pemahaman agama yang parsial terhadap konsep jihad memicu sikap keras, tertutup, dan intoleran, kata analis gerakan radikalisme dari Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang Dr Najahan Musyafak.
"Pemahaman dan doktrin tersebut sangat berbahaya sehingga negara dan masyarakat harus bersatu padu mengatasinya," katanya di hadapan 180 peserta lokakarya jamaah Majelis Dzikir se-Jawa di Gedongsongo, Kabupaten Semarang, Rabu.
Ia mencontohkan aksi bom bunuh diri di Medan, Sumatra Utara, dengan sasaran markas polisi dan insiden penusukan terhadap Menko Polhukam Wiranto di Pandeglang, Banten, beberapa waktu lalu menjadi bukti bahwa gerakan radikalisme dan terorisme hingga hari ini masih hidup di Indonesia.
Baca juga: Program deradikalisasi perlu memperhatikan aspek kultural
“Ideologi tersebut masih hidup subur di Tanah Air untuk melakukan teror-teror di tengah masyarakat. Maka harus dilakukan upaya taktis dan strategis untuk melumpuhkan sekaligus upaya penyadaran dari aksi sesat tersebut," katanya.
Menurut dia, kejadian di Medan yang diikuti oleh penangkapan lebih dari 61 orang yang terindikasi terlibat jaringan teroris dan personelnya tersebar di beberapa wilayah merupakan bukti proses perekrutan para calon "pengantin" hingga kini berlangsung.
Amaliyah berupa tindakan pembunuhan terhadap aparat yang dianggap sebagai ansharut thaghut, katanya, diindikasikan sebagai tindakan pamungkas dari proses indoktrinasi ideologi radikal terorisme yang dilakukan oleh kelompok yang memiliki afiliasi pada gerakan transnasional ISIS.
Dilihat dari modus operandinya kejadian tersebut, menurut dia, mereka memiliki karakter yang sama, yaitu menjadikan aparat sebagai sasaran untuk mengimplementasikan pemahaman atau pemaknaan jihad secara sesat atau tidak tepat.
Baca juga: Rektor UMP sebut deradikalisasi berpotensi memperkuat radikalisme
Menurut dia, dibutuhkan upaya bersama antara pemerintah, terutama pemerintah daerah, tokoh agama, dan masyarakat ntuk mengidentifikasi berkembangnya ideologi keras dan berbahaya tersebut agar tidak memiliki ruang gerak di masyarakat.
"Kepedulian merupakan kunci utama untuk mempersempit gerak gerak tumbuhnya ideologi ini," kata Ketua Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Jawa Tengah -- institusi di level provinsi di bawah BNPT -- periode 2014-2018, itu.
Oleh karena itu, ia mendesak negara melakukan upaya sistematis dan berkelanjutan yang memiliki daya gedor lebih besar guna menangani gerakan radikalisme terorisme di Tanah Air.
Baca juga: Pemkab Batang antisipasi keterlibatan ASN anti-Pancasila
Dikatakannya, diperlukan penanganannya secara extraordinary, yakni penanganan ekstra-khusus untuk melindungi masyarakat dari bahaya yang ditimbulkan radikalisme dan terorisme.
Najahan memprediksi eskalasi gerakan radikalisme terorisme ke depan makin memuncak sehingga pemerintah bersama masyarakat harus mewaspadai ekstraketat gerakan tersebut.
Baca juga: Pengamat sebut perlu pemahaman tepat soal radikalisme-deradikalisme
"Pemahaman dan doktrin tersebut sangat berbahaya sehingga negara dan masyarakat harus bersatu padu mengatasinya," katanya di hadapan 180 peserta lokakarya jamaah Majelis Dzikir se-Jawa di Gedongsongo, Kabupaten Semarang, Rabu.
Ia mencontohkan aksi bom bunuh diri di Medan, Sumatra Utara, dengan sasaran markas polisi dan insiden penusukan terhadap Menko Polhukam Wiranto di Pandeglang, Banten, beberapa waktu lalu menjadi bukti bahwa gerakan radikalisme dan terorisme hingga hari ini masih hidup di Indonesia.
Baca juga: Program deradikalisasi perlu memperhatikan aspek kultural
“Ideologi tersebut masih hidup subur di Tanah Air untuk melakukan teror-teror di tengah masyarakat. Maka harus dilakukan upaya taktis dan strategis untuk melumpuhkan sekaligus upaya penyadaran dari aksi sesat tersebut," katanya.
Menurut dia, kejadian di Medan yang diikuti oleh penangkapan lebih dari 61 orang yang terindikasi terlibat jaringan teroris dan personelnya tersebar di beberapa wilayah merupakan bukti proses perekrutan para calon "pengantin" hingga kini berlangsung.
Amaliyah berupa tindakan pembunuhan terhadap aparat yang dianggap sebagai ansharut thaghut, katanya, diindikasikan sebagai tindakan pamungkas dari proses indoktrinasi ideologi radikal terorisme yang dilakukan oleh kelompok yang memiliki afiliasi pada gerakan transnasional ISIS.
Dilihat dari modus operandinya kejadian tersebut, menurut dia, mereka memiliki karakter yang sama, yaitu menjadikan aparat sebagai sasaran untuk mengimplementasikan pemahaman atau pemaknaan jihad secara sesat atau tidak tepat.
Baca juga: Rektor UMP sebut deradikalisasi berpotensi memperkuat radikalisme
Menurut dia, dibutuhkan upaya bersama antara pemerintah, terutama pemerintah daerah, tokoh agama, dan masyarakat ntuk mengidentifikasi berkembangnya ideologi keras dan berbahaya tersebut agar tidak memiliki ruang gerak di masyarakat.
"Kepedulian merupakan kunci utama untuk mempersempit gerak gerak tumbuhnya ideologi ini," kata Ketua Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Jawa Tengah -- institusi di level provinsi di bawah BNPT -- periode 2014-2018, itu.
Oleh karena itu, ia mendesak negara melakukan upaya sistematis dan berkelanjutan yang memiliki daya gedor lebih besar guna menangani gerakan radikalisme terorisme di Tanah Air.
Baca juga: Pemkab Batang antisipasi keterlibatan ASN anti-Pancasila
Dikatakannya, diperlukan penanganannya secara extraordinary, yakni penanganan ekstra-khusus untuk melindungi masyarakat dari bahaya yang ditimbulkan radikalisme dan terorisme.
Najahan memprediksi eskalasi gerakan radikalisme terorisme ke depan makin memuncak sehingga pemerintah bersama masyarakat harus mewaspadai ekstraketat gerakan tersebut.
Baca juga: Pengamat sebut perlu pemahaman tepat soal radikalisme-deradikalisme