Semarang (ANTARA) - Belasan bocah berusia 4 hingga 5 tahun meriung di teras teduh TK Darul Iman Karangroto, Kecamatan Genuk, Kota Semarang, untuk bermain dan bergembira dalam asuhan Suyanti, guru TK setempat.
Suyanti, Kamis (10/10) pagi Itu, bercerita di hadapan anak asuhnya. Setelah beberapa menit, anak-anak diajak ke jalan, tepat di depan kelas, untuk bermain lompat kaki atau semacam engklek.
Bocah-bocah itu terus bergerak, menebar senyum, berbagi energi positif, dan mengabarkan kegembiraan kepada semua orang.
Meskipun arena bermain hanya berupa jalan kampung berpaving yang dicat bertuliskan angka dan huruf sebagai arena engklek dan lompat, keriangan tampak jelas dari wajah bocah-bocah itu.
Siswa PAUD Darul Iman bermain lompatan lingkaran. ANTARA/AZM
Permukaan jalan di depan PAUD ini memang diwarnai dengan huruf-huruf dalam lingkaran. Dari lingkaran-lingkaran itulah anak diajak untuk melompat-lompat.
"Latihan motorik kasar seperti melompat itu sama pentingnya dengan anak belajar mandiri dan bersosialisasi," kata Suyanti yang sudah 5 tahun menjadi pendidik di TK Darul Iman.
Menurut dia, penyelenggaraan pendidikan di PAUD yang pernah mendapat dampingan dari AMURT Indonesia ini memang memfokuskan pada kemandirian dan kemampuan anak bersosialisasi.
Kemandirian anak tersebut juga dirasakan oleh Devi Wuryandani, ibu dari Rais Gibran Saidan Utomo, siswa TK Darul Iman.
"Hasil paling mencolok setelah anak kami sekolah di sini adalah mandiri dan memiliki pergaulan yang lebih luas," ujar Devi ketika ditemui di teras pos jaga, tidak jauh dari PAUD dan TK Darul Iman.
Kemandirian dan kemampuan sosialisasi juga dirasakan oleh Romjanah, nenek 63 tahun yang hampir 2 tahun mengantar dan menunggu cucunya bersekolah di TK.
Romjanah, warga Panggungharjo, memang harus menunggu cucunya, Yanuar, karena bocah ceria berusia 5 tahun ini piatu, ditinggal mati ibunya.
"Saya harus menunggu di sekolah karena capai kalau bolak-balik berangkat pulang jalan kaki," katanya.
Yanuar, piatu siswa PAUD Darul Iman.ANTARA/AZM
Yanuar di rumah tinggal bersama nenek Romjanah dan ayahnya yang bekerja sebagai sopir.
"Yanuar memang anak periang. Meski ditinggal ibunya, dia bisa mandiri dan bergaul dengan teman-temannya," cerita Romjanah.
Direktur Eksekutif AMURT Indonesia I Gusti Putu Wati Hernawati.A NTARA/AZM
Direktur Eksekutif AMURT Indonesia I Gusti Putu Wati Hernawati menyatakan pihaknya pernah melakukan dampingan di PAUD dan TK Darul Iman pada 2015 hingga 2018.
"Perubahan paling fundamental adalah model pengajaran, dari klasikal menjadi sentra yang berfokus pada anak," katanya.
Model pendidikan tersebut mengajak anak lebih aktif dan partisipatif karena ada interaksi intens antara anak-anak dengan guru.
Selain itu, menurut dia, di PAUD itu sekarang juga ada perpustakaan.
Setiap hari, katanya, AMURT Indonesia meminjamkan buku untuk dibawa pulang siswa dan mewajibkan orang tua mereka untuk membacakan isi buku kepada anaknya.
"Buku yang dipinjamkan terus bergulir sehingga siswa mendapat bacaan yang berbeda," katanya.
Nur Hasanah.ANTARA/AZM
Nur Hasanah, yang melakukan dampingan di PAUD Darul Iman, menyatakan perubahan fundamental lain adalah cara guru berkomunikasi kepada siswa.
"Dulu, guru sering bersuara keras. Ini kurang bagus karena akan ditiru anak," katanya.
Kemudian, kata Nur, pihaknya menyarankan guru memelankan volume suara ketika mengajar.
"Suara pelan justru malah mendorong siswa ingin mendengar, ingin lebih tahu apa yang diucapkan guru," ujar Nur.
Ketika siang menjelang, anak kembali masuk kelas. Mereka kembali belajar, bermain, dan tentu saja bergembira.
Suyanti, Kamis (10/10) pagi Itu, bercerita di hadapan anak asuhnya. Setelah beberapa menit, anak-anak diajak ke jalan, tepat di depan kelas, untuk bermain lompat kaki atau semacam engklek.
Bocah-bocah itu terus bergerak, menebar senyum, berbagi energi positif, dan mengabarkan kegembiraan kepada semua orang.
Meskipun arena bermain hanya berupa jalan kampung berpaving yang dicat bertuliskan angka dan huruf sebagai arena engklek dan lompat, keriangan tampak jelas dari wajah bocah-bocah itu.
Permukaan jalan di depan PAUD ini memang diwarnai dengan huruf-huruf dalam lingkaran. Dari lingkaran-lingkaran itulah anak diajak untuk melompat-lompat.
"Latihan motorik kasar seperti melompat itu sama pentingnya dengan anak belajar mandiri dan bersosialisasi," kata Suyanti yang sudah 5 tahun menjadi pendidik di TK Darul Iman.
Menurut dia, penyelenggaraan pendidikan di PAUD yang pernah mendapat dampingan dari AMURT Indonesia ini memang memfokuskan pada kemandirian dan kemampuan anak bersosialisasi.
Kemandirian anak tersebut juga dirasakan oleh Devi Wuryandani, ibu dari Rais Gibran Saidan Utomo, siswa TK Darul Iman.
"Hasil paling mencolok setelah anak kami sekolah di sini adalah mandiri dan memiliki pergaulan yang lebih luas," ujar Devi ketika ditemui di teras pos jaga, tidak jauh dari PAUD dan TK Darul Iman.
Kemandirian dan kemampuan sosialisasi juga dirasakan oleh Romjanah, nenek 63 tahun yang hampir 2 tahun mengantar dan menunggu cucunya bersekolah di TK.
Romjanah, warga Panggungharjo, memang harus menunggu cucunya, Yanuar, karena bocah ceria berusia 5 tahun ini piatu, ditinggal mati ibunya.
"Saya harus menunggu di sekolah karena capai kalau bolak-balik berangkat pulang jalan kaki," katanya.
Yanuar di rumah tinggal bersama nenek Romjanah dan ayahnya yang bekerja sebagai sopir.
"Yanuar memang anak periang. Meski ditinggal ibunya, dia bisa mandiri dan bergaul dengan teman-temannya," cerita Romjanah.
Direktur Eksekutif AMURT Indonesia I Gusti Putu Wati Hernawati menyatakan pihaknya pernah melakukan dampingan di PAUD dan TK Darul Iman pada 2015 hingga 2018.
"Perubahan paling fundamental adalah model pengajaran, dari klasikal menjadi sentra yang berfokus pada anak," katanya.
Model pendidikan tersebut mengajak anak lebih aktif dan partisipatif karena ada interaksi intens antara anak-anak dengan guru.
Selain itu, menurut dia, di PAUD itu sekarang juga ada perpustakaan.
Setiap hari, katanya, AMURT Indonesia meminjamkan buku untuk dibawa pulang siswa dan mewajibkan orang tua mereka untuk membacakan isi buku kepada anaknya.
"Buku yang dipinjamkan terus bergulir sehingga siswa mendapat bacaan yang berbeda," katanya.
Nur Hasanah, yang melakukan dampingan di PAUD Darul Iman, menyatakan perubahan fundamental lain adalah cara guru berkomunikasi kepada siswa.
"Dulu, guru sering bersuara keras. Ini kurang bagus karena akan ditiru anak," katanya.
Kemudian, kata Nur, pihaknya menyarankan guru memelankan volume suara ketika mengajar.
"Suara pelan justru malah mendorong siswa ingin mendengar, ingin lebih tahu apa yang diucapkan guru," ujar Nur.
Ketika siang menjelang, anak kembali masuk kelas. Mereka kembali belajar, bermain, dan tentu saja bergembira.