Jakarta (ANTARA) - Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan nilai uang yang berhasil diselamatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam memberantas korupsi tidak sebanding dengan potensi kerugian negara jika pembangunan terhambat akibat ketakutan terhadap peraturan pemberantasan korupsi.
"Bisa saja tentu KPK menyelamatkan berapa triliun; tetapi akibat ketakutan mengambil kebijakan, maka kerugian negara lebih banyak lagi. Jadi ini untuk melihat kemanusiaan, sehingga jangan semua pejabat takut, ini masalah Pemerintah sekarang ini," kata Wapres JK kepada wartawan di Kantor Wapres Jakarta, Selasa.
Ketakutan para pejabat negara, khususnya di daerah, dalam menjalankan proyek pembangunan, menurut Wapres JK, bisa saja disebabkan oleh ketidaktahuan pejabat tersebut bahwa kebijakannya melanggar ketentuan tindak pidana korupsi.
Baca juga: Hendardi sebut KPK ke depan lebih berorientasi pencegahan
Di satu sisi, meningkatnya jumlah pejabat yang ditangkap KPK dalam dugaan kasus korupsi membuat reputasi lembaga antirasuah itu menjadi semakin baik pula. Di sisi lain, hal itu menimbulkan dampak ketakutan bagi pejabat lain yang ingin bekerja dalam mempercepat pembangunan.
"Salah satu efeknya, bahwa disamping keberhasilan, juga kalau dulu pejabat negara atau BUMN itu sangat hati-hati, sekarang bukan hati-hati lagi tetapi ada rasa takut luar biasa," jelasnya.
Oleh karena itu, Wapres JK menilai keberadaan dewan pengawas untuk KPK menjadi penting agar kinerja lembaga antirasuah tersebut semakin baik. JK menegaskan bahwa dewan pengawas itu bukan bertujuan untuk memperketat gerak-gerik KPK.
"Jadi pengawas itu untuk memastikan bahwa prosedur itu berjalan baik, karena kita ingin memperkuat. Jadi Pemerintah dan DPR tidak melihat fokus ke berapa orang yang ditangkat, tapi melihat secara keseluruhan negeri ini," tuturnya.
Baca juga: Politikus PDIP ini tuding pimpinan KPK berpaham anarko
JK: Potensi kerugian negara lebih banyak jika KPK tak diawasi
Wakil Presiden Jusuf Kalla memberikan keterangan pers di Kantor Wapres Jakarta, Selasa (10/9/2019). (Fransiska Ninditya)