Kudus, ANTARA JATENG - Pemerintah daerah didorong untuk membuat gerakan perlindungan anak se-kampung guna menekan kemungkinan terjadinya tindak kekerasan terhadap anak, kata Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait.

"Gerakan perlindungan anak sekampung tersebut bertujuan melibatkan masyarakat untuk berperan serta dalam melindungi anak di kampung setempat," ujarnya ditemui usai menjadi pembicara pada seminar dalam rangka Hari Anak Nasional di auditorium Universitas Muria Kudus, Jawa Tengah, Sabtu.

Pelibatan masyarakat di kampung, kata dia, sekaligus bertujuan untuk mengembalikan fungsi kekerabatan di masyarakat yang sudah hilang.

Menurut dia, pemerintah bisa turut mendorong gerakan perlindungan anak se-kampung tersebut melalui pembentukan tim reaksi cepat (TRC) Perlindungan Anak di masing-masing desa, rukun tetangga (RT) atau kampung.

Dengan adanya pelibatan masyarakat kampung, dia berharap tindak kekerasan terhadap anak yang biasanya dilakukan oleh orang terdekat mudah dideteksi.

Ia mencatat, dari 21 juta kasus kekerasan terhadap anak yang terjadi di Tanah Air, sebagian besar pelakunya merupakan orang terdekat, seperti orang tua, paman, kerabat atau teman dekat.

Dari puluhan juta kasus kekerasan terhadap anak tersebut, lanjut dia, 58 persennya merupakan kasus kejahatan seksual.

"Kasus kejahatan seksual juga terjadi di Kabupaten Kudus, sehingga pemerintah daerah harus waspada agar kasusnya tidak semakin bertambah," uajrnya.

Menurut dia, peran orang tua harus ditingkatkan dalam pengawasan terhadap anaknya, mengingat perkembangan teknologi juga turut menyumbang terjadinya tindakan kekerasan terhadap anak, termasuk kejahatan seksual.

Bahkan, lanjut dia, kasus kekerasan terhadap anak saat ini tidak hanya melibatkan pelaku orang dewasa, bahkan pelaku dari kalangan anak juga mulai meningkat.

Ia mengingatkan, orang tua harus menyadari kesalahannya dalam menggunakan kemajuan teknologi komunikasi, karena ketika berkumpul dengan keluarga justru mereka jarang berkomunikasi karena sibuk dengan telepon genggam masing-masing.

"Hal itu, tentu mengurangi komunikasi dan interaksi antara orang tua dengan anaknya, sehingga perkembangan anak tentu kurang menjadi perhatian," ujarnya.

Padahal, lanjut dia, peran keluarga di era teknologi modern seperti sekarang harus ditingkatkan, terutama dalam menyempurnakan pendidikan keluarga, terutama terkait pendidikan keagamaannya untuk membentengi anak dari pengaruh negatif.

Selain itu, kata Arist, orang tua juga harus membangun kembali interaksi anak dengan orang tua atau interaksi spiritualnya supaya orang tua bersahabat dengan anaknya.

"Orang tua juga perlu mengubah paradigma pola pengasuhan yang otoriter menjadi dialogis dan partisipatif yang bertalian dengan kebutuhan anak," ujarnya.

Ia juga mengingatkan, masyarakat terkait fenomena kekerasan yang terjadi saat ini sering dianggap sebagai candaan, bisa membahayakan perkembangan generasi muda karena kasus kekerasan nantinya tidak akan pernah selesai.

Upaya lain menekan angka kekerasan terhadap anak, lanjut dia, juga harus dimulai pula dengan evaluasi kurikulum di sekolah yang sedang diterapkan saat ini.

"Kami menganggap, ada unsur pemaksaan kehendak. Seharusnya, kecerdasan emosional dan spiritual harus pula menjadi perhatian utama bukan hanya soal kecerdasan intelektual," ujarnya.

Selain itu, kata Arist, dalam penegakan hukum untuk menerapkan Undang-Undang juga tidak boleh ada kata damai jika ingin mengakhiri kejahatan seksual terhadap anak.

Pewarta : Akhmad Nazaruddin Lathif
Editor :
Copyright © ANTARA 2024