Semarang, ANTARA JATENG - "Go international" yang banyak diistilahkan sebagai internasionalisasi, sekarang ini makin menggema di berbagai lingkup, termasuk pendidikan, seolah menjadi kewajiban untuk mampu berkiprah di aras dunia.

Dalam lingkup pendidikan, semua entitas, tak terkecuali kalangan perguruan tinggi ikut berlomba untuk menyandang predikat WCU (World Class University) dengan mengerahkan semua sumber daya dan sumber dana yang dimiliki.

Universitas Diponegoro (Undip) Semarang sebagai salah satu perguruan tinggi negeri (PTN) favorit pun punya mimpi yang sama yang diwujudkan dengan mengekplorasi kekuatan yang dimiliki, termasuk dari fakultas-fakultasnya.

Semua fakultas ditarget, mulai jumlah publikasi jurnal ilmiahnya hingga prestasi mahasiswanya yang semua indikatornya mengacu ukuran internasional, termasuk pula Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Undip.

Dekan FISIP Undip Dr Sunarto mengakui target yang diberikan seiring dengan visi Undip "Goes to WCU", seperti publikasi internasional yang tahun ini ditargetkan 19 jurnal dan saat ini sudah tercapai 17 jurnal yang terindeks Scopus.

Prestasi mahasiswa dalam kancah internasional pun ditarget minimal satu, dan FISIP Undip berhasil melampauinya dengan sejumlah prestasi, salah satunya Dewi Nurcahyaningsih dalam ASEAN Startup Accelerator 2nd Class 2017.

Tak hanya itu, kerja sama dengan perguruan tinggi asing pun dipacu, antara lain melalui pertukaran pelajar dan dosen yang dilakukan FISIP Undip dengan Asia University Taiwan, University Malaysia Sabah, dan Wyoming University.

Sekarang ini, Undip juga sudah tidak berstatus BLU (Badan Layanan Umum), melainkan sudah melesat menjadi PTN-BH (PTN berbadan hukum) bersamaan dengan Universitas Hasanuddin Makassar, ITS Surabaya, dan Universitas Padjajaran Bandung.

Dikatakan Profesor Yos Johan Utama selaku Rektor Undip, perubahan status dari BLU menjadi PTN-BH itu menjadi salah satu upaya untuk mencapai visi Undip menjadi universitas riset unggul pada 2020, dan tentunya berkelas dunia.

Prestasi demi prestasi diraih Undip, termasuk dalam bidang riset yang terus digenjot untuk hilirisasi riset hingga berhasil membangun Teaching Industry sebagai sarana untuk menyambungkan hasil riset dengan dunia industri.

Jajaran guru besar yang dimiliki Undip pun juga didorong untuk terus produktif dalam melakukan riset dan menghasilkan jurnal ilmiah internasional untuk menambah "amunisi", hingga mengikuti program pertukaran profesor.

Tak cukup hilirisasi, hasil riset pun didorong untuk dipatenkan sejalan dengan sistem pengelolaan PTN-BH yang mengimplementasikan kemandirian dalam pengelolaan lembaga pendidikan yang namanya diberikan Presiden Soekarno itu.

Hingga saat ini, Undip sudah ada 52 hasil riset yang mempunyai hak paten, sedangkan target hasil riset yang dipatenkan bertambah 30 karya setiap tahun.

Target tersebut, kata Yos yang juga Guru Besar Fakultas Hukum Undip itu, harus bisa dicapai.

Hilangnya Identitas

Seiring dengan desakan arus globalisasi yang mencakup entitas pendidikan tinggi, tidak dipungkiri memunculkan kekhawatiran hilangnya identitas dan ciri khas yang dimiliki setiap perguruan tinggi sejalan dengan kearifan lokal.

Kekhawatiran itu disampaikan mantan Rektor Undip Prof Sudharto P. Hadi dengan menegaskan bahwa internasionalisasi atau WCU merupakan sebuah keniscayaan yang tidak bisa dihindari seiring dengan perkembangan zaman secara global.

Ukuran sebuah perguruan tinggi sekarang dilihat dari kemampuan pengajarnya dalam publikasi, riset, dan kerja sama di skala internasional, termasuk mahasiswanya.

"Ini memang sebuah keniscayaan," kata pengajar FISIP Undip itu.

Namun, diingatkannya bahwa perguruan tinggi tidak bisa lepas dari tridharma, yakni pendidikan, penelitian, dan pengabdian pada masyarakat yang terus melekat sebagai fondasi yang harus dipertahankan dalam menghadapi globalisasi.

Hal itu, khususnya pengabdian pada masyarakat sebagai salah satu dharma yang unik yang menuntut peran perguruan tinggi untuk bisa menyelesaikan persoalan di masyarakat sekitarnya, seperti kemiskinan dan kerusakan lingkungan.

Secara tegas, pakar lingkungan hidup itu, mengakui kemampuan perguruan tinggi dalam menyelesaikan persoalan di masyarakat yang tercakup dalam dharma pengabdian pada masyarakat memang tidak masuk dalam poin-poin WCU.

"Memang tidak ada di poin-poin WCU. Misalnya, bagaimana peran perguruan tinggi dalam membantu menyelesaikan persoalan kemiskinan, menanggulangi kerusakan lingkungan, dan sebagainya. Padahal, itu kewajiban," jelasnya.

Sebagai salah satu anggota Tim WCU Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi, Sudharto pun beberapa kali menyampaikan mengenai pentingnya perguruan tinggi dalam membantu menyelesaikan persoalan di masyarakat.

Setiap bertemu dengan tokoh WCU (Tim WCU Dikti), ia menyampaikan bahwa etiap perguruan tinggi mempunyai keunikan dan hal itu yang tidak masuk penilaian.

Persoalan masyarakat yang dihadapi setiap perguruan tinggi, disebutnya sebagai tidak sama.

Para tokoh WCU Dikti pun mengakui formula penilaian memang masih pada publikasi, rasio dosen dan mahasiswa, serapan lulusan perguruan tinggi, dan sebagainya, tetapi belum menyentuh pada keunikan yang dimiliki setiap perguruan tinggi.

Artinya, perguruan tinggi tetap tidak bisa menafikan keniscayaan untuk bisa bersaing di aras internasional dengan berbagai capaian dan prestasi, tetapi jangan sampai meninggalkan jatidiri yang terangkum dalam tridharma.

"Saya juga berkali-kali berpesan kepada civitas akademika, jangan sampai perguruan tinggi menjadi menara gading. Jangan sampai melupakan jatidiri. Ini harus jadi sikap dalam menghadapi arus globalisasi," pungkas Sudharto.

Pewarta : Zuhdiar Laeis
Editor : Nur Istibsaroh
Copyright © ANTARA 2024