Semarang (Antaranews Jateng) - Pakar keamanan siber Doktor Pratama Persadha memandang perlu ada aturan mengenai "marketplace" guna mencegah monopoli dalam perdagangan dalam jaringan (daring) atau "online".
"Masuknya modal dalam jumlah yang besar sangat baik. Namun, regulasi kita belum mengatur 'marketplace' dengan berbagai model ini, misalnya bagaimana pembatasan dari barang yang dijual," kata Pratama Persadha menjawab pertanyaan Antara di Semarang, Kamis pagi.
Pratama mengemukakan hal itu terkait dengan "unicorn" atau perusahaan rintisan bernilai 1 miliar dolar Amerika Serikat atau lebih di Tanah Air.
Ia menyebutkan di Indonesia sendiri setidaknya ada empat, yaitu Tokopedia, Bukalapak, Traveloka, dan Gojek. Keempatnya buatan lokal namun investornya hampir semua dari luar negeri.
"Ini yang menjadi pekerjaan rumah bersama," kata Pratama yang juga Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber dan Komunikasi (Communication and Information System Security Research Center/CISSReC).
Ia mencontohkan Gojek jelas menjual jasa, membuka banyak lapangan kerja, dan mempermudah pekerjaan sehari-hari. Namun, seperti Traveloka, Bukalapak, dan Tokopedia ini juga harus jelas, apa saja yang dijual selain tiket dan barang-barang.
"Jangan sampai menjadi pemain yang memonopoli sampai pada tingkat tertentu merusak bisnis yang sudah mapan dan menciptakan pengangguran baru," kata pria kelahiran Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah ini.
Misalnya, banyaknya barang black market (BM) yang dijual di "marketplace" (aplikasi atau situs web yang memberi fasilitas jual beli online) tanah air. Modal yang banyak itu membuat sistem aplikasi menjadi mudah. Namun, hal ini dimanfaatkan untuk menjual barang BM yang notabene selundupan.
Dalam jangka menengah, menurut dia, tentu membunuh industri dan investor yang sudah masuk. Misalnya, "smartphone', banyak sekali barang BM, baik bekas maupun baru.
"Jelas konsumen juga rugi karena tidak ada perlindungan terkait dengan garansi kualitas barang," kata Pratama.
Menyinggung kembali soal "startup unicorn", Pratama menjelaskan bahwa umumnya sebuah "startup" akan disebut "unicorn" saat mendapatkan investor dengan nilai 1 miliar dolar AS atau lebih.
Terkait dengan hal itu, dia memandang perlu Pemerintah mendorong dengan berbagai program. Misalnya, menghubungkan kampus dan dunia industri. Hal ini agar kejadian aplikasi lokal Koprol yang dimatikan oleh Yahoo tidak terjadi lagi.
Dengan pemakai internet lebih dari 150 juta orang, menurut Pratama, seharusnya aplikasi buatan anak bangsa banyak yang memakai sepanjang bermanfaat. Hal itu otomatis menaikkan "valuasi" (nilai ekonomi) dari aplikasi tersebut.
"Masuknya modal dalam jumlah yang besar sangat baik. Namun, regulasi kita belum mengatur 'marketplace' dengan berbagai model ini, misalnya bagaimana pembatasan dari barang yang dijual," kata Pratama Persadha menjawab pertanyaan Antara di Semarang, Kamis pagi.
Pratama mengemukakan hal itu terkait dengan "unicorn" atau perusahaan rintisan bernilai 1 miliar dolar Amerika Serikat atau lebih di Tanah Air.
Ia menyebutkan di Indonesia sendiri setidaknya ada empat, yaitu Tokopedia, Bukalapak, Traveloka, dan Gojek. Keempatnya buatan lokal namun investornya hampir semua dari luar negeri.
"Ini yang menjadi pekerjaan rumah bersama," kata Pratama yang juga Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber dan Komunikasi (Communication and Information System Security Research Center/CISSReC).
Ia mencontohkan Gojek jelas menjual jasa, membuka banyak lapangan kerja, dan mempermudah pekerjaan sehari-hari. Namun, seperti Traveloka, Bukalapak, dan Tokopedia ini juga harus jelas, apa saja yang dijual selain tiket dan barang-barang.
"Jangan sampai menjadi pemain yang memonopoli sampai pada tingkat tertentu merusak bisnis yang sudah mapan dan menciptakan pengangguran baru," kata pria kelahiran Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah ini.
Misalnya, banyaknya barang black market (BM) yang dijual di "marketplace" (aplikasi atau situs web yang memberi fasilitas jual beli online) tanah air. Modal yang banyak itu membuat sistem aplikasi menjadi mudah. Namun, hal ini dimanfaatkan untuk menjual barang BM yang notabene selundupan.
Dalam jangka menengah, menurut dia, tentu membunuh industri dan investor yang sudah masuk. Misalnya, "smartphone', banyak sekali barang BM, baik bekas maupun baru.
"Jelas konsumen juga rugi karena tidak ada perlindungan terkait dengan garansi kualitas barang," kata Pratama.
Menyinggung kembali soal "startup unicorn", Pratama menjelaskan bahwa umumnya sebuah "startup" akan disebut "unicorn" saat mendapatkan investor dengan nilai 1 miliar dolar AS atau lebih.
Terkait dengan hal itu, dia memandang perlu Pemerintah mendorong dengan berbagai program. Misalnya, menghubungkan kampus dan dunia industri. Hal ini agar kejadian aplikasi lokal Koprol yang dimatikan oleh Yahoo tidak terjadi lagi.
Dengan pemakai internet lebih dari 150 juta orang, menurut Pratama, seharusnya aplikasi buatan anak bangsa banyak yang memakai sepanjang bermanfaat. Hal itu otomatis menaikkan "valuasi" (nilai ekonomi) dari aplikasi tersebut.