Lomba panjat pinang pernah populer pada masa lalu bersamaan dengan datangnya peringatan Hari Kemerdekaan RI yang dirayakan masyarakat di desa-desa dan wilayah perkotaan.

Penonton bersorak gembira menyaksikan setiap kelompok warga berusaha memanjat batang pohon pinang setinggi sekitar 10 meter yang ditancapkan di ruang terbuka di lingkungan tempat tinggal mereka.

Berbagai hadiah dipasang di ujung tertinggi batang pinang untuk diperebutkan kelompok-kelompok peserta lomba. Tidak mudah meraih puncaknya karena batang pinang dilumuri gemuk atau lemak hewan sehingga licin.

Ketika mereka kepelorot karena licinnya pohon pinang itu, di situlah sorak riang penonton merebak. Begitu pula ketika sukses kelompok peserta meraih puncak tertinggi batang pinang, tepuk tangan penonton pun menyeruak.

Hadiahnya yang bisa macam-macam benda, seperti mainan anak-anak, pakaian, sepeda mini, barang elektronik, dan peralatan rumah tangga, lalu dibagi-bagi di antara pemenangnya.

Seiring dengan kreativitas masyarakat yang makin berkembang, lomba panjat pinang tidak mudah dijumpai lagi. Aneka macam kemeriahan perayaan Hari Kemerdekaan telah turut menyertai peristiwa tahunan untuk seluruh Bangsa Indonesia itu.

Ragam refleksi bertaburan atas aktivitas populer "Tujuhbelasan" masyarakat, berupa lomba panjat pinang, antara lain menyangkut kerja sama, kegigihan, perjuangan mencapai cita-cita, maupun apresiasi atas kesuksesan.

Ensiklopedia multibahasa, Wikipedia, memberikan catatan perlunya rujukan yang pasti tentang kebenaran informasi bahwa lomba panjat pinang di Indonesia ada sejak zaman penjajahan Belanda.

"Katanya kalau di internet begitu. (Lomba panjat pinang ada sejak masa penjajahan Belanda, red.)," kata Suitbertus Sarwoko (48), pelukis dan pengelola Galeri Banyu Bening Borobudur, di depan Pintu VII Taman Wisata Candi Borobudur Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, ketika menunjukkan koleksi salah satu karyanya pada 2006, berupa lukisan "drawing" sejumlah laki-laki mengikuti lomba panjat pinang.

Saat masa kecil, Woko sering menonton lomba panjat pinang di dekat tempat tinggalnya seperti di Dusun Tingal dan Dusun Ngaran di dekat Candi Borobudur. Mereka yang ikut lomba itu, terutama para pemuda dan orang dewasa. Lomba panjat pinang di kawasan warisan peninggalan budaya dunia itu, juga digelar bertepatan dengan perayaan HUT Kemerdekaan Indonesia.

Pada masa lalu, pohon pinang (Areca catechu) dengan batangnya yang ulet itu banyak dijumpai Woko, tumbuh di sekitar Desa Ngrajek, Kecamatan Mungkid dan di sejumlah desa lain di Kecamatan Sawangan. Pohon pinang juga ada dalam relief di Candi Borobudur.

Karya lukisan Woko tentang empat lelaki bercelana pendek dan bertelanjang dada yang mengikuti lomba panjat pinang itu, terinspirasi perayaan "Tujuhbelasan" oleh masyarakat di salah satu dusun di Kecamatan Mertoyudan, setahun sebelumnya atau pada Agustus 2005, yang didokumentasikannya.

Namun, ia refleksikan inspirasi tersebut menjadi kritik atas kehidupan bersama yang saling berkompetisi secara tidak sehat untuk mencapai suatu tujuan. Maka ia beri judul karya dengan media kertas, pensil, cat air, dan kerayon tersebut, sebagai "Saling Injak".

Indonesia, ucapnya, memang sudah merdeka dari penjajah bangsa lain. Namun, masih saja dijumpai saling injak di antara sesama bangsa sendiri hingga saat ini.

Wujud nyata atas refleksi lukisan monokrom "Saling Injak" itu bermacam-macam, termasuk melalui media sosial saat ini, seperti saling hujat, merendahkan, dan menyingkirkan, ujaran kebencian merebak, menyeruak upaya pemaksaan kehendak, rekayasa memaksakan kehendak, sikap intoleran atau menuduh tidak toleran, serta gerakan radikalisme atau tanpa disadari berbuat radikal.

"Ini keprihatinan bersama, supaya menjadi kesadaran bersama kita saat ini, bahwa orang paling bawah adalah paling menderita. Merekalah yang berbeban berat, menderita," ujarnya.

Ada sapuan warna merah yang mungkin maksud pelukisnya sebagai warna darah dalam lukisan realis "Saling Injak" untuk tubuh lelaki pemanjat pinang dengan posisi paling bawah, sebagai gambaran reflektif atas penderitaan rakyat bawah.

Rakyat pula penopang terkuat atas kehadiran pemimpin sebagai pengambil berbagai kebijakan untuk kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat dengan mamanfaatkan berbagai "hadiah" di puncak pohon pinang itu.

Pada bagian terakhir Pidato Presiden RI di Depan Sidang Tahunan MPR RI, di Jakarta, Rabu (16/8) atau sehari menjelang puncak Hari Ulang Tahun Ke-72 Kemerdekaan Indonesia, Presiden Joko Widodo mengingatkan bahwa rakyat sebagai jiwa dalam pengelolaan bangsa dan negara ini.

"Saya mengajak kita semua, seluruh lembaga negara untuk menjadikan rakyat sebagai poros jiwa kita. Saya mengajak kita semua untuk selalu mendengar amanat penderitaan rakyat. Saya mengajak kita semua untuk bergandengan tangan, bekerja sama, kerja bersama untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia," katanya.

Para pemimpin, termasuk mereka yang berkiprah melalui berbagai lembaga negara, ada di puncak "pohon pinang" karena beroleh kepercayaan rakyat, sehingga mereka tidak boleh lalai terhadap amanah itu.

Segala gemerlap aneka "hadiah" yang terpancang di puncak pohon pinang tersebut, untuk kepentingan keadilan sosial, kesejahteraan, dan kemakmuran seluruh rakyat.

Mereka yang telah berada di puncak pohon pinang, justru makin memiliki kesadaran yang kuat bahwa dia harus sudah selesai dengan diri sendiri, bukan menjadikan posisinya itu untuk mencoba-coba atau malah merasa leluasa melakukan praktik korupsi maupun persekongkolan buruk lainnya demi kepentingan diri dan kelompoknya.

Melalui posisi tertingginya itu, ia bertanggung jawab menyebarkan pundi-pundi "hadiah" di dekatnya untuk melahirkan kebijakan demi kepentingan bersama seluruh bangsa.

"Tantangan yang paling penting dan seharusnya menjadi prioritas bersama dari semua lembaga negara adalah mendapatkan kepercayaan yang tinggi dari rakyat. Kepercayaan rakyat adalah jiwa dan sekaligus energi bagi lembaga-lembaga negara dalam menjalankan tugas dan fungsinya masing-masing," kata Presiden.

Pewarta : M. Hari Atmoko
Editor :
Copyright © ANTARA 2024