Purwokerto (ANTARA) - Ibadah haji, salat Idul Adha, dan penyembelihan hewan kurban merupakan refleksi dari kesalehan sosial sehingga tidak semata-mata kesalehan individual, kata Rektor Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP), Kabupaten Banyumas, Dr. Anjar Nugroho.

"Hari ini, 10 Zulhijjah 1440 Hijriah bertepatan 11 Agustus 2019 adalah Hari Raya Idul Adha yang juga populer dengan sebutan Hari Raya Kurban karena setelah melaksanakan salat Idul Adha, dilakukan penyembelihan hewan kurban," katanya saat menjadi khatib dalam salat Idul Adha di halaman RS Hj. Fatimah Sulhan, PKU Muhammadiyah Demak, Minggu, dengan imam Ujang Misbahul Aripin yang merupakan Pengasuh Pondok Pesantren Darussalam, Kabupaten Demak.

Ia mengatakan Hari Raya Idul Adha berkaitan erat dengan haji karena pada saat yang sama, jutaan umat Islam dari seluruh penjuru dunia tengah melaksanakan ibadah haji. 

Haji adalah rukun Islam kelima yang diwajibkan oleh Allah kepada setiap laki-laki dan perempuan yang beragama Islam yang mampu secara pisik dan materi. 

"Dalam Al Quran khususnya Surat Ali Imran ayat 97 disebutkan bahwa haji diwajibkan bagi yang mampu hanya sekali seumur hidup," katanya.

Baca juga: Rektor UMP-Direktur LPPSLH diskusikan program pemberdayaan masyarakat

Ia mengatakan dalam doktrin ajaran Islam, ibadah haji merupakan salah satu bentuk prosesi keagamaan yang bercorak ritual, juga mempunyai dimensi lain yang sangat penting atau extremely urgent tapi sering terlupakan. 

Berbeda dengan ritual Islam lainnya yang dapat dilakukan pada sembarang tempat dan waktu sepanjang tahun, kata dia, ibadah haji harus dilakukan di tempat-tempat tertentu seperti d Baitullah Makkah al-Mukarramah, Shafa, Marwa, Arafah, Mina, dan Muzdalifah serta pada waktu tertentu pula, yakni pada minggu kedua bulan Dzulhijjah. 

Menurut dia, tata cara formal ibadah haji yang terdiri atas ihram, tawaf, wukuf, sa'i, dan sebagainya, sering dipahami oleh komunitas muslim hanya terbatas pada dimensi fiqhiyyah semata, formalistik, bahkan terkesan simbolik atau haji ritual.

"Artinya, seseorang dapat disebut atau dipanggil dengan gelar 'haji, jika ia 'terlepas dari apakah perilaku sehari-harinya baik atau tidak' telah melaksanakan ritual tersebut. Bila sebatas itu pemahaman kita mengenai ibadah haji, ini berarti disadari atau tidak disadari, kita telah menghilangkan bagian-bagian yang sangat mendasar dari fungsi ibadah haji sebagai simbol kepasrahan terhadap perintah Allah SWT, dan sekaligus mendukung aspek pembinaan jiwa, moral, dan sosial menjadi hanya sebatas 'wisata' spiritual saja," kata Khatib.

Baca juga: Rektor UMP: Jokowi dan Prabowo sosok negarawan patut dicontoh 

Seperti halnya bentuk peribadatan yang lain, kata dia, haji diwajibkan bukan semata-mata berorientasi pada aspek keimanan kepada Tuhan secara personal, namun yang lebih penting juga bagaimana keimanan pada Tuhan itu kemudian ditindaklanjuti dengan amal kebajikan yang berdimensi sosial. 

Ia mengatakan dimensi sosial haji, antara lain terlihat jelas ketika para hujjaj atau orang-orang yang tengah melakukan ibadah haji melakukan wukuf atau bermalam di Arafah. Di mana satu sama lain saling berinteraksi dengan niat yang utuh untuk semata-mata melakukan kebajikan. 

"Dengan berhaji, manusia harus meninggalkan keluarga, handai tolan, Tanah Air, dan seluruh hartanya untuk menuju satu tujuan, Allah. Pasrah total kepada-Nya, seperti kepasrahan Ibrahim AS. Dan, karena totalitas inilah kiranya mengapa di antara para hujjaj ada yang mengharapkan tidak kembali ke Tanah Air atau meninggal di Tanah Suci," katanya. 

Menurut dia, ada keyakinan jika meninggal di Tanah Suci ketika berhaji merupakan puncak syahadah, yakni perjumpaan dengan Allah pada saat pasrah secara total kepada-Nya.

Lebih lanjut, Khatib mengatakan haji merupakan latihan bagi manusia untuk kesalehan sosial, seperti meredam kesombongan, kediktatoran, gila hormat, dan keinginan menindas sesamanya. 

"Sebab, dalam haji, manusia harus mencopot pakaian kebesarannya. Pakaian sehari-hari yang menciptakan ke-'aku'-an berdasarkan ras, suku, warna kulit, eselon kepangkatan, dan lain-lain harus ditanggalkan dan diganti dengan pakaian 'ihram' yang sederhana, tidak membedakan kaya-miskin, ningrat-jelata, penguasa-rakyat, dan status sosial lainnya. Egoisme ke-'aku'-an lebur dalam ke-'kita'-an, kebersamaan, kesamaan sebagai manusia yang hadir, berada dan menuju hanya kepada-Nya, seperti yang dimaksud dalan Al Qurani Surat Al Baqarah ayat 196," katanya.


Khatib mengatakan haji juga melatih manusia melepaskan diri dari selera konsumtif dan cinta harta karena dalam berhaji, manusia dilarang mengenakan perhiasan atau parfum. 

Bahkan sebaliknya, saat berhaji sangat dianjurkan untuk rela berkorban apa saja miliknya termasuk yang paling dicintainya sebagaimana dicontohkan Nabi Ibrahim AS yang rela mengorbankan Ismail, putra yang amat dicintainya, seperti yang dijelaskan dalam Al Quran Surat Ash Shaffat ayat 102.

"Dalam rangkaian ibadah haji, selain wukuf di Arafah yang menjadi inti haji atau al-hajju 'arafah, yang menjadi perlambang kebersamaan, dan miniatur sejati hakikat perjalanan umat manusia. Juga diharuskan melontar tiga jumrah atau berhala, yakni Ula, Wustha, dan Aqabah, yang menjadi isyarat menurut istilah Shariati, 'trinitas'," katanya. 

Khatib mengatakan dalam tataran teologis, "trinitas" berarti keyakinan dan penghambaan manusia terhadap tiga eksistensi Tuhan, biasa disebut dengan musyrik atau politeisme. 

Dalam tataran sosiologis berarti penghambaan menusia pada tiga jenis nafsu yang dimilikinya, yakni totalisme dalam kekuasaan, kapitalisme dalam kepemilikan, dan hedonisme atau 'free sex' dalam pergaulan sesama atau antarjenis.

"Dalam sejarah kehidupan Rasulullah (sirah) dipaparkan, ketika beliau melaksanakan haji yang terakhir dalam hidupnya (haji wada), di depan 124 ribu jemaah, beliau berkhotbah yang isinya, antara lain menegaskan persamaan derajat manusia di muka bumi, baik Arab maupun ajam (non-Arab), yang membedakannya hanyalah tingkat ketakwaannya kepada Allah," katanya. 

Ia mengatakan penegasan inilah yang menjadi legitimasi profetik atas dukungan Islam terhadap proses kehidupan bermasyarakat yang terbuka dan sederajat, di samping penegasan adanya keharusan bermusyawarah dalam menyelesaikan setiap masalah, dan penegasan kebebasan manusia dari penghambaan sesama makhluk-Nya," kata Khatib.

Baca juga: Ketum PP Muhammadiyah minta UMP menjadi pusat pencerahan

Oleh karena itu jika seluruh umat Islam yang telah menunaikan ibadah haji sampai pada tingkat kemabrurannya, kata dia, niscaya individu serta masyarakat yang damai dan sejahtera akan tercipta dengan sendirinya. 

Dengan demikian, lanjut dia, tepat benar kesimpulan sosiolog Ernest Gellner bahwa Islam sebenarnya mewariskan tradisi agung atau great tradition, yang selalu bisa menyertai tuntutan kemodernan.

"Mereka yang tidak sedang melaksanakan ibadah haji, sangat dianjurkan pada 10 Zulhijjah untuk melaksanakan salat Idul Adha di masjid, di lapangan, dan di berbagai tempat yang memungkinkan untuk dilaksanakan. Istilah Idul Adha seperti yang telah dikemukakan, sering juga disebut Idul Kurban, karena setelah melaksanakan salat Idul Adha, dilanjutkan dengan penyembelihan hewan kurban," katanya.

Ia mengatakan sebagaimana yang telah sedikit disinggung sebelumnya, pelaksanaan penyembelihan kurban, berkaitan erat dengan peristiwa penyembelihan Ismail oleh ayahnya Ibrahim, seperti yang tertuang dalam Al Quran Surat Ash Shaffat ayat 109-113. 

"Disebutkan dalam Al Quran, pada suatu malam, Nabi Ibrahim bermimpi, dia mendapat perintah dari Allah untuk menyembelih Ismail, putera kesayangannya yang merupakan anak semata wayang. Perintah Allah itu, kemudian Ibrahim menyampaikannya kepada Ismail, dan meminta pandangannya atas hal tersebut," katanya.  

Ia mengatakan tanpa diduga, Ismail berkata kepada ayahnya, Ibrahim, "Ya abati if’al maa tu’mar satajidunii insya Allah minassabiriin" yang artinya, "Hai bapakku, laksanakan yang diperintahkan Allah kepadamu. Insya Allah engkau akan menemukan saya termasuk dari golongan orang-orang yang sabar".
  
Tatkala Ibrahim akan menyembelih Ismail, Allah menggantikannya dengan seekor binatang, yakni biri-biri.  Peristiwa dramatis itu diabadikan oleh Allah dengan perintah menyembelih hewan kurban pada setiap Idul Adha sebagai simbol ketaatan, ketulusan, keberanian, dan pengabdian yang paripurna kepada Allah.

"Ibadah haji, salat Idul Adha, dan penyembelihan kurban, merupakan refleksi dari kesalehan individual. Penyembelihan kurban, walaupun memberi dampak sosial karena kambing dan sapi yang disembelih, dagingnya dibagikan kepada mereka miskin dan memerlukan, tetapi pada hakikatnya lebih sarat dengan muatan kesalehan individual," katanya.

Ia mengatakan kesalehan sosial menunjuk pada perilaku yang peduli kepada sesama, karena sejatinya mereka yang saleh secara individual berarti beriman dan bertakwa kepada Allah.  

Menurut dia, wujud dari keberimanan dan ketakwaan kepada Allah otomatis akan merefleksikan kesalehan sosial, yaitu peduli kepada mereka yang miskin, bodoh, dan terbelakang. 

"Wujud dari itu, maka mereka akan selalu berpikir, berikhtiar, dan berjuang untuk mengubah nasib mereka yang belum beruntung dalam hidupnya," kata Khatib.
 
Ia mengatakan kesalehan sosial bisa diwujudkan dengan mengubah nasib orang-orang yang belum beruntung dan dapat dikatakan belum menikmati kemerdekaan.  

"Menurut saya, yang paling penting dan utama ialah dalam bidang pendidikan dengan menghimpun dana untuk menyediakan beasiswa yang cukup kepada anak-anak miskin untuk melanjutkan pendidikan di dalam dan luar negeri," tegasnya.

Selain itu, kata dia, memberi kepakaran atau keahlian kepada para pemuda yang satu dan lain hal tidak bisa melanjutkan pendidikan.  

Oleh karea itu, kata dia, walaupun mereka tidak memiliki pendidikan yang tinggi, mesti diberi kepakaran kerja dan bisnis agar tetap bisa berjaya dalam hidup.

"Wujud lain dari kesalehan sosial, bisa dilakukan oleh mereka yang memegang kedudukan di pemerintahan dan parlemen, untuk terus berpikir dan membuat kebijakan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa," katanya.

Dengan demikian, kata dia, iman dan takwa kepada Allah melahirkan kesalehan individual dalam bentuk ibadah haji, salat Idul Adha, dan penyembelihan kurban itu belum cukup, sehingga harus ditindaklanjuti dengan mewujudkan kesalehan sosial yang sering disebut amal saleh atau perbuatan yang baik.

Sementara itu, di halaman Rektorat UMP juga dilaksanakan salat Idul Adha pada Minggu (11/8) pagi dengan imam Fajar Sidiq dan khatib H. Djohar.

UMP dalam merayakan Hari Raya Idul Adha 1440 Hijriah menyembelih hewan kurban sebanyak 20 ekor terdiri atas 13 ekor sapi dan tujuh ekor kambing. **
 

Pewarta : KSM
Editor : Sumarwoto
Copyright © ANTARA 2024