Semarang, ANTARA JATENG - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Kantor Regional III Jawa Tengah dan DIY menyatakan pangsa pasar Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di Jawa Tengah cukup besar.
"Ini terlihat dari sisi pertumbuhan kinerja keuangan secara `year on year` (yoy)," kata Deputi Direktur Pengawasan Lembaga Jasa Keuangan 1 OJK Kantor Regional III I Ketut Suena di Semarang, Kamis.
Dia mengatakan dari sisi aset BPR/S tumbuh sebesar 12,14 persen atau mencapai Rp26,2 triliun, sedangkan dana pihak ketiga (DPK) tumbuh sebesar 11,81 persen atau mencapai Rp19,6 triliun, dan kredit tumbuh sebesar 13,73 persen atau mencapai Rp20 triliun.
Untuk diketahui, saat ini jumlah BPR di Jawa Tengah mencapai 253 BPR, sedangkan BPR Syariah (BPRS) sebanyak 26 BPRS.
Jika dibandingkan dengan provinsi lain, kinerja BPR di Jateng relatif lebih baik. Sebagai contoh, jika dibandingkan dengan Jawa Barat yang jumlah BPR-nya lebih banyak yaitu 287 BPR dan 29 BPRS, sedangkan Jawa Timur dengan jumlah 322 BPR dan 28 BPRS, kinerja BPR/S Jateng masih lebih baik.
Adapun pada periode yang sama total aset BPR/S di Jawa Barat sebesar Rp19,6 triliun, dana pihak ketiga Rp13 triliun, dan kredit Rp13,3 triliun.
Sedangkan Jawa Timur pertumbuhan aset, dana pihak ketiga, dan kredit masing-masing sebesar Rp14 triliun, Rp8,9 triliun, dan Rp10,3 triliun.
Dibandingkan dengan pertumbuhan BPR/S secara nasional, Jawa Tengah unggul pada sisi pertumbuhan aset dan kredit. Secara nasional, pertumbuhan BPR/S aset tumbuh 11,4 persen, dana pihak ketiga tumbuh 11,9 persen, dan kredit tumbuh 11,8 persen.
Dengan hasil kinerja tersebut, aset BPR/S Jateng memiliki pangsa pasar 21 persen dari total aset BPR/S nasional yang mencapai Rp124,2 triliun, pangsa pasar dana pihak ketiga mencapai 23,5 persen dari total DPK nasional yang mencapai Rp83,2 triliun, dan pangsa pasar kredit sebesar 22 persen dari total nasional Rp91,2 triliun.
Sementara itu, pihaknya terus berupaya untuk memastikan industri BPR/S yang sehat karena untuk mendukung berjalannya program ekonomi nasional dan memberikan pondasi untuk menjaga stabilitas industri.
"Dalam hal ini, kami berharap agar BPR/S tidak sekadar mematuhi peraturan. Pelaksanaan kepatuhan yang baik selain dapat memenuhi tuntutan regulasi juga dapat memberikan nilai tambah bisnis, terutama dalam menghadapi sejumlah tantangan industri BPR/S," katanya.
"Ini terlihat dari sisi pertumbuhan kinerja keuangan secara `year on year` (yoy)," kata Deputi Direktur Pengawasan Lembaga Jasa Keuangan 1 OJK Kantor Regional III I Ketut Suena di Semarang, Kamis.
Dia mengatakan dari sisi aset BPR/S tumbuh sebesar 12,14 persen atau mencapai Rp26,2 triliun, sedangkan dana pihak ketiga (DPK) tumbuh sebesar 11,81 persen atau mencapai Rp19,6 triliun, dan kredit tumbuh sebesar 13,73 persen atau mencapai Rp20 triliun.
Untuk diketahui, saat ini jumlah BPR di Jawa Tengah mencapai 253 BPR, sedangkan BPR Syariah (BPRS) sebanyak 26 BPRS.
Jika dibandingkan dengan provinsi lain, kinerja BPR di Jateng relatif lebih baik. Sebagai contoh, jika dibandingkan dengan Jawa Barat yang jumlah BPR-nya lebih banyak yaitu 287 BPR dan 29 BPRS, sedangkan Jawa Timur dengan jumlah 322 BPR dan 28 BPRS, kinerja BPR/S Jateng masih lebih baik.
Adapun pada periode yang sama total aset BPR/S di Jawa Barat sebesar Rp19,6 triliun, dana pihak ketiga Rp13 triliun, dan kredit Rp13,3 triliun.
Sedangkan Jawa Timur pertumbuhan aset, dana pihak ketiga, dan kredit masing-masing sebesar Rp14 triliun, Rp8,9 triliun, dan Rp10,3 triliun.
Dibandingkan dengan pertumbuhan BPR/S secara nasional, Jawa Tengah unggul pada sisi pertumbuhan aset dan kredit. Secara nasional, pertumbuhan BPR/S aset tumbuh 11,4 persen, dana pihak ketiga tumbuh 11,9 persen, dan kredit tumbuh 11,8 persen.
Dengan hasil kinerja tersebut, aset BPR/S Jateng memiliki pangsa pasar 21 persen dari total aset BPR/S nasional yang mencapai Rp124,2 triliun, pangsa pasar dana pihak ketiga mencapai 23,5 persen dari total DPK nasional yang mencapai Rp83,2 triliun, dan pangsa pasar kredit sebesar 22 persen dari total nasional Rp91,2 triliun.
Sementara itu, pihaknya terus berupaya untuk memastikan industri BPR/S yang sehat karena untuk mendukung berjalannya program ekonomi nasional dan memberikan pondasi untuk menjaga stabilitas industri.
"Dalam hal ini, kami berharap agar BPR/S tidak sekadar mematuhi peraturan. Pelaksanaan kepatuhan yang baik selain dapat memenuhi tuntutan regulasi juga dapat memberikan nilai tambah bisnis, terutama dalam menghadapi sejumlah tantangan industri BPR/S," katanya.