Semarang (Antaranews Jateng) - Pemilihan Umum Anggota DPR RI dan DPRD 2019 akan menerapkan metode konversi suara "sainte lague", atau tidak lagi menggunakan bilangan pembagi pemilihan (BPP), seperti sistem pemilu sebelumnya.

Kelebihan metode "sainte lague", menurut Ketua Program Magister Ilmu Politik FISIP Universitas Diponegoro Semarang Teguh Yuwono, adalah potensi konfliknya rendah. Sebaliknya, sistem pada Pemilu 2004 yang menerapkan "stembus-accord" (penggabungan sisa suara), tingkat konfliknya tinggi.

Suara sisa di daerah pemilihan (dapil) konfliknya lebih tinggi meskipun dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD ada ketentuan yang menyebutkan partai politik peserta pemilu tidak dibenarkan mengadakan perjanjian penggabungan sisa suara (vide Pasal 107).

Pemilu mendatang, sistemnya sama-sama habis dibagi di dapil, atau suara habis di dapil. Namun, bedanya pada Pemilu 2014 masih menggunakan BPP.

Metode konversi suara menjadi kursi legislatif pada Pemilu 2019, konsekuensinya adalah suara habis di dapil. Namun, sistemnya menggunakan "sainte lague" berdasarkan peringkat suara (vide Pasal 420, UU No. 7/2017 tentang Pemilihan Umum).

Sistem yang lama, suaranya tidak berdasarkan peringkat 1, 2, 3, dan seterusnya (sesuai dengan jumlah kursi yang tersedia di masing-masing dapil), tetapi berdasarkan BPP.

Mana yang baik atau mana yang buruk? Menurut Teguh yang juga alumnus Flinders University Australia, semuanya punya kelemahan, tergantung bagaimana sistem itu didesain untuk mengantisipasi supaya suara hilang makin kecil. Prinsipnya suara kecil bisa dihitung, tidak dibuang begitu saja.

Kalau secara akademik, kata dia, lebih bagus pada Pemilu 2014 dan 2019 dengan sistem konversi suara habis di dapil, bukan ada "stembus-accord" atau suara sisa.

"Jadi, kalau ditanyakan mana yang lebih bagus untuk pembangunan demokrasi di Tanah Air? Ya, sistem sekarang ini, yang habis di dapil," katanya.

Teguh lantas memaparkan kelebihan sistem pada Pemilu 2019, yakni potensi konfliknya rendah, realitas dukungan di dapil, dan penghitungannya tidak rumit karena tidak terdapat sisa suara di dapil.

Dengan memperoleh dukungan di dapil, calon anggota legislatif bersangkutan memiliki akar keterwakilan di tengah rakyat. Hal ini berbeda dengan "stembus-accord" yang tingkat kerumitannya tinggi, yakni ada suara sisa, harus ditarik ke dapil atasnya.

"Suaranya nanti habis di provinsi. Itu biasanya potensi konflik lebih tinggi, kerumitannya lebih tinggi, dan tingkat keterwakilannya rendah," ucap Teguh.


BPP dinilai adil

Beda dengan pendapat Ketua Harian DPD I Partai Golkar Provinsi Jawa Tengah Iqbal Wibisono. Dia menilai penetapan calon terpilih atau kursi legislatif berdasarkan BPP dengan daerah pemilihannya adalah provinsi lebih adil karena jumlah suaranya sama.

Menurut Iqbal, sistem pemilu pada tahun 1999 lebih adil daripada Pemilu 2014 maupun Pemilu 2019.

Ia lantas mencontohkan hasil Pemilu 2014 di Daerah Pemilihan Jawa Tengah III (sekarang menggunakan istilah Daerah Pemilihan 3 Jawa Tengah) jumlah suara Partai Golkar meraih sebanyak 301.851 suara hanya memperoleh satu kursi DPR RI.

Sementara itu, PDI Perjuangan sebanyak 392.472 suara meraih dua kursi, atau satu kursi sebanyak 196.236 suara. Bahkan, PKS yang meraih 123.354 suara mendapatkan satu kursi.

"Jelas tidak adil karena parpol yang meraih suara kurang dari separuh suara Partai Golkar sama-sama mendapatkan satu kursi," ucapnya.

Oleh karena itu, Iqbal mengusulkan pada pemilu berikutnya menerapkan sistem seperti Pemilu 1999. Dengan demikian, penentuan calon terpilih di suatu provinsi berpedoman pada suara parpol dibagi BPP.

Ketua DPW PKS Jawa Tengah menilai metode konversi suara "sainte lague" pada Pemilu 2019 cenderung menguntungkan partai besar.

Berdasarkan data Pemilu 2014, PKS meraih empat kursi DPR RI di empat dapil, yakni di Dapil 3 Jateng (Grobogan, Blora, Rembang, dan Pati) meraih satu dari sembilan kursi DPR RI; Dapil 4 (Wonogiri, Karanganyar, dan Sragen) mampu merebut satu dari tujuh kursi; dan Dapil 5 (Boyolali, Klaten, Sukoharjo, dan Kota Surakarta) meraih satu dari delapan kursi.

Satu kursi lagi dari Dapil 9 (Brebes, Tegal, dan Kota Tegal), PKS meraih sebanyak 109.527 suara berhasil menjadikan Fikri Faqih sebagai anggota DPR RI periode 2014 s.d. 2019.

Apa betul pernyataan Fikri?

Antara kemudian melakukan simulasi dengan menggunakan metode "sainte lague", atau sesuai dengan ketentuan di dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, Pasal 415 Ayat (2) dan Pasal 420.

Pada Pemilu 2014 yang masih menggunakan BPP bagi kursi DPR, PKS di Dapil 5 Jateng meraih 120.918 suara berhasil menempatkan H. Abdul Kharis Almasyhari sebagai anggota DPR RI. Di dapil ini, PKS kehilangan satu kursi bila pada pemilu lalu menggunakan metode "sainte lague".

Sebaliknya, PDI Perjuangan yang memperoleh 861.673 suara bertambah menjadi empat kursi DPR RI. Pada sistem pemilu lalu, partai ini mengantarkan tiga kadernya (Puan Maharani, Aria Bima, dan Rahmad Handoyo) ke Senayan. Namun, bila menggunakan metode "sainte lague", partai ini bertambah satu kursi DPR RI.

Pada Pemilu 2014, calon anggota DPR RI dari PDI Perjuangan Darmawan Prasodjo meraih 33.074 suara, atau berada di urutan keempat setelah Rahmad Handoyo (33.569 suara), Aria Bima (96.163 suara), dan Puan Maharani (369.927 suara).

Sistem apa pun, baik sistem proposional terbuka maupun tertutup, partai yang meraih suara terbanyaklah yang memiliki peluang untuk menempatkan kadernya sebagai wakil rakyat.
 

Pewarta : D. Dj. Kliwantoro
Editor : Heru Suyitno
Copyright © ANTARA 2024